Industri Hasil Tembakau adalah sebuah roadmap atau panduan mengenai regulasi yang berkaitan dengan semua produk hasil tembakau di Indonesia.[1]
Industri Hasil Tembakau yang sering disingkat IHT berisi panduan dan klasifikasi industri dan produk-produk yang dihasilkan oleh industri tembakau di Indonesia. IHT melingkupi regulasi, kebijakan pita dan cukai, strategi industri tembakau, dan lain sebagainya.[1] Industri Hasil Tembakau pertama kali dicetuskan oleh Direktorat Jenderal Industri Agro Dan Kimia Departemen Perindustrian pada tahun 2009.[1] Industri Hasil Tembakau mempunyai peran cukup besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai, penyerapan tenaga kerja, penerimaan, dan perlindungan terhadap petani tembakau dan dampak ganda lainnya.[2]Pengembangan IHT juga memperhatikan kesehatan masyarakat di samping tetap mengusahakan agar industri dapat tumbuh dengan baik.[2] IHT merupakan industri yang padat karya, sehingga hingga saat ini IHT dan keterkaitannya dengan hulu berupa pengadaan bahan baku, khususnya tembakau, cengkih, dan industri lainnya merupakan industri penyerap tenaga kerja potensial.[2]
Klasifikasi
Industri Hasil Tembakau juga mengklasifikasikan atau mengelompokkan Industri Hasil Tembakau menjadi tiga, yakni:[1]
Industri hasil tembakau merupakan salah satu industri yang memberikan kontribusi yang cukup besar bagi penerimaan negara dan juga memberikan kesempatan kerja yang cukup luas bagi masyarakat.[3] Namun disisi lain, industri hasil tembakau juga memberikan efek negatif bagi aspek kesehatan masyarakat.[3] Oleh karena itu, setiap kebijakan terhadap industri hasil tembakau sepatutnya mempertimbangkan beberapa aspek yang saling bertolak belakang tersebut.[3] Dalam hal ini, pemerintah telah memiliki suatu Roadmap Industri Hasil Tembakau yang disusun secara bersama-sama antara para stake holder yang berkepentingan.[3] Garis besar tujuan kebijakan tarif cukai hasil tembakau tahun 2013 juga telah mempertimbangkan elemen yang terdapat dalam Roadmap dimaksud.[3]
Dalam konteksi ini, rincian jangka waktu untuk mencapai tujuan tersebut di atas diuraikan dalam urutan perencanaan sebagai berikut:
Tahun 2006-2010: urutan prioritas pada aspek keseimbangan tenaga kerja, penerimaan negara dan kesehatan masyarakat;
Tahun 2010-2015: urutan prioritas pada aspek penerimaan negara, kesehatan masyarakat, dan tenaga kerja;
Tahun 2015-2020: urutan prioritas pada aspek kesehatan masyarakat, tenaga kerja dan penerimaan negara.[3]
Visi dan Arah Pengembangan Industri Hasil Tembakau
Terwujudnya Industri Hasil Tembakau yang kuat dan berdaya saing di pasar dalam negeri dan global dengan memperhatikan aspek kesehatan.[1]
Arah Kebijakan:
Dalam rangka tercapainya sasaran pengembangan Industri Nasional melalui triple track (pro-growth, pro-job, pro-poor), maka kebijakan pengembangan IHT diarahkan pada:
* Penciptaan kepastian berusaha dan iklim usaha yang kondusif;
* Pertumbuhan dalam jangka pendek (s/d 2009) diutamakan untuk IHT menggunakan tangan (SKT);
* Peningkatan ekspor;
* Penanganan rokok ilegal;
* Perbaikan struktur industri rokok; dan
* Pengenaan cukai yang terencana, kondusif dan moderat.[1]
Indikator Pencapaian:
Meningkatnya produksi rokok menjadi 240 miliar batang pada tahun 2010 dan tahun 2025 sebesar 260 miliar batang;
Meningkatnya nilai ekspor tembakau sebesar 15%/tahun dari US $397,08 juta pada tahun 2008 menjadi US $ 1.056,24 juta pada tahun 2015;
* Meningkatnya nilai ekspor rokok dan cerutu sebesar 15%/tahun dari US $ 401,44 juta pada tahun 2008 menjadi US $ 1.067,84 juta pada tahun 2015;
* Meningkatnya ekspor tembakau dan produk hasil tembakau khususnya ke negara-negara yang sedang berkembang, Eropa
(cerutu dan tembakau), Ex-Uni Soviet, Afrika, Amerika dan Asia;
* Terciptanya jenis/varietas tanaman tembakau dan produk IHT yang memiliki tingkat risiko rendah terhadap kesehatan; dan
* Berkurangnya produksi dan peredaran rokok ilegal.[1]
Permasalahan yang dihadapi Industri Hasil Tembakau
Industri Hasil Tembakau (IHT) sampai saat ini masih memiliki peran penting dalam menggerakan ekonomi nasional terutama di wilayah penghasil tembakau, cengkih dan sentra-sentra produksi rokok, antara lain dalam menumbuhkan industri atau jasa terkait, penyediaan lapangan agribisnis dan penyerapan tenaga kerja.[4] Dalam situasi krisis ekonomi, IHT tetap mampu bertahan dan tidak melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), bahkan industri ini mampu memberikan sumbangan yang cukup signifikan dalam penerimaan negara.[4]
Dalam pengembangannya, aspek ekonomi masih menjadi pertimbangan utama dengan memperhatikan pula dampak kesehatan yang ditimbulkan.[4] Industri Hasil Tembakau mendapatkan prioritas untuk dikembangkan karena mengolah sumber daya alam, menyerap tenaga kerja cukup besar baik langsung maupun tidak langsung sehingga memberikan sumbangan dalam penerimaan negara (cukai).[4]
Namun, IHT sekarang ini dihadapkan pada berbagai permasalahan antara lain isu dampak merokok terhadap kesehatan baik di tingkat global yang disponsori oleh WHO sebagaimana tertuang dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau dan di tingkat nasional pengendalian produk tembakau tertuang dalam PP No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.[4] Di samping itu, IHT juga dihadapkan pada masalah kebijakan cukai yang tidak terencana dengan baik, tidak transparan dan lebih berorientasi pada upaya peningkatan pendapatan negara tanpa mempertimbangkan kemampuan industri rokok dan daya beli masyarakat ditambah dengan maraknya produksi dan peredaran rokok ilegal.[4]
Selain, itu juga permasalahan utama industri tembakau adalah belum terwujudnya iklim kompetisi yang terdistorsi, jumlah pasokan tembakau yang tidak memenuhi kebutuhan dan mutunya rendah.[2] Masing-masing permasalahan menjadikan penampilan IHT saat ini belum optimal.[2] Iklim kompetisi yang tidak terkendali mengakibatkan IHT, khususnya industri rokok kelas menengah memerlukan perlindungan dari pemerintah agar dapat berkembang.[2] Serta bahan baku utama IHT (tembakau dan cengkih) masih belum memiliki standar spesifikasi teknis seperti yang diperlukan indusrti.[2] Konsekuensinya, industri harus menanggung biaya pengelompokan ulang agar dapat dimanfaatkan secara benar dalam proses industri.[2]
Kontribusi terhadap Devisa Negara
Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai konstribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri.[5] Penerimaan cukai dipungut dari 3 (tiga) jenis barang yaitu; etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan hasil tembakau terhadap penerimaan negara yang tercermin pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara selalu meningkat dari tahun ke tahun.[5]
Pada tahun anggaran 1990/1991, penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8 triliun atau memberikan kontribusi sekitar 4 persen dari penerimaan dalam negeri, pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun atau menyumbang sebesar 7,3 persen dari penerimaan dalam negeri.[5] Pada tahun anggaran 2003, penerimaan cukai ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam negeri.[5]Indonesia menyumbang 2,1% dari persediaan tembakau di seluruh dunia.[6] Industri Hasil Tembakau berkontribusi bagi penerimaan negara melalui cukai.[6] Dari sisi penerimaan negara berupa devisa, nilai ekspor tembakau dan hasil tembakau juga memegang peranan yang cukup penting.[6] Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja juga sebagai salah satu objek yang dapat dijadikan sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau.[6]
Lebih khusus, Industri Rokok telah memberikan kontribusi terbesar terhadap APBN Indonesia dengan nilai kontribusi cukai selama setahun sebesar 35 triliun rupiah dengan total produksi sebesar 180 miliar batang (Data Gapri ytd September 2008).[7] Industri rokok cukup menjanjikan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 5-7%/ tahun (TEMPO Interaktif, 10 Desember 2008).[7] Dengan jumlah produksi sebesar itu bila dikonversikan dengan jumlah konsumen maka terdapat sekitar 41 juta orang (dengan asumsi rata-rata perokok menghabiskan 1 bungkus/hari).[7]