Kekaisaran Rozwi
Kekaisaran Rozvi (1684–1866) adalah negara Shona yang didirikan di Dataran Tinggi Zimbabwe oleh Changamire Dombo. Istilah "Rozvi" mengacu pada warisan mereka sebagai bangsa pejuang, diambil dari istilah Shona kurozva, "menjarah". Mereka menjadi kekuatan tempur paling kuat di seluruh Zimbabwe pada masa itu.[3] SejarahPada tahun 1683, milisi Portugis mencoba menguasai perdagangan emas di pedalaman Afrika dengan menyerbu kerajaan Rozvi. Namun, Rozvi, yang dipersenjatai dengan tombak dan perisai tradisional mereka, berhasil menghalau serangan ini dan mempertahankan kendali atas tambang emas, sampai kerajaan mereka runtuh. Rozvi dipimpin oleh Changamire Dombo, dan putranya Kambgun Dombo[4] yang kekuasaannya berpusat di Butua di barat daya Afrika. Rozvi dibentuk dari beberapa negara Shona yang mendominasi dataran tinggi Zimbabwe saat ini. Mereka mengusir Portugis dari dataran tinggi tengah, dan orang-orang Eropa hanya dapat mempertahankan keberadaan mereka di salah satu kota pameran di dataran tinggi timur. Changamire membuat seluruh Zimbabwe di masa lalu di bawah kendalinya, membentuk sebuah pemerintahan yang kemudian dikenal sebagai Kekaisaran Rozvi. Kekaisaran pejuang yang kuat ini dikenal juga sebagai baLozwi.[3] Mereka mendirikan ibu kotanya di Danangombe, juga dikenal sebagai Dhlo-Dhlo (dalam bahasa Ndebele Utara). Pada akhir tahun 1700-an dan awal tahun 1800-an, Kekaisaran Rozvi menghadapi beberapa tantangan. Misalnya serangan dari Kekaisaran Mwenemutapa, kekaisaran yang bersifat federal dan ketegangan politik antara kerajaan sekutu dan dinasti yang berkuasa mengakibatkan beberapa kerajaan (misalnya Manyika) dan kepala suku memisahkan diri dari Kekaisaran. Revolusi internal istana dan serangan terus-menerus dari BaMangwato menambah tekanan politik pada kekaisaran. Dua kekeringan besar, tahun 1795 hingga 1800 dan tahun 1824 hingga 1829, berkontribusi terhadap ketidakstabilan politik. Mitra dagang lama seperti Portugis mengalihkan perhatian mereka ke budak, sehingga menurunkan permintaan emas; dengan demikian tradisi penambangan dan perdagangan emas Shona, yang telah berlangsung hampir satu milenium, menurun sehingga kekuasaan pemerintah pusat seperti Rozvi mulai melemah. Di atas semua tantangan tersebut, tahun 1830-an adalah masa terjadinya berbagai invasi dan peperangan yang membuat Kekaisaran Rozvi tidak pernah pulih sepenuhnya.[5] Di wilayah Afrika Selatan modern, beberapa peristiwa mengakibatkan eksodus massal. Kekeringan, invasi pemukim Belanda, dan bencana besar setelah Mfecane mengakibatkan gelombang suku Nguni pindah ke utara. Serangan berturut-turut terhadap Kekaisaran oleh Mpanga, Ngwana, Maseko dan Zwangendaba berhasil dihalau, namun menimbulkan banyak kerusakan. Gelombang serangan lain menyusul dari kelompok yang dipimpin oleh Ratu Swazi Nyamazanana, yang mengakibatkan perebutan ibu kota Manyanga dan pembunuhan Rozvi Mambo Chirisamhuru. Bertentangan dengan narasi yang ada, ini bukanlah akhir dari Kekaisaran Rozvi. Putra Chirisamhuru, Tohwechipi melarikan diri ke daerah Buhera. Dengan dukungan dari Mutinhima dan Keluarga Bangsawan Rozvi lainnya, Tohwechipi secara efektif menjadi Rozvi Mambo.[6] Mzilikazi menyadari bahwa meskipun beberapa bangsawan Rozvi telah menerimanya sebagai Raja, sebagian besar orang Shona tidak menerimanya, sehingga membatasi wilayah kerajaannya. Dengan mengambil pendekatan diplomatis, dia mengirim surat ke Tohwechipi dan memintanya untuk kembali dan tunduk padanya sebagai Raja Shona. Tohwechipi tidak menerima tawaran Mzilikazi dan sebaliknya, mengkonsolidasikan kekuasaannya dan 30 tahun berikutnya mereka saling serang. Tohwechipi dikalahkan dalam pertempuran, dan menyerah pada tahun 1866[7] namun, Mzilikazi melepaskannya. Tohwechipi meninggal sekitar tahun 1873[6] di daerah Nyashanu di Buhera dan dimakamkan di sana di Perbukitan Mavangwe, yang saat ini menjadi monumen nasional yang dilindungi.[8] Referensi
|