Istilah "Islamofasisme" dimasukkan dalam Kamus New Oxford American, yang mendefinisikannya sebagai "sebuah istilah kontroversial yang menyamakan gerakan Islamisme dengan gerakan fasisme Eropa pada awal abad ke-20".[1] Istilah ini digunakan oleh beberapa penulis seperti Stephen Schwartz[2] dan Christopher Hitchens,[3] untuk menggambarkan ekstremis Islamis, termasuk kelompok teroris seperti al Qaeda, Hamas dan Hezbollah. William Safire memberikan catatan khusus bahwa Hitchens adalah orang yang "mempopulerkan" istilah ini, meskipun Hitchens menolaknya dan mengatakan lebih menyukai istilah "fasisme berwajah Islam" dengan merujuk kepada Alexander Dubček dan Susan Sontag.[4][5] Istilah fasisme Islam dan fasisme Muslim juga digunakan oleh filsuf Prancis Michel Onfray, seorang ateis dan anti agama, yang menulis dalam bukunya Atheist Manifesto bahwa Revolusi Islam yang digulirkan oleh Ruhollah Khomeini telah "melahirkan fasisme Muslim sejati".[6]
Asal mula istilah ini agak kabur. William Safire menulis bahwa "penggunaan pertama kali istilah ini dapat ia temukan" berasal dari tulisan Malise Ruthven pada 1990, ketika Ruthven menulis di The Independent bahwa "pemerintahan otoriter, untuk tidak menyebut Islamofasisme, adalah kelaziman ketimbang pengecualian, dari Maroko ke Pakistan."[7][8]Albert Scardino menulis bahwa istilah ini "sepertinya pertama kali muncul" di artikel Washington Times, ketika cendekiawan Khalid Duran menggunakannya "sebagai kritik atas ulama hiper-traditionalis."[9] Menurut Times, tulisan ini muncul pada Juli 2001.[10]
Analogi antara Islamisme dan Fasisme
Para pendukung istilah ini berpendapat bahwa terdapat persamaan antara fasisme historis dan Islamofasisme,[11] Christopher Hitchens membuat perbandingan sebagai berikut:
Pokok pikiran yang paling jelas untuk perbandingan ini adalah sebagai berikut: kedua gerakan ini berdasarkan atas kultus terhadap kekerasan dan pembunuhan, yang mengagungkan kematian dan penghancuran, serta membenci kehidupan (kebebasan) berpikir. ("Kematian untuk intelektual! Dirgahayu kematian!" seperti diserukan bawahan Jenderal Francisco Franco, Millán Astray.) Keduanya memusuhi modernitas (kecuali dalam usaha untuk memajukan persenjataan), keduanya secara pahit bersikap nostalgia kepada kejayaan kekaisaran masa lampau dan meratapi kejayaan yang hilang. Keduanya terobsesi dengan dendam merasa "telah dipermalukan", baik secara nyata ataupun imajinatif, dan haus akan pembalasan. Keduannya terinfeksi dengan racun paranoia Anti-Yahudi (secara menarik, juga pada tataran yang lebih lunak, paranoia anti-Freemason). Keduanya cenderung memuja dan mengkultuskan tokoh pribadi, dan penekanan atas kekuatan "buku suci" nan hebat. Keduanya berkomitmen kuat untuk penindasan seksual — khususnya kepada golongan yang mereka anggap "menyimpang" secara seksual — dan juga berkomitmen kepada penindasan kaum perempuan dan membenci sifat feminin. Keduanya membenci seni dan sastra, dan kerap menghujatnya sebagai gejala kemunduran dan kemerosotan moral; keduanya membakar buku dan merusak khazanah museum.[3]
^"Construing Islam as a language", oleh Malise Ruthven, The Independent, September 8, 1990 "Nevertheless there is what might be called a political problem affecting the Muslim world. In contrast to the heirs of some other non-Western traditions, including Hinduism, Shintoism and Buddhism, Islamic societies seem to have found it particularly hard to institutionalise divergences politically: authoritarian government, not to say Islamo-fascism, is the rule rather than the exception from Morocco to Pakistan."