Hukum Uni Eropa (sebelumnya disebut Hukum Komunitas Eropa) adalah sekumpulan traktat dan perundang-undangan yang dapat berpengaruh langsung atau tidak langsung terhadap hukum negara anggota Uni Eropa. Traktat-traktat tersebut dibagi menjadi sumber hukum primer, sumber hukum sekunder, sumber eksternal, sumber pelengkap, dan sumber yang dihasilkan dari penafsiran hukum Uni Eropa oleh Mahkamah Eropa. Sumber hukum primer Uni Eropa adalah Traktat Pendirian Uni Eropa. Sementara sumber sekunder meliputi Regulasi, Pedoman, Keputusan,Rekomendasi, dan Opini yang berdasar pada traktat-traktat. Lembaga utama yang membentuk struktur dasar Uni Eropa terdiri dari Parlemen Eropa, Dewan, Komisi Eropa, Mahkamah Eropa dan Mahkamah Audit Eropa. Hukum Uni Eropa memiliki sistem hukum sui generis, yang berbeda dengan hukum yang dikembangkan perjanjian internasional lainnya, sehingga tidak bersifat hukum nasional atau federal, dengan hubungan spesifik antara hukum nasional dan hukum yang berasal dari Perjanjian Pendirian Uni Eropa. Sistem hukum ini membebaskan diri dari hukum yang dikembangkan oleh perjanjian internasional lainnya, dalam tiga hal penting, yang meliputi: pengaruh langsung, penerapan langsung, dan supremasi hukum Uni Eropa.
Prinsip-prinsip baru dalam undang-undang Uni Eropa, seperti hak 'akses ke pengadilan' dan 'peradilan yang efektif' telah dirumuskan sebagai hak konstitusional. Mekanisme rujukan pendahuluan yang diatur di dalam Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa, memungkinkan Mahkamah Hukum Uni Eropa memberikan panduan kepada pengadilan nasional di negara-negara anggota, sehingga memungkinkan pengadilan nasional mengajukan pertanyaan ke Mahkamah Hukum Uni Eropa. Kondisi ’acte clair’ membuat pengadilan nasional tidak perlu melakukan rujukan kepada Mahkamah Hukum Uni Eropa. Sementara pemulihan tersedia bagi negara-negara anggota yang melanggar hukum Uni Eropa, di mana pemulihan tersebut tidak dibuat oleh pengadilan nasional. Hal ini dilakukan dalam memastikan adanya ketaatan pada hukum Uni Eropa, yang seragam di seluruh negara anggota. Hukum Uni Eropa mendirikan Pasar Bersama yang terdiri dari wilayah tanpa batas internal, sehingga terjaminnya pergerakan bebas atas barang, jasa, dan modal. Tiga hambatan signifikan yang menghambat pergerakan bebas meliputi hambatan fisik, hambatan fiskal, dan hambatan teknis. Namun, secara umum hukum Uni Eropa mengatur kelonggaran atas hambatan-hambatan tersebut. Hal ini bertujuan supaya pergerakan atas barang, jasa, dan modal dapat berkompetisi dengan setara, dan membentuk ‘sirkulasi bebas’ Pasar Bersama Uni Eropa.
Penyatuan Eropa dapat ditelusuri kembali hingga masa-masa Kekaisaran Romawi yang merupakan representasi kekuasaan Eropa di masa kini. Setelah jatuhnya Romawi pada tahun 476 M, Karel yang Agung berusaha mendirikan ulang struktur besar tersebut di abad ke-9 dengan membangun Kekaisaran Romawi Suci, yang berdiri hingga tahun 1806. Kekaisaran ini mencakup Eropa Barat dan Eropa Tengah.[1] Lalu, pemikiran tentang negara bangsa tumbuh dan menyebar di abad ke-19. Di akhir tahun 1930-an, Winston Churchill khawatir dengan ancaman FasismeJerman yang berkuasa hampir di seluruh Eropa. Ia mengajukan penyatuan federal antara Britania dan Prancis yang berdasarkan pada kewarganegaraan umum dan parlemen bersama.[1][2] Pengajuan ini tidak pernah terealisasikan. Namun, pengajuan tersebut merupakan gagasan awal tentang Federalisme bagi benak negarawan Eropa. Periode pasca perang, setelah kekuatan sekutu meraih kemenangan melawan Nazisme pada tahun 1945; Eropa sepenuhnya hancur, khususnya di bidang ekonomi.[1] Para pemimpin Eropa Barat berkoordinasi merekonstruksi negara-negara Eropa dengan berupaya mencari tatanan politik baru yang dapat menjamin keamanan negara-negara, serta memberi peluang keberhasilan pembangunan di masa depan.[3] Di masa Perang Dingin awal, gagasan kerja sama Eropa didukung oleh Amerika Serikat.[4] Negara-negara Eropa mengambil inisiatif membentuk lembaga-lembaga umum, yang memungkinkan negara-negara Eropa supaya tidak berperang satu sama lain. Selain itu, George Marshall, seorang tokoh politik Amerika Serikat, menyusun rencana pemberian bantuan ekonomi bagi negara-negara Eropa.[1] Kemudian pada April 1948, Organisasi Kerja Sama Ekonomi Eropa (OEEC) didirikan dengan enam belas negara anggota, dan menyelenggarakan implementasi Rencana Marshall. Lembaga ini bertugas membantu pembangunan ekonomi bagi negara-negara yang terlibat konflik;[1][4] yang tidak termasuk dalam lingkup pengaruh Uni Soviet. Kemudian pada tahun 1960, organisasi tersebut berganti nama menjadi Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang sebagian besar negara-negara Barat dan Jepang menjadi anggotanya.[4]Perjanjian Brussels 1948 juga menyatukan kekuatan-kekuatan Eropa. Namun, pada tahun berikutnya, perjanjian tersebut tergantikan dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), yaitu sebuah organisasi penghubung bidang pertahanan Eropa Barat dengan bantuan militer Amerika Serikat dan Kanada. Jerman yang pada mulanya dikeluarkan dari organisasi, diizinkan bergabung kembali pada tahun 1955. Majelis Eropa (CoE) kemudian didirikan pada tahun 1949, dengan tujuan mencapai kerja sama di bidang budaya, politik, hukum dan sosial.[1]
Meskipun OECD dan NATO berkontribusi besar terhadap unifikasi Eropa, tetapi bagaimanapun, kedua organisasi tersebut merupakan organisasi yang bekerja antarpemerintah. Oleh karenanya, untuk memperkuat hubungan antara negara-negara Eropa lebih jauh, Robert Schuman, seorang Menteri Luar Negeri Prancis, mengusulkan pembentukan sebuah organisasi independen yang memiliki otoritas atas pemerintahan negara anggota, pada dua kawasan industri utama, yaitu batu bara dan baja.[5] Penyatuan produksi batu bara dan baja, yang kemudian menjadi sumber semua kekuatan militer, diusulkan sebagai "fondasi konkret pertama atas federasi Eropa". Gagasan ini disampaikan oleh Robert Schuman dalam sebuah pidato pada 9 Mei 1950.[6][7] Kini, tanggal tersebut diperingati sebagai 'Hari Eropa'. Gagasan Schuman menyatakan bahwa jika negara-negara berbagi sumber daya dan saling membutuhkan satu sama lain perihal bahan pokok mereka, maka kecenderungan berperang satu sama lain akan berkurang.[6] Pada mulanya, rencana tersebut hanya melibatkan Prancis dan Jerman, tetapi kemudian negara-negara Eropa lainnya ikut bergabung.[5][4] Kemudian Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa (ECSC) dibentuk dan Perjanjian Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa (TECSC) ditandatangani di Paris pada 18 April 1951.[3][6] Keenam negara anggota pendiri Komunitas Batu Bara dan Baja Eropa tersebut terdiri dari negara-negara Benelux, Italia, Prancis, dan Jerman Barat. Perjanjian ini membentuk pasar umum batu bara dan baja, yang diawasi oleh Otoritas Tinggi, yaitu sebuah badan independen supranasional negara-negara anggota yang terdiri dari pegawai negeri internasional, yang memiliki kekuatan besar dalam menentukan kondisi produksi dan harga batu bara dan baja. Kegiatan pertama pasar tersebut dimulai pada tahun 1952.[5][8] Pembentukan ECSC pada intinya mendorong pengintensifan upaya integrasi Eropa.[3]
Pada tahun 1950, selama negosiasi Perjanjian Paris, Perang Korea dimulai. Amerika Serikat terancam dengan Pemerintahan Stalin, Uni Soviet dan menekan persenjataan Jerman, serta keanggotaannya di dalam NATO.[9][10]Perang Korea mendorong upaya pembentukan pasukan khusus Eropa di antara negara-negara anggota ECSC.[11] Kemudian pada 27 Mei 1952, keenam negara ini membentuk dua komunitas baru, yaitu Komunitas Pertahanan Eropa (EDC) dan Masyarakat Politik Eropa (EPC). Tugas utama Komunitas Pertahanan Eropa (EDC) adalah mengkoordinasikan kebijakan luar negeri negara-negara Eropa Barat dan membangun Pasar Bersama, sementara Masyarakat Politik Eropa (EPC) bertujuan menciptakan tentara Eropa bersama, yang terdiri dari kontingen militer yang berasal dari negara-negara tertentu, serta mengatur markas bersama tentara Eropa.[3] Kemudian pada tahun 1954, Uni Eropa Barat (WEU) didirikan, dengan tujuan kerja sama menuju terciptanya sistem keamanan bersama di negara-negara anggota ECSC.[3] Namun, WEU tidak memainkan peran penting, meskipun merevitalisasi saat-saat krisis kerja sama Eropa.[4]Meskipun ditandatangani oleh semua negara anggota, pada tahun 1954, Majelis Nasional Prancis menahan ratifikasi Perjanjian Komunitas Pertahanan Eropa, yang merupakan akibat penggabungan politik kiri-kanan Prancis, dan memunculkan pemikiran besar tentang masa depan kerja sama dan integrasi Eropa.[11] Terlepas dari kegagalan EDC dan EPC, serta penyempitan proses integrasi ke bidang ekonomi, para pemimpin Eropa Barat kemudian mengusulkan pembentukan komunitas lain, dengan pendekatan berbeda dari konsep integrasi sektor ekonomi yang diadvokasi sebelumnya.[3] Pada tahun 1955, pertemuan tingkat atas berlangsung di Messina, (Italia). Pertemuan tersebut menandai awal peluncuran kembali Eropa.[11]Johan Beyen, menteri luar negeri Belanda, mengusulkan Pasar Bersama Eropa,[3] yang merupakan integrasi ekonomi di antara negara-negara anggota.[11] Kemudian, komite antarpemerintah dibentuk, dan dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Belgia, Paul-Henri Spaak, dengan laporan akhir tentang garis besar struktur kelembagaan dan bidang kebijakan utama organisasi. Laporan tersebut dimasukkan ke dalam rancangan perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC),[11] yang kemudian ditandatangani di Roma pada 25 Maret 1957.[11] Pada saat yang sama, perjanjian fungsionalis terkait Perjanjian Euratom, ditandatangani.[11][6]
Perjanjian Roma berkontribusi pada penghapusan hambatan serta pembatasan secara bertahap yang memisahkan pasar dan ekonomi negara-negara Eropa Barat. Perjanjian ini memperkenalkan empat kebebasan pasar umum, yaitu kebebasan bergerak bagi individu, jasa, barang-barang, dan modal.[3][6] Perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) membentuk struktur yang mirip dengan komunitas ECSC, yaitu lembaga eksekutif independen dalam bentuk Komisi atau Menteri Dewan, dengan otoritas yudisial pada Mahkamah Eropa dan Parlemen Eropa. Wilayah utama pertama yang menjadi perhatian lembaga-lembaga tersebut adalah bidang pertanian, yang di bahas pada pertemuan di Stresa, Italia. Pertemuan tersebut dihadiri oleh pejabat Komisi, perwakilan petani, dan pakar nasional, dengan hasil kerangka kerja Kebijakan Pertanian Bersama.[12] Bersamaan dengan Perjanjian Roma, sebuah lembaga yang bertanggung jawab atas ECSC, Euratom dan EEC dibentuk. Kemudian, Parlemen Eropa (terdiri dari 142 anggota) didirikan pada Maret 1958, dengan Schuman sebagai ketua pertamanya.[4] Pada tahun 1961, Britania Raya, Denmark, Irlandia dan Norwegia mengajukan permohonan keanggotaan, tetapi diveto pada tahun 1963 oleh Charles de Gaulle. Spanyol juga mengajukan permohonan, tetapi ditolak karena masih berada dalam kediktatoran Franco. Pada tahun yang sama, Mahkamah Eropa menyatakan bahwa Komunitas merupakan "tatanan hukum baru atas hukum internasional".[13]
Perjanjian Penggabungan mulai berlaku pada 1 Juli 1967, yang membentuk lembaga eksekutif tunggal, yaitu 'Masyarakat Eropa' (EC) atas organisasi ECSC, EEC dan Euratom.[4]Perjanjian Penggabungan memudahkan keputusan yang koheren dan rasional pada bidang-bidang energi dan kebijakan industri. Secara geografis, setalah Perjanjian Penggabungan ditandatangani, kini Komisi berbasis di Brussels, sementara Otoritas Tinggi ECSC sebelumnya berbasis di Luksemburg.[14] Kemudian, pada tahun 1970-an, negara-negara anggota menyiapkan 'pengawas keuangan' Komunitas, atau Mahkamah Audit Eropa (ECA). Pada tahun berikutnya, Britania Raya dipimpin oleh Edward Heath, yaitu seorang pendukung antusias integrasi Eropa.[15] Lalu, Britania Raya, Denmark, dan Irlandia bergabung sebagai anggota Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC) pada tahun 1973.[16][4]
Pada KTT Paris yang diadakan pada Desember 1974, Kepala Negara dan Pemerintahan Komunitas sepakat bertemu tiga kali dalam setahun sebagai Dewan Eropa. Kemudian, Pemerintah Norwegia berencana mengambil bagian dalam perluasan Komunitas pada gelombaang pertama ini. Namun, rencana tersebut gagal karena referendum menolak keanggotaannya di dalam Komunitas.[15] Kemudian, pada Juni 1979, Parlemen Eropa dipilih oleh hak pilih universal langsung untuk pertama kalinya, yang memberikan legitimasi demokratis. Pada tahun yang sama, Mekanisme Nilai Tukar Eropa mulai beroperasi, dan menjadi alat penstabil mata uang, yang memungkinkan penyatuan moneter.[17] Parlemen tumbuh menjadi 198 anggota. Kemudian pada Januari 1981, Yunani bergabung dengan Komunitas. Lalu, Spanyol serta Portugal berpartisipasi pada tahun 1986. Parlemen terus tumbuh dari 410 anggota (pada tahun 1979) menjadi 518 anggota.[4]
Perluasan bidang hukum substansial dan kelembagaan EEC diperluas melalui kerja sama Komunitas dalam kebijakan ekonomi dan sosial, perlindungan lingkungan, serta pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi. Undang-Undang Eropa Tunggal (SEA) kemudian disepakati dan memengaruhi transformasi prosedur pengambilan keputusan di dalam Komunitas, yang memberikan peningkatan aktivitas pasar umum Eropa, serta kerja sama politik antara negara-negara anggota. UU Eropa Tunggal (SEA) merupakan perjanjian internasional yang berisi tentang kerangka kerja Komunitas Eropa yang memodifikasi Perjanjian Roma. Perubahan utama yang diperkenalkan oleh Komunitas atas dasar SEA ini dimulai pada 1 Januari 1993, yaitu dengan pembentukan Pasar Bersama Uni Eropa di dalam Komunitas.[3]
Perjanjian Uni Eropa membawa perubahan kelembagaan yang cukup besar, dengan pengaruh peningkatan status, serta kekuasaan Parlemen Eropa. Perkembangan penting berikutnya berupa Perjanjian Amsterdam, yang disepakati pada Konferensi Antarpemerintah yang diadakan pada Juni 1997.[18] Perubahan besar dari perjanjian tersebut memperluas yurisdiksi Uni Eropa ke bidang kebijakan baru, dengan meningkatkan kekuatan Parlemen Eropa, yang menjadikannya mitra legislatif penting Menteri Dewan; dan perubahan kelembagaan lainnya. Pada gilirannya, perjanjian ini menuntun pada sebuah laporan Komite Ahli Independen (Komisi Santer), yang didirikan oleh Parlemen Eropa, tentang penipuan, salah urus dan nepotisme di dalam Komisi, yang mendorong pengunduran diri seluruh Komisi yang dipimpin oleh Jacques Santer pada tahun 1999. Langkah ini didorong oleh keputusan Parlemen Eropa, yang tidak memberi Komisi pembebasan pada tahun anggaran 1996. Komisi baru, dipimpin oleh mantan Perdana Menteri Italia, Romano Prodi, yang mulai menjabat pada September 1999.[19] Namun, Konferensi Nice menandai satu kemajuan signifikan perluasan yuridiksi Uni Eropa, dengan pengadopsian Piagam Hak Asasi Uni Eropa. Piagam hak-hak sipil dan politik ini berasal dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia (ECHR), dan dari tradisi konstitusional umum bagi negara-negara anggota.[20]
Uni Eropa secara tradisional sering kali menggunakan istilah "Komunitas" dan "Uni". Hal ini menjadikan Uni Eropa sulit diklasifikasikan, khususnya dengan melibatkan perbedaan antara hukum nasional (di mana individu dan korporasi merupakan subjek hukum yang termasuk di dalamnya) dan hukum internasional (dengan subjek yang terdiri dari negara berdaulat dan organisasi internasional), serta klasifikasi tradisi konstitusional Eropa dan Amerika yang berbeda.[24] Dalam konteks tradisi Eropa, istilah federasi setara dengan negara federal yang berdaulat di dalam hukum internasional, sehingga Uni Eropa tidak dapat disebut federasi. Namun demikian, Uni Eropa dapat digambarkan sebagai federal alamiah, di mana struktur konsep yang berada antara konfederasi negara-negara dan negara federal.[25] Mahkamah Konstitusi Jerman mengacu Uni Eropa sebagai "Staatenverbund", yaitu struktur yang berada di antara "Staatenbund" dan "Bundesstaat"(negara federal).[26] Konstitusi Uni Eropa, sebagaimana asosiasi negara-negara tentunya memiliki tugas dan fungsi yang spesifik. Berbeda halnya dengan kebanyakan konstitusi negara anggota, konstitusi Uni Eropa tidak ditetapkan dalam dokumen konstitusional yang komprehensif, tetapi muncul dari keseluruhan aturan-aturan dan nilai-nilai fundamental yang dengannya memiliki sifat mengikat.[27][a] Peraturan-peraturan Uni Eropa dapat ditemukan sebagian di dalam traktat-traktat atau instrumen hukum yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga Komunitas Eropa.[27] Di negara anggota, tubuh politik ini dibentuk oleh dua prinsip utama, yaitu ‘’rule of law’’ dan demokrasi. Semua kegiatan Uni Eropa harus setia pada persyaratan mendasar dari hukum dan demokrasi, sehingga memiliki legitimasi legal dan bersifat demokratis, baik pada elemen-elemen yang didirikan, struktur, kekuatan, cara kerja, posisi negara anggota dan lembaga-lembaganya, beserta posisi warga negaranya.[27]
Pada dasarnya Uni Eropa memiliki legitimasi dalam pemilihan demokratis dengan dua cara, yaitu (1) Dewan Eropa yang menetapkan arah politik keseluruhan pada satu blok, dan para pemimpin nasional yang terpilih secara demokratis, (2) Parlemen Eropa terdiri dari perwakilan yang dipilih langsung oleh warga negara dari setiap anggota Uni Eropa. Kemudian Dewan Eropa dan Parlemen Eropa bersama-sama menentukan komposisi Komisi Eropa, di mana dewan tersebut menominasikan anggotanya dan Parlemen harus menyetujuinya. Komisi Eropa memiliki wewenangan tunggal untuk mengusulkan hukum Uni Eropa, tetapi semua legislasi tersebut membutuhkan persetujuan Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa.
Traktat-traktat perjanjian Uni Eropa menetapkan tujuan Uni Eropa, aturan bagi lembaga-lembaga Uni Eropa, bagaimana keputusan dibuat dan hubungan antara Uni Eropa dengan negara-negara anggotanya. Traktat-traktat ini dari waktu ke waktu diubah untuk mereformasi lembaga-lembaga Uni Eropa, serta memberinya wilayah tanggung jawab baru, yang memungkinkan negara-negara baru dapat bergabung dengan Uni Eropa. Traktat-traktat ini dinegosiasikan dan disepakati oleh semua negara Uni Eropa, kemudian disahkan oleh Parlemen setelah referendum.[28] Pada Perjanjian Uni Eropa (TEU) Pasal 5(2), "prinsip perundingan" mengatakan bahwa ‘Uni Eropa tidak dapat melakukan apapun kecuali jika otoritas menghendakinya’. Keterbatasan kompetensi dibangun oleh Mahkamah Hukum Uni Eropa, dan dewan-dewan, serta Parlemen dari negara-negara anggota.[29]
Tiga traktat utama atau Perjanjian Pendirian, terdiri dari: (1) Perjanjian Paris yang merupakan dasar pendirian Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa (ECSC). Perjanjian tersebut mulai berlaku pada 23 Juli 1952 dengan jangka waktu 50 tahun, dan berakhir pada Juli 2002; (2) Perjanjian Roma yang merupakan dasar pendirian Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC). Perjanjian ini mulai berlaku pada 1 Januari 1958. Traktat ini dikenal sebagai Perjanjian EC, dan ditandatangani untuk waktu yang tidak terbatas; dan (3) Perjanjian Roma yang membangun Komunitas Energi Atom Eropa (Euratom). Perjanjian ini ditandatangani untuk jangka waktu yang tidak terbatas.[30][31]
Dua sumber konstitusional utama Uni Eropa adalah Perjanjian Uni Eropa (TEU) dan Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa (TFEU), yang disetujui oleh pemerintahan di seluruh negara anggota.[27][b] Kedua perjanjian tersebut menetapkan lembaga-lembaga Uni Eropa, yang membuat daftar kekuatan, dan tanggung jawab masing-masing negara anggota, serta menjelaskan bidang-bidang apa saja yang Uni Eropa dapat buat undang-undangnya baik dalam bentuk Pedoman atau Regulasi. Komisi Eropa memiliki inisiatif dalam pengajuan undang-undang.[32] Di dalam prosedur legislasi Uni Eropa, Dewan (menteri pemerintahan negara anggota) dan Parlemen Eropa (dipilih oleh warga negara), dapat membuat amendemen, serta harus memberikan perhatian supaya suatu undang-undang dapat disetujui.[32]
Krisis politik akibat Perang Teluk, perang saudara di daerah bekas Yugoslavia, serta pecahnya Uni Soviet menunjukkan bahwa instrumen kebijakan luar negeri dan keamanan tidak cukup bagi Uni Eropa, khususnya sebagai kekuatan perdagangan terbesar di dunia; dalam menjalankan urusan-urusan di negara-negara.[35] Sebelum Perjanjian Uni Eropa terbentuk, kerja sama politik antara negara-negara anggota didasarkan pada pengaturan Kerja sama Politik Eropa (EPC) yang dibentuk pada tahun 1970. Kemudian kerja sama tersebut ditingkatkan dan diperluas dengan berdasar pada UU Eropa Tunggal (SEA) pada tahun 1986/87.
Kebanyakan keputusan Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama yang dikembangkan dalam Perjanjian Uni Eropa saat ini, masih diambil atas dasar kerja sama antarnegara. Secara tradisional, kebijakan keamanan luar negeri, khususnya kebijakan keamanan itu sendiri merupakan wilayah di mana negara-negara anggota tertarik mempertahankan kedaulatan (nasional) mereka sendiri. Masalah lainnya, yaitu beberapa negara anggota, bukan anggota NATO (Austria, Finlandia, Irlandia, Swedia) atau WEU (Denmark, Irlandia, Yunani).[36]
Pilar Ketiga: Kerja Sama Bidang Peradilan dan Urusan Dalam Negeri
Kerja sama peradilan memfasilitasi dan mempercepat kerja sama dalam kaitannya dengan proses dan penegakan Keputusan, yang memfasilitasi ekstradisi antara negara-negara anggota. Perjanjian tersebut menetapkan aturan minimum yang terkait dengan elemen-elemen penyusun perundang-undangan kriminal dan hukuman di bidang kejahatan terorganisir, terorisme, serta perdagangan narkoba (Pasal 31 dan 32 UE).[36] Tujuan kerja sama antara polisi dan otoritas peradilan adalah memberikan kebebasan, keamanan dan keadilan bagi warga negara, dengan bersama-sama mencegah dan memberantas kejahatan (khususnya terorisme, perdagangan manusia, perdagangan obat terlarang, perdagangan senjata, korupsi dan penipuan), rasisme dan xenofobia (Pasal 29 dan 30 UE).[36]
Perjanjian Amsterdam mulai berlaku pada 1 Mei 1999, dengan penekanan pada arti kerja sama antarnegara anggota yang lebih ditingkatkan. Perjanjian tersebut juga mengatur sanksi terhadap negara-negara anggota Uni Eropa yang melanggar hukum dan aturan yang mengikat di dalam Komunitas. Perlindungan integritas Uni Eropa dimasukkan dalam tujuan Pilar Kedua, kemudian kantor Perwakilan Tinggi untuk Kebijakan Luar Negeri dan Keamanan Bersama dibentuk.[3]. Perjanjian Nice digunakan oleh negara-negara anggota dalam mempersiapkan perluasan Uni Eropa di masa depan. Perjanjian-perjanjian tersebut direvisi dengan empat cara utama. Ukuran dan komposisi Komisi Eropa kemudian diubah. Jumlah suara setiap anggota negara bagian di Dewan Eropa disesuaikan, dan suara mayoritas yang memenuhi syarat diperluas ke area kebijakan.[37] Lalu, Perjanjian Nice ditandatangani di Nice pada 26 Februari 2001. Perjanjian tersebut mengubah Perjanjian Uni Eropa yang membentuk Komunitas Eropa (TEC). Selama konferensi tersebut beberapa keputusan bersejarah bagi Uni Eropa dibuat berdasar aksesi demokrasi Eropa Tengah dan Eropa Timur ke dalam Komunitas. Jumlah negara anggota Uni Eropa meningkat untuk pertama kalinya dengan bergabungnya 12 negara anggota baru, yaitu Estonia, Hungaria, Latvia, Lituania, Malta, Polandia, Republik Ceko, Siprus, Slovenia, dan Slowakia (tidak termasuk bagian Bulgaria, Rumania, dan Turki).[3] Menurut ketentuan Perjanjian, Komisi Eropa akan terdiri dari sejumlah komisaris yang sesuai dengan jumlah negara anggota Komunitas. Perjanjian tersebut memperkuat posisi Presiden Komisi Eropa dan mereformasi sistem peradilan Komunitas Eropa. Perjanjian ini secara resmi disajikan pada 30 Januari 2001 di Brussels.[3]
Menurut Perjanjian Lisboa, Uni Eropa berfungsi hingga kini berdasarkan dua dokumen dasar, yaitu Perjanjian Uni Eropa (TEU) dan Perjanjian Komunitas Eropa (TEC). Kemudian, perjanjian-perjanjian tersebut diubah dan diterima oleh Konferensi Internasional pada 29 Oktober 2004. Perjanjian ini menghapus sistem organisasi Tiga Pilar Uni Eropa, yang mempertahankan keterpisahan tertentu di dalam Komunitas, yang terkait dengan fungsi sebelumnya pada Pilar Kedua dan Ketiga.[3] Perjanjian Lisboa mengubah Perjanjian Uni Eropa (TEU atau Perjanjian Maastricht) dan Perjanjian Komunitas Eropa (TEC). 'Perjanjian Komunitas Eropa' (TEC) berganti nama menjadi 'Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa' (TFEU).[3][37] Selain itu, Perjanjian Lisboa disebut juga sebagai Perjanjian Reformasi, yang diputuskan selama KTT Uni Eropa di Lisboa pada 18-19 Oktober 2007. Setiap negara anggota Uni Eropa dapat menuntut pengulangan suara tertentu sesuai dengan sistem Nice.[3]
Akibatnya, kata 'konstitusi' tidak digunakan dalam dokumen ini, dan pasal-pasal yang berbicara tentang bendera, lagu kebangsaan dan semboyan Uni Eropa dihapus. Terminologi perundang-undangan hukum khusus bagi undang-undang nasional ditolak (tetapi undang-undang yang dikenal dengan 'Regulasi' dan 'Pedoman' dipertahankan). Pada perjanjian ini diputuskan bahwa mulai tahun 2014 Komisi Eropa terdiri dari 2/3 perwakilan dari negara anggota Komunitas dan masing-masing negara menominasikan komisaris dalam sistem rotasi.[3] Di awal tahun 2006, perkara perjanjian baru Uni Eropa dilanjutkan. Perjanjian Lisboa memperkenalkan struktur organisasi Uni Eropa yang seragam dan memberikan kepribadian hukum kepada Komunitas. Salah satu perubahan terpenting yang diperkenalkan Perjanjian Lisboa adalah sistem pemilihan di Dewan Uni Eropa. Selain itu, dokumen tersebut memungkinkan negara anggota mengundurkan diri dari Keanggotaan Uni Eropa, dan warga negara Uni Eropa memiliki hak inisiatif legislatif tidak langsung. Perjanjian Lisboa menunjuk Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Urusan Luar Negeri dan Kebijakan Keamanan memimpin Dinas Luar Negeri Eropa.[3]
Badan hukum yang berasal dari prinsip dan tujuan perjanjian dikenal sebagai hukum sekunder. Adapun hukum-hukum sekunder ini terdiri dari Regulasi, Pedoman, Keputusan, Rekomendasi, dan Opini.[28][38]Regulasi berlaku secara otomatis, bersifat mengikat dan seragam di seluruh negara Uni Eropa, tanpa perlu diubah menjadi undang-undang nasional.[28] Sementara, Pedoman mengharuskan negara-negara anggota Uni Eropa mencapai hasil tertentu, tetapi negara-negara tersebut bebas memilih cara mencapai tujuan tersebut. Negara-negara tersebut juga harus mengadopsi undang-undang transposisi oleh otoritas nasional kepada Komisi Eropa supaya mencapai tujuan yang ditetapkan oleh Pedoman dengan tenggat waktu yang ditetapkan ketika suatu Pedoman diambil (umumnya 2 tahun). Ketika suatu negara tidak mengubah suatu Pedoman, maka Komisi dapat memulai proses pelanggaran.[28]
Keputusan dapat mengikat dan berlaku di satu atau lebih negara Uni Eropa, perusahaan, atau individu. Namun, Keputusan tidak perlu diubah menjadi hukum nasional.[28] Sementara, Rekomendasi memungkinkan lembaga-lembaga Uni Eropa membuat pandangan mereka diketahui, dan menyarankan suatu garis perundang-undangan, tanpa memaksakan kewajiban hukum apa pun kepada yang ditujukan. Namun, Rekomendasi tidak memiliki kekuatan mengikat.[28] Oleh karenanya, Rekomendasi tidak memberikan pengaruh langsung.[39] Sementara Opini adalah instrumen yang memungkinkan lembaga-lembaga Uni Eropa membuat pernyataan, tanpa memaksakan kewajiban hukum apa pun pada subjek Opini. Suatu Opini tidak memiliki kekuatan mengikat.[28] Maka, Opini tidak memberikan pengaruh langsung.[39]
Dewan Eropa merupakan pengelompokan para pemimpin politik utama Uni Eropa, yang terdiri dari presiden atau perdana menteri dari setiap negara anggota.[40]Konferensi Tingkat TinggiDewan Eropa menetapkan arah luas serikat tersebut dan menyelesaikan pertanyaan tingkat tinggi yang mendesak. Para anggotanya memilih seorang presiden, yang dapat melayani hingga dua setengah tahun masa jabatan.[40]Presiden Dewan Eropa saat ini adalah mantan Perdana Menteri Belgia, Charles Michel.
Komisi Eropa diubah namanya setelah berlakunya Perjanjian Maastricht, yang sebelumnya bernama 'Komisi Komunitas Eropa'. Komisi Eropa mewakili kepentingan Komunitas, sebagai lembaga "revolusioner" dalam sistem kelembagaan Komunitas. Hal ini karena lembaga ini menjalankan banyak wewenang, yang salah satunya sebagai wali Perjanjian, inisiator legislasi Komunitas, lambang eksekutif Komunitas atau Uni Eropa, yang selalu terlibat dalam representasi Uni Eropa di arena internasional.[41]Komisi Eropa dapat mengusulkan undang-undang, mengelola anggaran, mengimplementasikan keputusan, mengeluarkan peraturan, dan mewakili Uni Eropa di pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di seluruh dunia.
Parlemen Eropa yang sebelumnya dikenal sebagai Majelis Komunitas Eropa, berganti nama pada tahun 1962, dengan menekankan peran yang harus dimainkan dalam proses pembuatan kebijakan Komunitas.[42]Parlemen Eropa adalah satu-satunya badan Uni Eropa yang dipilih secara langsung, dengan perwakilan yang proporsional oleh populasi setiap negara anggota. Berbeda halnya dengan lembaga legislatif tradisional, lembaga ini tidak mengusulkan undang-undang, tetapi hukum harus tetap berada di dalam persetujuannya. Parlemen Eropa juga menegosiasikan dan menyetujui anggaran Uni Eropa dan mengawasi Komisi Eropa. Parlemen Eropa saat ini dipimpin oleh politisi Italia, David Sassoli. Perubahan peran pada Parlemen Eropa, yang diakibatkan setiap revisi dari Perjanjian asli, dapat meningkatkan kekuatan legislatif secara substansial. Perubahan tersebut diantaranya: kekuatan Parlemen yang pada mulanya murni bersifat konsultatif; UU Eropa Tunggal mengakui nama baru dan memperkenalkan dua prosedur legislatif, yaitu persetujuan dan prosedur kerja sama dengan memperkenalkan Perjanjian Uni Eropa, yang memungkinkan Parlemen Eropa supaya meminta Komisi menyiapkan proposal legislatif, serta penambahan prosedur baru, yaitu prosedur pengambilan keputusan; Perjanjian Amsterdam yang memperluas cakupan penerapan prosedur keputusan bersama (co-decision); dan cakupan prosedur keputusan bersama (co-decision) yang kemudian diperluas oleh Perjanjian Nice yang menyetujui prosedur tersebut.[42] Setelah berlakunya Perjanjian Uni Eropa (TEU), 'Dewan Menteri' pada Perjanjian tersebut mengadopsi Keputusan 93/591 pada 8 November 1993. Sejak saat itu, nama resminya diganti menjadi “Dewan Uni Eropa”, yang kini umumnya disebut sebagai "Dewan" saja.[43]
Dewan adalah lembaga legislatif utama Komunitas dan satu-satunya pembuat hukum yang terkait dengan pengadopsian perundang-undangan di bawah Pilar Kedua dan Ketiga. Dewan mewakili kepentingan nasional setiap negara anggota, yang merupakan badan antarpemerintah murni; yang pertemuan-pertemuannya berpotensi berubah menjadi konferensi diplomatik. Namun, Dewan merupakan lembaga Uni Eropa, dan karenanya diperlukan dalam mempromosikan kepentingan Uni Eropa. Fungsi ganda ini menjadikan Dewan memiliki tugas yang tidak mungkin bersamaan, baik itu dalam mempromosikan Uni Eropa, maupun melaksanakan serangkaian kepentingan nasional, yang hingga taraf tertentu difasilitasi dengan tingkat konvergensi di antara keduanya.[43]Dewan tidak memiliki komposisi tetap dan keanggotaannya bervariasi sesuai dengan hal-hal yang dibahas. Pada pertemuan masing-masing menteri, Dewan didampingi oleh seorang pegawai negeri, sebagai bagian dari tim negosiasi. Komisi juga diwakili, meski pengaruhnya bergantung pada materi dan kompetensi Komisi di bidang yang dibahas. Dewan Uni Eropa memiliki sembilan konfigurasi berbeda, diantaranya:[44] Hubungan Umum dan Hubungan Eksternal; Urusan Ekonomi dan Keuangan; Peradilan dan Urusan dalam Negeri; Pekerjaan, Kebijakan Sosial, Kesehatan dan Urusan Konsumen; Daya Saing (Pasar Bersama, Industri dan Penelitian); Transportasi, Telekomunikasi dan Energi; Pertanian dan Perikanan; Lingkungan; Pendidikan, Pemuda dan Budaya.[44] Dengan kata lain, Dewan Uni Eropa merupakan salah satu lembaga legislatif kedua, yang persetujuannya dibutuhkan dalam mengesahkan undang-undang, yang terdiri dari menteri-menteri pemerintah dari semua negara anggota Uni Eropa, yang diorganisir oleh bidang-bidang kebijakan.
Mahkamah Hukum Uni Eropa (CJEU) merupakan otoritas kehakiman tertinggi Uni Eropa, yang menafsirkan hukum Uni Eropa, serta menyelesaikan perselisihan. Mahkamah Hukum Uni Eropa terdiri dari Mahkamah Eropa dan Pengadilan Umum. Tugas utama Mahkamah Eropa (ECJ) adalah memastikan bahwa dalam menafsirkan dan menerapkan traktat-traktat perjanjian, hukum tersebut berada dalam pengamatannya. Setiap Traktat-Traktat Pendirian, seperti Traktat ECSC, Komunitas Eropa (EC) dan Traktat Euratom (EA), mendirikan pengadilannya sendiri yang berada di bawah Konvensi 1957 pada Lembaga Umum Tertentu bagi Komunitas Eropa yang diakui sebagai lembaga umum bagi ketiga Komunitas.[45]Mahkamah Eropa mengklarifikasi hukum Uni Eropa, serta peraturan-peraturan tentang dugaan pelanggaran negara anggota kepada pengadilan nasional. Sementara, Pengadilan Umum adalah lembaga yang mendengarkan berbagai kasus yang dibawa oleh individu atau organisasi terhadap lembaga-lembaga Uni Eropa. Mahkamah Audit Eropa menyebut dirinya sebagai "kesadaran finansial" bagi Uni Eropa. Lembaga ini didirikan oleh Perjanjian Brussel pada 22 Juli 1975, yang baru dibentuk pada tahun 1977, kemudian diakui sebagai lembaga Komunitas oleh Perjanjian Uni Eropa. Perjanjian Amsterdam memperbesar lingkup audit Mahkamah terhadap Pilar Kedua dan Ketiga Uni Eropa, yang dengannya Mahkamah ini menjadi lembaga Uni Eropa. Perjanjian Amsterdam menegaskan bahwa lokus pengadilan ini tidak dapat dipisahkan dengan Pasal 230 yang bertujuan melindungi hak prerogatif lembaga tersebut atas lembaga Uni Eropa lainnya.[46] Dengan kata lain, Mahkamah Audit Eropa (ECA) adalah lembaga yang mengaudit anggaran Uni Eropa; memeriksa apakah dana dihabiskan dengan tepat, dan melaporkan segala kecurangan kepada Parlemen Eropa, Komisi, dan pemerintah nasional.
Bank Sentral Eropa (ECB) mengelola Euro bagi sembilan belas negara yang menggunakan mata uang tersebut, dan mengimplementasikan kebijakan moneter Uni Eropa. Selain itu, lembaga ini membantu melakukan regulasi dalam sistem perbankan Uni Eropa. Di tengah krisis utang Eropa, Presiden Bank Sentral Eropa, Mario Draghi secara kontroversial berkomitmen sebagai pemberi pinjaman pada perekonomian Zona Euro. Kemudian seorang politisi dari Prancis, Christine Lagarde, yang ketika itu merupakan mantan kepala Dana Moneter Internasional (IMF), mengambil alih posisi tersebut pada tahun 2019.
Komisi Eropa merupakan entitas otonom dengan hak kedaulatannya sendiri, yaitu suatu tatanan hukum independen atas negara-negara anggota. Oleh sebab itu, baik negara anggota, maupun warga negaranya harus tunduk pada bidang kompetensi Komisi Eropa.[47] Hubungan antara hukum Uni Eropa dan hukum nasional sering kali ditandai dengan berbagai 'bentrokan'. Hal ini muncul ketika ketentuan undang-undang Uni Eropa memberikan hak, dan membebankan kewajiban secara langsung kepada warga negaranya. Namun, isinya bertentangan dengan aturan hukum nasional negara-negara anggota. Hukum Uni Eropa memiliki prinsip 'penerapan langsung', yang berarti bahwa Uni Eropa memberikan hak dan mengenakan kewajiban secara langsung, tidak hanya pada lembaga Uni Eropa dan negara-negara nggota, tetapi juga kepada warga negaranya. Hukum atas perkara ini dimulai pada perkara Van Gend en Loos, ketika perusahaan transportasi Belanda, Van Gend & Loos, mengajukan gugatan di pengadilan Belanda kepada otoritas bea cukai Belanda, yang menagih bea masuk produk kimia dari Republik Federal Jerman, dengan biaya yang lebih tinggi dibandingkan bea masuk impor sebelumnya. Akibatnya, Mahkamah Eropa menggunakan perkara ini sebagai kesempatan dalam menetapkan sejumlah temuan yang bersifat mendasar tentang sifat hukum Komisi Eropa.[48][49]
Efek hukum dari perkara ini bukan hanya kriteria pada perkara perusahaan Van Gend & Loos yang memperoleh hak atas pengadilan Belanda, sehingga membatalkan bea cukai tersebut; tetapi berlaku juga pada kepentingan yang lebih besar bagi warga negara Uni Eropa. Adapun hal-hal yang tercakup akibat efek hukum tersebut diantaranya adalah ketentuan-ketentuan tentang kebebasan bergerak, kebebasan mendirikan usaha, dan kebebasan menyediakan layanan.[49] Hubungan antara hukum internasional yang telah ditransposisikan, dengan penerapan hukum nasional dilakukan dengan prinsip lex posterior derogat legi priori.[50] Selain itu, prinsip 'keutamaan hukum Uni Eropa' sangat penting bagi keberadaan tatanan hukum Uni Eropa. Hal ini diawali dalam perkara Costa v ENEL yang mempertanyakan nasionalisasi industri listrik Italia yang bertentangan dengan Perjanjian Komunitas Eropa. Kemudian Mahkamah Eropa menafsirkan berbagai aspek dari sifat khusus hukum Uni Eropa yang memiliki keunggulan atas hukum yang bertentangan dari negara anggota; yang tidak hanya lebih kuat dari hukum nasional sebelumnya, tetapi juga memiliki efek membatasi pada hukum yang diadopsi kemudian.[51][52] Dalam menghadapi konflik hukum ini, pengadilan di Belanda tidak mengalami kesulitan karena keutamaan hukum Uni Eropa atas hukum nasional secara tegas telah diatur di dalam konstitusi, seperti halnya negara-negara anggota lainnya.[53] Namun, di Jerman dan Italia, pada awalnya menolak prinsip 'keutamaan hukum Uni Eropa' atas hukum konstitusi nasional, khususnya mengenai jaminan perlindungan terhadap hak-hak dasar. Kedua negara tersebut baru menarik keberatan, setelah perlindungan atas hak-hak dasar dalam tatanan hukum Uni Eropa mencapai standar yang sesuai dengan esensi konstitusi nasional mereka.[53]
Pada dasarnya butuh waktu lama dalam menafsirkan hukum nasional supaya sejalan dengan hukum Uni Eropa, sehingga diakui dan dimasukkan ke dalam tatanan hukum Uni Eropa oleh Mahkamah Eropa.[53] Penetapan kewajiban menafsirkan hukum nasional supaya sesuai dengan Pedoman, pertama kali dilakukan pada perkara Von Colson dan Kamann pada tahun 1984. Pedoman tersebut menyatakan bahwa hukum nasional harus memberikan hukuman yang efektif, sehingga memastikan adanya kesempatan yang sama atas akses terhadap pekerjaan tanpa diskriminasi. Meski hukum nasional gagal mematuhi hukum Uni Eropa, tetapi tidak ada dasar bagi pengadilan nasional supaya tidak mempertimbangkan hukum nasional tersebut. Sehingga, Mahkamah Eropa memutuskan supaya pengadilan nasional, wajib menafsirkan dan menerapkan undang-undang nasional dalam masalah sipil sedemikian rupa, sehingga terdapat hukuman yang efektif atas perkara diskrimasi berdasarkan jender tersebut.[54] Batas-batas penafsiran hukum nasional yang sejalan dengan hukum Uni Eropa berada dalam kata-kata yang jelas, dan tidak terbuka untuk interpretasi. Meski terdapat kewajiban di bawah hukum Uni Eropa dalam menafsirkan hukum nasional, tetapi hukum nasional tidak dapat ditafsirkan sebagai 'contra legem'. Hal ini berlaku pula dalam perkara-perkara di mana lembaga legislatif nasional, secara eksplisit menolak transposisi Pedoman menjadi hukum nasional. Konflik yang timbul antara hukum Uni Eropa, dan hukum nasional hanya dapat diselesaikan melalui proses terhadap negara anggota bersangkutan, yang memenuhi kewajiban berdasarkan suatu perjanjian.[55]
Hukum administratif
Hukum administratif umumnya dipahami sebagai cabang hukum publik yang mengatur administrasi yang terkait dengan negara atau pemerintah.[57] Meskipun definisi antara hukum konstitusi dengan administratif, serta perbedaan di antara keduanya cenderung arbitrer dan tumpang tindih, hukum administratif pada umumnya mengatur operasi hukum publik.[58][59] Prinsip dasar hukum administratif Eropa berasal dari traktat-traktat yang disusun oleh Mahkamah Eropa. Peran penting hukum administratif terletak pada penetapan aturan operasi proses administratif, yaitu kerangka kerja sekunder di mana suatu administrasi beroperasi.[58] Sistem pengujian yudisial yang dikembangkan saat ini menjadi norma dengan fungsi menetapkan legalitas perundang-undangan administratif, serta perlindungan hak-hak pihak swasta.[60]
Dalam undang-undang Uni Eropa, prinsip-prinsip baru seperti hak 'akses ke pengadilan' dan 'peradilan yang efektif' dirumuskan sebagai hak konstitusional. Sebagai alternatif, prinsip-prinsip umum dapat berasal dalam administrasi publik, yang dipinjam dari prinsip-prinsip 'tata pemerintahan yang baik' seperti transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi yang diadopsi Uni Eropa oleh Komisi Eropa pada tahun 2001.[60][61] Dua peristiwa penting yang menandai pembukaan tahapan baru hukum administratif Uni Eropa diantaranya yaitu Perjanjian Maastricht 1992 yang secara resmi memperluas ruang lingkup Uni Eropa ke bidang-bidang Peradilan dan Urusan Dalam Negeri.[62] Jatuhnya Komisi Santer pada tahun 1999 juga berpengaruh pada perubahan peran dan posisi Komisi Eropa. Komunitas Eropa pada mulanya merupakan sistem dua tingkat. Cara tradisional untuk menganalisis administrasi adalah dalam bentuk triadik, yaitu administrasi langsung, seperti pada Hukum kompetisi Uni Eropa; administrasi tidak langsung, di mana pelaksanaan kebijakan Uni Eropa 'diunduh' ke dalam sistem administratif nasional; dan administrasi kooperatif atau administrasi bersama, di mana kedua tingkatan bekerja bersama. Sistem pemerintahan Uni Eropa berubah secara radikal ketika Komisi Eropa menjadi 'koordinator jaringan', daripada sebuah administrasi publik klasik yang bertanggung jawab atas penyediaan layanan.[63] Setelah Perjanjian Lisboa ditandatangani, hukum administratif Uni Eropa menghadapi beberapa tantangan yang meliputi: perluasan aturan hukum dan prinsip legalitas ke bidang peradilan, urusan dalam negeri, dan imigrasi; peningkatan perhatian atas hak-hak asasi manusia; hilangnya fungsi pemerintahan ke agen dan jaringan; dan proses globalisasi yang semakin menekan Uni Eropa, serta menantang otonomi pertahanannya.[64] Fitur utama hukum administrasi meliputi: (1) Perjanjian Uni Eropa dan Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa, yang merupakan dasar konstitusi khusus hukum Uni Eropa; (2) Hak-hak fundamental seperti yang ditujukan oleh ketentuan Piagam Hak Asasi Uni Eropa memiliki kepentingan khusus; (3) hukum administrasi adalah hukum yang terintegrasi dengan hukum administrasi nasional, tanpa menghilangkan karakteristik khusus identitas budaya dari masing-masing negara anggota; (4) pluralisme administratif negara-negara anggota merupakan dasar bagi hubungan aktif dengan Uni Eropa baik secara vertikal, maupun horizontal.[65]
Pengaruh langsung hukum Uni Eropa diabadikan oleh Mahkamah Eropa dalam keputusan terhadap perkara Van Gend en Loos pada 5 Februari 1963. Di dalam keputusan tersebut, Mahkamah Eropa menyatakan bahwa hukum Uni Eropa tidak hanya menimbulkan kewajiban bagi negara-negara anggota Uni Eropa, tetapi juga hak bagi individu. Oleh karenanya, individu dapat mengambil keuntungan atas hak-hak ini, dan secara langsung dapat memohonkan perundang-undangan Eropa sebelum pengadilan nasional dan Mahkamah Eropa. Namun, negara-negara anggota Uni Eropa tidak perlu mengadopsi legislasi Eropa terkait, ke dalam sistem hukum internalnya.[39] Prinsip 'pengaruh langsung' memastikan penerapan, serta efektivitas hukum Uni Eropa di negara-negara anggotanya. Mahkamah Hukum Uni Eropa mendefinisikan beberapa ketentuan supaya tindakan hukum Uni Eropa dapat diterapkan. Salah satunya, pengaruh langsung yang hanya terkait antara individu dan negara anggota Uni Eropa, atau diperluas pada hubungan antar individu yang berhubungan dengan legislasi Eropa tertentu; bergantung beberapa kondisi.[39] Pada perkara Van Gend en Loos, Mahkamah Eropa mengandalkan metode penafsiran yang bertujuan, yang tidak hanya mengandalkan kata-kata dari Perjanjian, tetapi juga semangat dan tujuan dari Komunitas. Dalam keputusan tersebut, Mahkamah Eropa menyatakan bahwa 'Komunitas merupakan tatanan hukum baru dari hukum internasional' yang memberikan hak dan kewajiban pada individu, serta pada negara anggota yang berpartisipasi; tanpa perlu menerapkan undang-undang. Mahkamah Eropa selanjutnya menyimpulkan bahwa pengadilan nasional harus melindungi hak-hak tersebut.[66] Aspek-aspek hukum Komunitas menjadikan sistem hukum Uni Eropa sebagai sistem hukum sui generis, yang bukan merupakan hukum nasional atau federal; tetapi sebuah sistem yang mencerminkan hubungan yang sangat spesifik, antara hukum nasional dan hukum yang dikembangkan di bawah Perjanjian Pendirian, yang bersifat khusus bagi Uni Eropa. Sistem hukum ini membebaskan diri dari hukum yang dikembangkan oleh perjanjian internasional lainnya, dalam tiga hal penting yang meliputi: pengaruh langsung, penerapan langsung, dan supremasi hukum Uni Eropa.[67]
Beberapa kriteria pengaruh langsung diantaranya adalah: (1) jelas dan tepat, yaitu suatu hukum berlaku dalam keadaan kedua belah pihak memiliki kejelasan tentang hak/kewajiban masing-masing; (2) tidak bersyarat; (3) tidak tunduk pada perundang-undangan lebih lanjut, baik pada tingkat Komunitas, maupun otoritas nasional.[68] Sifat dari pengaruh langsung ini dapat berbentuk vertikal, yaitu ketika hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian diberikan kepada individu dalam melawan negara. Misalnya, pada perkara Van Gend en Loos, atau dalam bentuk pengaruh langsung horizontal, seperti pada perkara Defrenne v Sabena.[68]Regulasi dapat berpengaruh langsung dengan ketentuan yang 'mengikat secara keseluruhan, dan langsung berlaku di seluruh negara-negara anggota',[68] baik vertikal maupun horizontal.[69] Sementara Pedoman dan Keputusan memiliki pengaruh langsung ketika keputusan-keputusan tersebut merujuk pada negara-negara Uni Eropa sebagai penerima; dan hanya berpengaruh langsung secara vertikal,[39] serta hanya mengikat bagi mereka yang ditujukan; baik itu negara anggota, perusahaan, atau perorangan.[69] Beberapa perkara hukum yang mengkonfirmasi karakter Pedoman yang berpengaruh secara vertikal terdapat pada perkara Pubblico Ministero v Ratti,[69]Marshall,[70][71]Roberts v Tate & Lyle Industries,[70] dan Foster v British Gas, serta Doughty v Rolls Royce. Meski dalam praktiknya, Mahkamah Eropa menafsirkan ulang definisi 'negara' yang dimaksud dalam pengaruh langsung vertikal tersebut.[72]
Pembatasan potensial efektivitas Pedoman, diatasi oleh Mahkamah Eropa dengan memaksakan kewajiban menafsirkan perundang-undangan kepada pengadilan nasional, dengan berdasar aturan Pedoman. Kewajiban ini disebut sebagai prinsip 'pengaruh tidak langsung', yang ditetapkan untuk pertama kalinya di dalam perkara Von Colson.[71] Pada perkara 80/86 Kolpinghuis Nijmegen, Mahkamah Eropa menjelaskan bahwa penafsiran legislasi nasional yang berdasar Pedoman, dapat menghasilkan konflik dengan Prinsip dasar hukum Uni Eropa, seperti prinsip 'non-reaktivitas' atau 'harapan yang sah'.[73] Maka, penerapan pengaruh tidak langsung terbatas sejauh hal tersebut 'memungkinkan' dilakukan oleh pengadilan nasional, dalam menyesuaikan hukum nasional dengan PedomanUni Eropa.[74] Pada perkara C-106/89 Marleasing, Mahkamah Hukum Uni Eropa menetapkan bahwa legislasi nasional dapat mengandalkan penafsiran pada Pedoman yang belum dijalankan, atau baru diterapkan secara tidak tepat; tidak hanya oleh individu dalam melawan negara, tetapi juga dalam melawan individu lainnya. Bahkan ketika hukum nasional tersebut telah mendahului sebuah Pedoman yang tidak dimaksudkan dalam menerapkan hal tersebut. Dengan kata lain, ketetapan ini membolehkan penggunaan Pedoman yang tidak berhubungan, dalam 'pengaruh langsung horizontal'.[73] Sementara 'pengaruh langsung insidental' dapat terjadi dalam kondisi-kondisi khusus, misalnya Pedoman tersebut tidak dimaksudkan menganugerahkan hak dan kewajiban secara langsung kepada suatu individu. Contohnya, sebuah Pedoman yang dikeluarkan dalam melindungi Pasar Bersama dalam perkara C-443/98 Unilever Italia.[74] Selain itu, sumber sebuah hak atau kewajiban, tidak selalu terang-terangan ada di dalam Pedoman. Misalnya, dalam perkara C-144/04 Mangold memperlihatkan bahwa sumber hak bagi penuntut adalah sebuah Pedoman, yang tanggal kadaluwarsanya belum berakhir. Kemudian Pedoman dapat memberikan pengaruh langsung, sebagaimana hak pengajuan pra-peradilan yang berhubungan dengan diskriminasi. Kemudian Mahkamah Hukum Uni Eropa memberikan hak tersebut berdasar prinsip umum non-diskriminasi, sebagai lawan Pedoman pra-peradilan.[75]
Para hakim nasional berperan penting dalam menerapkan perundang-undangan Uni Eropa, sehingga dapat ditegakkan di masing-masing negara anggota dengan benar dan konsisten. Dalam rangka melindungi kesatuan dan efektivitas hukum Uni Eropa, Mahkamah Hukum Uni Eropa harus menyediakan tuntunan yang benar, dalam membantu pengadilan nasional menafsirkan hukum Uni Eropa dengan tepat. Mekanisme rujukan pendahuluan adalah salah satu instrumen kunci yang diatur di dalam Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa, yang memungkinkan Mahkamah Hukum Uni Eropa memberikan panduan ini, supaya dapat bekerja sama dengan pengadilan nasional. Prosedur rujukan pendahuluan juga memungkinkan pengadilan nasional mengajukan pertanyaan ke Mahkamah Hukum Uni Eropa.[76]Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa (TFEU) mengatur mekanisme dialog rujukan pendahuluan antara Mahkamah Eropa dengan pengadilan nasional. Selain membantu pengadilan nasional menafsirkan hukum Uni Eropa, dialog ini bertujuan supaya penerapan hukum Uni Eropa dapat seragam di seluruh Uni Eropa, serta menciptakan mekanisme tambahan. [77]
Mahkamah Hukum Uni Eropa tidak diikat berdasarkan perkara-perkara terdahulu (preseden), yang harus mengikuti peraturan-peraturan sebelumnya. Tetapi dalam praktiknya, hal tersebut dilakukan dalam memastikan adanya konsistensi hukum. Pada perkara Barber v Guardian Royal Exchange, pengadilan nasional wajib merujuk Mahkamah Eropa dan terikat oleh peraturan Mahkamah Eropa yang berlaku sebelumnya. Mahkamah Eropa membatasi efektivitas berlakunya peraturan, berdasar tanggal berlakunya putusan.[78]Mahkamah Eropa menerima rujukan dari berbagai pengadilan nasional dan tribunal, termasuk pranata-pranata arbitrase, kantor-kantor asuransi, dan tribunal-tribunal administratif. Secara hukum, Mahkamah Eropa tidak memiliki wewenang dalam menerima rujukan dari badan di luar sistem hukum negara-negara anggota. Hal ini dapat dilihat pada perkara Nordsee, yang permintaan peraturannya dibuat oleh tribunal arbitrase yang ditandatangani berdasarkan kontrak; sehingga rujukannya ditolak.[79] Pengadilan nasional atau pranata-pranata hukum harus membuat rujukan dengan keputusan perkara, sebelum bersandar pada penafsiran hukum Uni Eropa.[79]Perjanjian Berfungsinya Uni Eropa (TFEU) membedakan kondisi pengadilan-pengadilan nasional yang 'boleh' merujuk, dengan pengadilan-pengadilan nasional yang ‘wajib’ melakukan rujukan.[80] Pengadilan nasional yang ‘boleh’ merujuk, yaitu ketika pranata hukum tersebut memiliki otoritas membuat rujukan ke Mahkamah Eropa, tetapi tidak terikat untuk melakukannya. Sementara pranata-pranata hukum yang 'wajib' membuat rujukan, yaitu pihak-pihak yang tidak memiliki hak menarik banding dengan sendirinya. Misalnya, Mahkamah Agung di Britania Raya pada perkara Lord Denning Bulmer v Bollinger, perkara Costa v ENEL, dan Mahkamah Agung di Swedia pada perkara Lyckeskog.[80] Kondisi ’acte clair’ membuat pengadilan nasional tidak perlu melakukan rujukan kepada Mahkamah Hukum Uni Eropa, seperti yang terjadi pada perkara CILFIT, Da Costa, Lyckeskog, dan Keck & Mithouard.[81] Selain itu, Mahkamah Hukum Uni Eropa juga dapat menolak perundang-undangan yang dibuat oleh badan hukum nasional di luar sistem hukum negera-negara anggota.[82] Setelah pengadilan nasional telah sampai pada pemenuhan rujukan, pranata hukum ini kemudian memformulasikan pertanyaan-pertanyakan yang akan diajukan, serta mengumpulkan isu dan fakta-fakta mengenai suatu perkara tersebut kepada Mahkamah Hukum Uni Eropa. Meski pada realitasnya, Mahkamah Eropa memformulasikan ulang pertanyaan-pertanyaan pra-peradilan tersebut dalam 'mendampingi' pengadilan nasional. Pada akhirnya, pengadilan nasional lah yang memutuskan akhir dari perkara tersebut, bukan Mahkamah Eropa.[83] Rujukan pendahuluan merupakan prosedur yang menghubungkan sistem legislasi nasional dengan sistem hukum Uni Eropa supaya lebih terbiasa, sehingga sistem hukum Uni Eropa dapat berkembang, dan traktat-traktat perjanjian dapat dikonstitualisasikan. Dengan kata lain, rujukan pendahuluan merupakan wahana bagaimana prinsip dasar hukum Uni Eropa diartikulasikan.[84]
Meski hukum Uni Eropa memungkinkan individu membawa perkaranya secara langsung ke Mahkamah Eropa sebelum pengadilan nasional, tetapi pemulihan atas perkara tersebut tidak dibuat oleh pengadilan nasional. Hal ini dilakukan dalam memastikan adanya ketaatan pada hukum Uni Eropa. Akibatnya, pemulihan atas pelanggaran hukum nasional harus tersedia juga bagi pelanggaran-pelanggaran yang serupa di dalam hukum Uni Eropa. Pada perkara Rewe-Zentralfinanz, ketentuan pemulihan tidak boleh mendiskriminasi dan harus tersedia, seandainya berlaku 'pada kondisi yang sama dalam pengamatan hukum nasional'.[85] Pada perkara Francovich, Mahkamah Eropa menyatakan jika negara anggota gagal mengimplementasikan tujuan PedomanUni Eropa, maka pemulihan akan tersedia sebagai kompensasi bagi mereka yang dirugikan; akibat pelanggaran hukum tersebut. Hal ini memastikan supaya negara anggota tidak mengandalkan, atau mengambil untung atas kesalahan mereka sendiri, sehingga pemulihan tersedia secara seragam di Uni Eropa.[86][87] Keputusan Mahkamah Hukum Uni Eropa tentang negara-negara anggota yang gagal memenuhi kewajibannya, terkait aturan yang tercantum di dalam Pedoman, terdapat di dalam perkara Francovich. Selanjutnya Mahkamah Hukum Uni Eropa menetapkan bahwa pemulihan dapat tersedia dalam kondisi ketika negara-negara aggota gagal memenuhi turunan hukum Uni Eropa lainnya. Misalnya, dalam perkara-perkara gabungan Brasserie du Pêcheur SA v Germany, R v Secretary of State for Transport ex p Factortame Ltd dan Pêcheur dan Factortame.[88] Pada perkara Von Colson, Mahkamah Eropa menyediakan peraturan yang melindungi negara anggota, sehinga pengadilan nasionalnya wajib memfasilitasi pencapaian tujuan Uni Eropa.[89] Akibatnya, negara-negara anggota dan pengadilan nasional harus memastikan penyelesaian atas pelanggaran hukum Uni Eropa secara 'efektif', dengan 'efek jera' dan 'memadai dalam kaitannya dengan kompensasi yang berkelanjutan' (proporsional).[87] Pengadilan nasional mengembangkan prinsip ini pada perkara Johnston, dengan memastikan 'perlindungan yudisial yang efektif' bagi mereka yang dirugikan, akibat melanggar hukum Uni Eropa. Pada perkara Marshall, Mahkamah Eropa mengambil prinsip efektivitas, yaitu pengadilan nasional tidak hanya menyediakan pemulihan terhadap pelanggaran hukum nasional yang sama; tetapi juga apabila pemulihan 'efektif' pada hukum nasional tidak tersedia, maka pengadilan nasional harus memperbaiki hukum yang tersedia tersebut atau merancang pemulihan yang sesuai.[90] Sementara pada perkara 453-/99 Courage Ltd v Crehan, seorang individu dapat memperkarakan individu lainnya, dengan menuntut pemulihan yang diakibatkan adanya pelanggaran hukum kompetisi Uni Eropa. Karena tidak adanya pemulihan nasional untuk pelanggaran tersebut, maka Mahkamah Eropa menetapkan bahwa sebuah proses hukum yang dibawa atas dasar prinsip ’Frankovich’, tidak hanya dalam konteks melawan negara-negara anggota, tetapi juga dalam melawan individu atau badan-badan swasta yang menyebabkan kerugian, karena melanggar hukum Uni Eropa.[91]
Tuntutan pemulihan dapat berhasil dalam tiga kondisi: (1) perundang-undangan Uni Eropa yang diduga telah dilanggar adalah perundang-undangan yang 'bermaksud memberi hak pada suatu individu'. Hak ini tidak hanya terkandung di dalam legislasi, tetapi juga di dalam prinsip dasar hukum Uni Eropa; (2) apabila pelanggarannya 'cukup serius', termasuk dalam keadaan-keadaan kompleks, atau kesulitan-kesulitan dalam menerapkan penafsiran. Pada tes yang lebih modern, dapat dilihat dalam bentuk-bentuk 'kebijaksanaan' (discretion) yang diberikan. Pada perkara T-351/03 Schneider v Commission, 'kebijaksanaan' ini nyaris tidak ada dalam situasi di mana penggugat harus membuktikan suatu pelanggaran yang 'cukup serius', yang dilakukan oleh lembaga-lembaga Uni Eropa. Oleh sebab itu, ketika lembaga-lembaga Uni Eropa memberikan 'kebijaksanaan', maka 'kesalahpahaman' juga harus didemonstrasikan; (3) adanya 'hubungan kasualitas' antara pelanggaran dengan kerugian yang dikeluhkan. Perkara 26/74 Société Roquette Frères v Commission, menunjukkan bahwa jumlah kerugian yang dikeluhkan harus aktual, khusus, dan konkret. Selain itu, pemohon harus menunjukkan perundang-undangan mana yang telah menyebabkan kerugian, serta rantai penyebab kerugian tersebut tidak rusak, misalnya oleh negara anggota yang melawan Uni Eropa. Kecuali, jika Uni Eropa benar-benar gagal melaksanakan kekuatan pengawasannya pada suatu negara. Apabila terdapat ‘tanggung jawab hukum’ (liability) yang tergabung dari pihak Uni Eropa dan suatu negara anggota, maka secara umum, negara anggota tersebut dianggap sebagai penanggung jawab utama. Tindakan selanjutnya harus dibawa di pengadilan nasional yang sesuai. Kelalaian kontributif [juga] dapat membatalkan tuntutan, atau [setidaknya] mengurangi jumlah kerugian.[92]
Pengujian yudisial merupakan aspek penting dari setiap sistem hukum yang beroperasi di bawah supremasi hukum. Pengujian yudisial memungkinkan individu melindungi hak-hak mereka, yang berada dalam kepentingan yang sah. Akuntabilitas pemerintah atas perlindungan individu dilindungi pada prosedur pengujian yudisial.[93] Prosedur pengujian yudisial yang diatur di dalam TFEU merupakan sistem checks and balances yang memastikan badan-badan Uni Eropa bertindak sesuai batas-batas kekuasaan yang telah diberikan.[94] Ketika seorang individu (atau perusahaan) melanggar hukum Uni Eropa, mereka dapat membawa perkara tersebut ke pengadilan nasional di bawah doktin 'pengaruh langsung'. Kemudian pengadilan tersebut didampingi oleh Mahkamah Hukum Uni Eropa dalam melakukan rujukan pendahuluannya.[92]
TFEU pasal 263 memberikan Mahkamah Hukum Uni Eropa kewenangan dalam menguji legalitas perundang-udangan legislatif yang dikeluarkan oleh Dewan Uni Eropa, Komisi, Bank Sentral Eropa, Parlemen Eropa, dan Dewan Eropa.[95]TFEU pasal 263 juga memberikan kewenangan kedudukan hukum bagi individu yang mengajukan nota 'individual concern' seperti pada perkara Plaumann. Pada perkara tersebut, pemohon merupakan seorang pengimpor jeruk yang melakukan pengujian yudisial atas keputusan Pemerintahan Jerman, sehingga memungkinkan Jerman mengubah peraturan impor jeruk dari luar Uni Eropa. Mahkamah Hukum Uni Eropa menyarankan supaya pemohon menunjukkan 'individual concern' yang membedakannya dengan individu lainnya secara umum, atau menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari suatu 'kelas tertutup'. Pada perkara Plaumann, ia tidak berhasil menunjukkan bahwa ia termasuk dalam suatu 'kelas tertutup'.[96] Kemudian AG Jacobs menyampaikan pendapat dalam perkara UPA yang mengusulkan definisi ulang istilah 'individual concern', kemudian Pengadilan Umum memperluas definisi sempit istilah 'individual concern' tersebut di dalam perkara T-177/01, Jégo Quéré. Pada akhirnya, Mahkamah Eropa menolak kedua posisi AG dan Pengadilan Umum dengan alasan bahwa perubahan kedudukan hukum harus berada dalam urusan legislasi.[96] Ketika suatu legislasi yang akan diafsirkan merupakan sebuah regulasi, maka istilah 'individual concern' tidak diterima, selama tidak bisa diterapkan secara umum (TFEU pasal 288). Begitu pula dengan kelompok 'kelas tertutup'. Pada dasarnya Mahkamah Eropa mengambil pendekatan yang lebih luas dalam melihat kembali bentuk hingga substansi legislasi, sehingga menemukan sifat alamiah suatu legislasi; yang memungkinkan kondisi-kondisi apa saja yang dapat membuat suatu regulasi terbuka untuk diuji.[96] Hal ini memastikan supaya pranata-pranata hukum tidak mengurangi peluang pengujian, dengan memilih sebuah bentuk legislasi yang tidak terbuka untuk dipertanyakan.[96]Mahkamah Hukum Uni Eropa juga menimbang makna istilah ‘direct concern‘, di mana pemohon harus menunjukkan bahwa suatu undang-undang telah mempengaruhi posisi hukumnya 'secara langsung', dan terdapat hubungan antara undang-undang yang dipermasalahkan tersebut, dengan kerugian yang didapat; yang pembuktian 'penyebab'nya dapat dibandingkan di bawah hukum Anglo-Welsh.[97] Oleh sebab itu, kriteria undang-undang regulasi meliputi: (1) undang-undang yang tidak ditetapkan di bawah prosedur legislasi Uni Eropa; (2) merupakan bagian dari penerapan umum; (3) memiliki ‘direct concern‘ atas pemohon; (4) tidak membutuhkan adanya implementasi legislasi, supaya dapat berpengaruh; serta (5) merupakan 'undang-undang regulasi' yang melawan 'orang atau badan hukum', yang sedang memulai langkah-langkah pra-peradilan[98]Perjanjian Lisboa membatasi waktu selama dua bulan; apakah itu tertanggal dari penerbitan undang-undangnya, atau dari pemberitahuan kepada penuntut, atau tanggal tuntutan tersebut dikeluarkan.[98]
TFEU pasal 263 berada dalam satu sisi yang sama dengan pasal 265, yaitu ketika undang-undang yang kemudian disahkan oleh Lembaga-lembaga Uni Eropa tidak efektif. Maka undang-undang terdahulu akan memaksa lembaga-lembaga Uni Eropa memenuhi kewajiban-kewajiban Uni Eropa. Oleh sebab itu, ketentuan ini hanya dapat terjadi apabila pemohon menunjukkan adanya kewajiban seperti itu. Lembaga-lembaga yang dimaksud terdiri dari Parlemen Eropa, Dewan Eropa, Dewan Uni Eropa, Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, termasuk badan-badan, dan agensi Uni Eropa. Pasal 263 menunjukkan pula bahwa negara-negara anggota, dan lembaga-lembaga Uni Eropa, secara otomatis memiliki kedudukan hukum. Sementara, individu dan perusahaan-perusahaan yang berbadan hukum, memiliki kedudukan hukum yang terbatas; selama lembaga-lembaga Uni Eropa memiliki kewajiban mengeluarkan sebuah undang-undang. Pemohon juga harus menunjukkan 'direct concern’ dan 'inividual concern’, sehingga Mahkamah Eropa memberikan pengujian-pengujian pembatasan sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam TFEU pasal 263.[99]TFEU pasal 263 dan 265 membuat individu-individu dan badan usaha menghadapi kesulitan, baik dalam membuktikan kedudukan hukum pada proses pengujian yudisial, maupun dalam memperoleh pemulihan. Namun, terdapat beberapa alternatif yang dapat dilakukan, diantaranya: (1) mengajukan pertanyaan-pertanyaan ke dalam pertanyaan-pertanyaan pra-peradilan yang akan diajukan dalam prosedur rujukan pendahuluan, yang dilakukan oleh negara-negara anggota; selama terdapat tindakan terpisah, sebelum pengadilan nasional mengambil putusan. Namun, alternatif ini bukanlah pilihan tebuka bagi penuntut, karena Mahkamah Eropa menunjukkan bahwa permintaan putusan pada perkara C-188/92 Textilwerke Deggendorf (TWD), yang berada di bawah TFEU pasal 263, merupakan tindakan 'penyalahgunaan prosedur';[100] (2) wewenang 'tidak langsung' dalam menguji pasal-pasal di bawah doktrin 'plea of illegality' yang diberikan dalam TFEU pasal 227. Pasal tersebut menerangkan tentang 'penerapan umum yang digunakan oleh lembaga-lembaga, badan atau agensi Uni Eropa'.[100]
TFEU pasal 340 memberikan wewenang dalam: (1) kewajiban kontrak, dan (2) kewajiban non-kontrak. 'Kewajiban kontrak' mengatur apabila individu ingin menuntut pemulihan atau kompensasi ketika melawan lembaga-lembaga Uni Eropa atas suatu hubungan kontraktual. Langkah ini dapat ditempuh pada pengadilan nasional yang cocok, di bawah aturan-aturan legal yang sesuai; dan kepada negara-negara anggota mana kontrak tersebut dilaksanakan.[101] Sementara kewenangan 'kewajiban nonkontraktual' diatur di dalam TFEU pasal 268, yang menyatakan bahwa Mahkamah Hukum Uni Eropa dapat mendengar perkara-perkara yang dibawa dalam melawan Uni Eropa; yang terkait dengan pemulihan yang diakibatkannya, baik oleh lembaga-lembaga Uni Eropa (fautes de service), maupun oleh pegawai-pegawainya (fautes personnelles) ketika melaksanakan tugas.[101] Selain itu, Mahkamah Eropa juga harus mengenali hukum negara-negara anggota, sebagai acuan dalam penerapan pasal-pasal tersebut.[101] Gugatan-gugatan yang tercakup di dalam TFEU pasal 340 ayat 2 merupakan gugatan independen, yang tidak membatasi siapa pun. Namun, waktunya dibatasi hingga lima tahun dari saat penggugat menjatuhkan perkara secara wajar.[102]
Komunitas Eropa pada awalnya hanya berfokus pada ranah ekonomi. Kemudian setiap upaya menegakkan HAM di Eropa dibawa ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa yang didirikan dalam kerangka Majelis Eropa, yang bertugas menerapkan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Namun, secara bertahap, Mahkamah Eropa mengakui perlunya mengamati hak-hak fundamental tertentu ketika menerapkan hukum Komunitas, meski ECHR secara spesifik tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan ini.[103]Perjanjian Amsterdam melangkah lebih jauh dengan meningkatkan rasa hormat terhadap manusia, yang merupakan salah satu prinsip umum yang mendasari Uni Eropa. Perkara Stauder v Ulm adalah perkara pertama yang memanfaatkan hak asasi manusia.[103] Perkara National Panasonic (UK) v Commission adalah contoh perkara tentang perlindungan atas hak privasi; perkara Australian Mining and Smelting Europe Ltd v Commission yaitu contoh penerapan tentang hak atas proses hukum yang sah, hak mendapatkan privasi dalam hubungan antara penasehat hukum dan klien-nya, serta perkara Prais v Council yaitu tentang perlindungan hak-hak beragama. Selain itu, hak-hak yang terkait dengan hukum pidana, terdapat dalam perkara R v Kirk. Pada prinsipnya, hak-hak ini tidak termasuk ke dalam ruang lingkup hukum Komunitas.[104] Konferensi Antarpemerintahan di Nice pada Desember 2000 memiliki sejumlah dampak penting di bidang hak asasi manusia di tingkat Uni Eropa. Pada tanggal 7 Desember 2000, Piagam Hak Asasi Uni Eropa diproklamasikan oleh Presiden Parlemen Eropa, Dewan Eropa dan Komisi Eropa. Tujuannya adalah mendorong warga Uni Eropa supaya mengidentifikasi, dengan menetapkan nilai-nilai fundamental yang dilindungi dan diakui, serta memperjelas penghormatan atas hak asasi manusia sebagai prinsip dasar hukum Uni Eropa.[104] Piagam tersebut juga menetapkan hak-hak sipil dan politik yang berasal dari Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Tradisi konstitusional umum bagi negara-negara anggota atas hak warga negara, tercantum di dalam Perjanjian-perjanjian Komunitas; hak ekonomi dan sosial yang diilhami oleh Piagam Sosial Majelis Eropa; Piagam Hak Asasi Sosial Uni Eropa; serta legislasi yang berasal dari Komunitas.[105]
Prinsip-prinsip umum hukum internasional meliputi hak-hak prosedural, kepemilikan Komisi, dan tersedianya akses terhadap dokumen.[106] Sementara prinsip dasar hukum Uni Eropa merupakan prinsip-prinsip umum hukum yang diterapkan oleh Mahkamah Eropa dan pengadilan nasional dari negara-negara anggota ketika menentukan keabsahan hukum-hukum legislatif dan administratif di dalam Uni Eropa. prinsip dasar hukum Uni Eropa dapat berasal dari prinsip-prinsip umum hukum di berbagai negara-negara anggota; atau prinsip-prinsip umum yang ditemukan di dalam hukum internasional atau hukum Uni Eropa itu sendiri. Mahkamah Eropa mengakui hak asasi manusia, proporsionalitas, kepastian hukum, sama di hadapan hukum dan subsidiaritas sebagai prinsip dasar hukum Uni Eropa. Prinsip-prinsip umum hukum tersebut harus dibedakan dari aturan hukum sebagai prinsip yang lebih umum dan terbuka, dalam arti prinsip-prinsip ini diterapkan pada perkara-perkara tertentu dengan hasil yang benar.[107]
Uni Eropa diciptakan dalam upaya memastikan perdamaian dan stabilitas ekonomi di Eropa dan Perjanjian Uni Eropa menetapkan sejumlah tujuan yang ingin dicapai dalam memenuhi aspirasi tersebut.[109] Sebagian besar tujuan ini dapat dikategorikan berada dalam bidang ekonomi, sementara yang lainnya berdampak sosial, atau politik. Integrasi ekonomi yang merupakan tujuan utama Uni Eropa dapat dilihat pada penciptaan Pasar Bersama. Kebijakan pengadaan otoritas publik di negara anggota, kini dilindungi oleh penyelarasan Pedoman dengan tujuan membuka prosedur penghargaan kontrak publik, supaya berkompetisi di semua jenis usaha yang ada di dalam Uni Eropa.[110] Tiga hambatan signifikan yang menghambat pergerakan bebas atas barang-barang (serta, hal tertentu lainnya seperti orang, jasa dan modal), meliputi hambatan fisik, hambatan fiskal, dan hambatan teknis.[111] Dalam menjamin pergerakan bebas atas barang di dalam Pasar Bersama, maka Komisi Eropa menghapus pengendalian perbatasan secara berkelanjutan (hambatan fisik), dengan menyelaraskan PPN dan bentuk-bentuk pajak barang tidak langsung lainnya (hambatan fiskal), serta menghilangkan atau menyelaraskan aturan dan standar nasional berbeda yang terkait dengan barang (MEEQR) di dalam perdagangan antarnegara (hambatan teknis). Target lainnya seperti prosedur pengadaan publik yang diskriminatif, dan masalah terkait paten nasional serta merek dagang.[111] Tantangan terhadap hambatan perdagangan pada dasarnya terdiri dari penghapusan sebagai akibat litigasi di Mahkamah Eropa atau di pengadilan nasional; serta harmonisasi peraturan-peraturan berbeda dari negara-negara anggota melalui legislasi (Pedoman Dewan). Hubungan penting antara dua hal tersebut dapat ditemui dalam keputusan Cassis de Dijon.[111]
Penciptaan Pasar Bersama yang mencakup 26 negara anggota yang berdasar Perjanjian tentang Wilayah Ekonomi Eropa (EEA) menghasilkan pembentukan blok perdagangan regional yang mampu bersaing di pasar dunia dengan Amerika Serikat dan Jepang.[112]TFEU pasal 26 memberikan wewenang di mana Pasar Bersama harus terdiri dari ‘wilayah tanpa batas internal, sehingga pergerakan bebas atas barang, jasa, dan modal dapat terjamin'. Keempat jenis kebebasan bergerak ini dikenal sebagai 'empat kebebasan'. [113]
TFEU pasal 26 hingga 37 mengatur 'aturan-aturan' yang terkait dengan kebebasan bergerak atas barang di Pasar Bersama. Rujukan atas pasal-pasal perjanjian yang relevan, membuat jelas bahwa wilayah hukum ini ditujukan kepada negara-negara anggota. Mahkamah Hukum Uni Eropa memperluas penafsiran 'negara', yang berarti bukan hanya badan publik, tetapi juga badan swasta yang menerima keuangan publik yang diawasi oleh otoritas publik.[113]TFEU juga tidak membatasi istilah 'barang' yang dimaksud, sehingga Mahkamah Eropa menafsirkannya secara luas. Di dalam perkara 7/68 Commission v Italy, Mahkamah Eropa mendefinisikan 'barang' termasuk produk apapun yang bernilai uang, yang membentuk suatu transaksi komersial. Perkara C-97/98 Jagerskiold v Gustafsson menunjukkan bahwa keuntungan 'tak berwujud' tidak tercakup di dalam definisi tersebut.[114]TFEU pasal 28 mengatur tentang bea cukai yang dikenakan di negara-negara anggota Uni Eropa. Pembentukan bea cukai di Uni Eropa ini melibatkan penghapusan semua kepentingan-kepentingan bea cukai atas muatan apapun yang berefek setara dengan kewajiban tersebut; terhadap barang-barang yang bergerak melalui atau diantara suatu negara.[114] Pasal ini juga mengatur pembentukan tarif bea cukai (CCT), yang dikenakan terhadap barang yang diimpor ke wilayah Uni Eropa, dari negara-negara di luar negara anggota.[114]
TFEU pasal 28 dan 29 menjelaskan bahwa semua barang impor dikenai bea cukai, termasuk barang-barang yang berada di dalam 'sirkulasi bebas'. Barang-barang tersebut harus diperlakukan sama dengan barang-barang yang berasal dari dalam Uni Eropa dan wilayah perdagangan bebas.[114] Tarif beacukai ditentukan oleh Uni Eropa, bukan oleh negara-negara anggota. Tarif tersebut merupakan bagian dari bentuk yang dianggarkan Uni Eropa; yang berbeda dengan biaya yang biasa dipungut oleh negara anggota, sebagai bagian dari sistem perpajakan dalam negeri.[115] TFEU pasal 30 mengatur bahwa 'kewajiban bea cukai di antara negara anggota atas kegiatan ekspor atau biaya lainnya dengan efek yang sama; adalah dilarang'. Namun, penghapusan pungutan yang dilakukan Uni Eropa tidak menjamin pencegahan negara-negara anggota mengambil pungutan atau memberlakukan 'suatu biaya lain dengan efek setara' (CHEEs).[116] TFEU pasal 20 mengatur instruksi yang jelas kepada negara anggota, tetapi Mahkamah Hukum Uni Eropa harus menafsirkan ulang makna yang tepat dalam memastikan penerapan yang seragam di seluruh Uni Eropa.[116] Apabila suatu pungutan memenuhi kriteria yang tercakup di dalam TFEU pasal 30, maka biaya pemeriksaan yang dipungut oleh negara-negara anggota, tidak termasuk ke dalam CHEEs.[117]TFEU pasal 30 tidak menghilangkan hak negara anggota memungut pajak dalam negeri, dalam upaya meningkatkan pendapatan publik; selama iuran tersebut memiliki definisi yang sama dengan TFEU pasal 30. Pada TFEU pasal 30 dan pasal 110 dibedakan antara 'biaya tambahan' dengan 'pajak dalam negeri' yang melanggar hukum. Akibatnya, proses hukum harus dilaksanakan sebelum Mahkamah Eropa menentukan mana yang harus berlaku dalam suatu keadaan tertentu.[118] Sementara, TFEU pasal 110 mengatur bahwa pajak dalam negeri melanggar hukum jika mendiskriminasi produk-produk impor atau melindungi produk dalam negeri.[118] TFEU pasal 110 mengatur pajak diskriminatif tidak langsung dan terselubung, yang dalam kenyataannya tidak menguntungkan produk non-domestik. Misalnya, di dalam perkara 112/84 Humblot, Prancis memutuskan jumlah pajak mobil meningkat seiring dengan laju daya mobil tersebut. Mobil di bawah atau di atas 16 CV dikenai pajak berbeda. Sehingga tidak ada mobil di Prancis dengan daya di atas 16CV, karena hanya mobil-mobil impor saja yang dikenai pajak lebih tinggi. Sistem pajak dalam negeri ini dianggap diskriminatif terselubung, dan dianggap melanggar hukum menurut TFEU pasal 110.[119]
Selain hambatan uang, pergerakan bebas barang-barang di Uni Eropa juga terhambat oleh hambatan non-uang, seperti pembatasan kuantitatif (larangan atau kuota), pengenaan inspeksi atau aturan-aturan perdagangan yang terkait dengan komposisi, dan pengemasan.[119] Kemudian TFEU melarang pembatasan kuantitatif tersebut, dan mengajukan 'suatu aturan yang berefek serupa' (MHEEs) di dalam TFEU pasal 34 dan 36.[119]TFEU pasal 34 melarang pembatasan kuantitatif atas impor di antara negara-negara anggota. Sementara pasal 35, melarang pembatasan yang sama atas aktivitas ekspor.[119] TFEU pasal 36 memberikan kesempatan bagi negara-negara anggota membenarkan atau merendahkan, baik larangan pada pasal 34, maupun pasal 35. Suatu derogasi tersedia apabila suatu isu lebih penting, dibandingkan kebutuhan pemastian pembuatan dan pemeliharaan Pasar Bersama, yang mendamaikan antara regulasi negara dengan pergerakan bebas atas barang-barang.[120] Meski legislasi yang mengharmoniskan keduanya tidak ada, Mahkamah Eropa mengambil sikap bahwa peraturan nasional tidak diizinkan dalam menghalangi pergerakan barang, dan pembatasan secara luas yang berada dalam cakupan TFEU pasal 34 dan 35. Sementara TFEU pasal 36, yang membolehkan negara anggota melakukan derogasi; ditafsirkan secara sempit, sehingga memastikan sesedikit mungkin terjadinya hambatan perdagangan.[120]
TFEU pasal 36 menjamin kebebasan bergerak atas barang-barang, pekerja, layanan, dan modal. Kebebasan bergerak bagi individu merupakan hal mendasar dalam pembentukan Pasar Bersama. Karena, tanpa adanya pergerakan bebas individu, maka para pekerja misalnya, tidak dapat berpindah di lingkungan Uni Eropa dalam mengisi tenaga kerja, apabila kekurangan tenaga ahli.[121] Demikian pula, para pengusaha Eropa tidak dapat mengembangkan bisnis mereka, dan penyedia layanan tidak dapat menyeberang dalam memberikan layanan kepada kliennya di negara anggota lainnya.[121] Hak-hak khusus bebas bergerak ini bergantung 'status' individu, yang dibedakan berdasarkan 'kebangsaan' dan 'aktivitas ekonomi'-nya.[121] TFEU pasal 20 tidak hanya memberikan kebebasan bergerak bagi warga negara, tetapi juga hak memilih dan dipilih di Parlemen Eropa; hak petisi di Parlemen Eropa; dan hak lapor atas maladministrasi yang dilakukan badan-badan Uni Eropa ke Ombudsman Eropa. Selain itu, TEU pasal 9 hingga pasal 12 memberikan hak yang terkait dengan informasi, dan TFEU pasal 24 memberikan hak untuk dikonsultasikan, serta mengundang Komisi Eropa mengajukan proposal legislatif.[121] TFEU pasal 21 memberikan hak dasar tentang kebebasan bergerak bagi seluruh 'warga negara' Uni Eropa,[121] yang diikuti dengan pertimbangan hak tambahan, yaitu mereka yang 'aktif secara ekonomi',[122] dengan catatan memenuhi Perjanjian Schengen.[122] Sementara TFEU pasal 45 hingga pasal 62 memberikan kerangka hak tambahan bagi mereka yang aktif secara ekonomi.[121] Seluruh warga negara yang tergabung di negara-negara anggota merupakan warga negara Uni Eropa. Maka, kewarganegaraan Uni Eropa bukanlah sesuatu yang dianugerahkan atau sesuatu yang ditolak oleh Uni Eropa, melainkan konsekuensi dari negara anggota itu sendiri, seperti kewarganegaraan, dan aturan-aturan atas kebangsaannya.[122] TFEU pasal 18 melarang bentuk-bentuk diskriminasi secara umum atas kewarganegaraannya. Sementara TFEU pasal 20 memberikan hak bebas bergerak dengan periode minimum hingga tiga bulan, terlepas dari hubungan keluarga mereka.[123] Namun, jika anggota keluarga tersebut menginginkan untuk tinggal lebih dari tiga bulan, maka ia harus memenuhi persyaratan 'sarana yang cukup' atau 'dalam kegiatan ekonomi', sehingga memiliki suatu hak, yang memang dianugerahkan akibat memiliki hubungan dengan warga negara Uni Eropa.[123]TFEU pasal 45 memberikan ketentuan yang terkait dengan pekerja migran, diantaranya: (1) hak menerima tawaran pekerjaan dan bebas berpindah di dalam negara anggota untuk alasan ini; (2) hak menetap di negara anggota dengan alasan pekerjaan, dengan peraturan yang sama dengan penduduk aslinya; (3) hak tinggal di negara anggota yang telah mempekerjakannya.[124] TFEU pasal 45 juga memberikan hak bagi anggota keluarga dari warga negara Uni Eropa. Hak-hak tersebut diantaranya adalah hak mengambil pekerjaan (atau mendirikan usaha), yang merupakan hak independen bagi anggota keluarga tersebut, sehingga ia tidak bergantung lagi pada hak yang diberikan akibat hubungan keluarga.[125]
Atas dasar kebijakan, keamanan, dan kesehatan publik, hak bebas bergerak bagi pekerja di Uni Eropa dibatasi sama halnya dengan hak bebas bergerak bagi warga negara Uni Eropa.[126] TFEU pasal 45(3)(c) memberikan hak setara dan non-diskriminasi, yang mendorong kebebasan bergerak, khususnya bagi pekerja migran.[127] Namun, di dalam realitasnya, pada perkara C-237/94 O'Flynn,[127]Mahkamah Hukum Uni Eropa mengeluarkan suatu 'diskriminasi tidak langsung' dengan menerapkan aturan nasional yang 'mudah dipenuhi' oleh warga negaranya, dibandingkan oleh pekerja migran. 'Diskriminasi tidak langsung' tersebut harus mengandung 'pembenaran objektif' oleh negara tuan rumah. Pada perkara Cassis de Dijon, Mahkamah Hukum Uni Eropa mengembangkan suatu 'Aturan Pembenaran' (Rule of Reason) yang memberikan kondisi apa saja, sehingga suatu aturan pembatasan dibenarkan, sehingga jurisprudensiMahkamah Eropa dapat dikembangkan di dua wilayah dengan dasar alasan yang sama.[128] Sementara TFEU pasal 45(d) memberikan hak menetap bagi pekerja di suatu negara tuan rumah, setelah ia diterima bekerja di negara tersebut.[128]TFEU pasal 45(4) melarang negara tuan rumah menolak pekerjanya keluar/masuk. Di dalam kenyataanya, aturan ini mencegah pekerja migran bekerja di 'sektor publik' di negara tuan rumah. Maka, Mahkamah Hukum Uni Eropa memutuskan bahwa TFEU pasal 45(4) tidak dapat dimohonkan oleh negara-negara anggota, yang terkait dengan bahasa dan kondisi kerja, sebagaimana penerapannya dalam 'akses' ke pekerjaan.[129]
TFEU pasal 49 hingga 55 melarang pembatasan diskriminasi bagi mereka yang ingin mendirikan usaha di negara-negara tuan rumah.[130] Hak ini termasuk pendirian badan-badan permanen, cabang-cabang perusahaan atau firma yang sebelumnya telah didirikan di negara lain.[131] Berdasarkan hukum perkara yang ada di wilayah lain tentang hak bebas bergerak ini, Mahkamah Hukum Uni Eropa menemukan baik aturan-aturan diskriminasi, maupun aturan-aturan non-diskriminasi dapat melanggar TFEU pasal 49.[132] Perkara 71/76 Thieffry menunjukkan bahwa aturan-aturan nasional yang hanya digunakan oleh mereka yang bukan warga negara adalah bentuk-bentuk diskriminasi prima facie. Sementara, hukum-hukum domestik yang diterapkan, baik itu oleh warga negara, atau bukan warga negara dapat melanggar TFEU pasal 49. Pada perkara 143/87 Stanton, Mahkamah Eropa menjelaskan bahwa aturan-aturan nasional, baik itu mendiskriminasi atau tidak, dapat 'menempatkan' warga negara Uni Eropa pada posisi tidak menguntungkan; yang dapat menghambat, kecuali jika dibenarkan secara objektif oleh suatu negara anggota yang mempercayai mereka.[132] TFEU pasal 49 juga melarang suatu bentuk 'diskriminasi terbalik' yang terjadi ketika suatu bentuk diskriminasi dikeluhkan, berlangsung di dalam suatu negara anggota. Misalnya, pada perkara 115/78 'Knoors', seorang warga negara Belanda yang menetap di Belgia, kemudian tidak dikenali lagi ketika ia kembali ke negara asalnya, yaitu Belanda.[133] Akibatnya, aturan nasional yang terkait dengan kualifikasi individu, secara signifikan dapat menghambat hak bebas bergerak bagi individu. Hal ini terjadi pada pengacara di Inggris dan Wales yang harus memenuhi kualifikasinya sebagai pengacara dengan memenuhi suatu aturan yang ditetapkan oleh 'Otoritas Regulasi Pengacara', dan apabila gagal mematuhi aturan tersebut, ia dilarang mejalankan profesinya. Peraturan ini menjadi penghalang juga bagi pengacara dari negara lain, yang ingin mempraktikkan profesi mereka di Britania Raya.[133] Oleh sebab itu, TFEU pasal 53 memberikan kewenangan kepada Dewan Uni Eropa supaya suatu otoritas mengeluarkan aturan-aturan (Pedoman) dalam mengenali pelatihan atau kualifikasi profesi yang berlaku di Uni Eropa; dengan tujuan mengharmoniskan perundang-undangan yang telah berlaku.[133] Pendekatan Mahkamah Hukum Uni Eropa biasanya memberikan wawasan kepada otoritas nasional yang mewajibkan pelatihan atau suatu kualifikasi tertentu kepada seorang migran, yang kemudian membandingkannya dengan ketentuan-ketentuan domestik.[133]TFEU pasal 53 juga membatasi hak bebas bergerak atas dasar kebijakan, layanan, dan kesehatan publik. Mahkamah Hukum Uni Eropa menggunakan alasan ini ketika menerapkan perkara-perkara yang terkait dengan TFEU pasal 45(3).[134] Sedangkan TFEU pasal 51 membatasi hak mendirikan usaha dalam hal 'pelaksanaan kewenangan resmi'. Pengecualian ini akan relevan dalam hubungannya dengan pelaksanaan kekuasaan resmi negara. Oleh sebab itu, Mahkamah Hukum Uni Eropa mengesahkan bahwa penerapan pasal ini sama dengan pengecualian yang diterapkan di dalam TFEU pasal 45(4), di mana 'jabatan di layanan publik' adalah pengecualian atas hak bebas bergerak bagi pekerja.[134]
TFEU pasal 56 hingga pasal 62 memberikan hak bebas bergerak bagi mereka yang ingin menyediakan layanan di negara-negara tuan rumah, yang normalnya tanpa harus berbasis di negara tersebut terlebih dahulu,[130] dengan periode sementara.[134]Mahkamah Hukum Uni Eropa mengatur bahwa 'aktivitas sementara' yang dimaksud bukan hanya ketentuan tentang 'durasi' suatu layanan, tetapi juga 'keteraturan', 'periodisasi', dan 'kontinuitas' layanan tersebut.[134] Pasal ini juga melarang perundang-undangan nasional yang membatasi ketentuan berjalannya suatu layanan, misal dalam penyediaan layanannya, pengguna/penerima layanan berpindah ke suatu negara tuan rumah; atau layanan yang berpindah, meski penyedia dan penggunanya tidak; atau ketika penyedia/pengguna yang berpindah.[135] Layanan yang tercakup di dalam TFEU pasal 57 adalah layanan kesehatan, pelatihan vokasi, pariwisata, dan bidang-bidang (yang sah) yang hadir di negara tuan rumah, kecuali bidang-bidang yang secara khusus tercakup di wilayah lain oleh perjanjian tersebut.[135] Hak-hak yang dijamin oleh TFEU bagi penyedia layanan terdiri dari: hak keluar/masuk di wilayah Uni Eropa, serta perlindungan atas diskriminasi.[135]TFEU pasal 62 secara spesifik memberikan derogasi yang terkait dengan hak mendirikan usaha, sama halnya dengan TFEU pasal 51 hingga pasal 54 yang membatasi hak bebas bergerak dalam penyediaan layanan.[136] Sedangkan TFEU pasal 62 memberikan derogasi yang terkait dengan pelaksanaan otoritas resmi dalam penyediaan layanan, dengan penerapan yang sama seperti pada TFEU pasal 51.[136]
TFEU pasal 63(1) membatasi pergerakan modal di antara negara-negara anggota, dan antara negara anggota dengan negara-negara ketiga.[137] Jenis-jenis aktivitas yang berpotensi membatasi kebebasan bergerak atas modal adalah pembatasan aktivitas, yang dari aktivitas itu menghasilkan keuntungan atau profit.[137] Pergerakan bebas atas modal tidak hanya terkait dengan akses, tetapi juga tentang aktivitas menghasilkan uang dengan adanya investasi.[137] Misalnya, larangan perdagangan narkotika [di suatu negara anggota], akan melanggar TFEU pasal 63(1), karena mencegah investor luar negeri menginvestasikan uangnya, dan mengakibatkan terhambatnya pergerakan modal dari investor tersebut ke sebuah sektor narkotika, atau ke perusahaan-perusahaan yang berdagang narkotika.[137] Pada akhir tahun 1980an, negara-negara anggota melakukan liberalisasi pergerakan bebas atas modal secara bertahap.[137]Pedoman 88/361/EEC merangkum jenis pergerakan modal apa saja yang akan diliberalisasi, yang kemudian diadopsi oleh masing-masing negara anggota.[138]Mahkamah Eropa menafsirkan dokumen tersebut, khususnya pada Annex I, dan menetapkan tiga belas kelompok transaksi yang merupakan bentuk pergerakan bebas atas modal, yang kini dimuat dalam TFEU pasal 53(1). Salah satu transaksi tersebut adalah investasi langsung, seperti: investasi perusahaan atau keuangan yang diberikan kepada pengusaha; investasi pada sektor perumahan, seperti pembelian rumah; operasi sekuritas, seperti perdagangan obligasi, saham, dan instrumen pasar saham lainnya; pinjaman dan jaminan keuangan; operasi di rekening giro, atau deposito di lembaga keuangan; transfer yang terkait kontrak asuransi; dan pergerakan modal pribadi, seperti hadiah, warisan, atau pinjaman pribadi.[138]Mahkamah Hukum Uni Eropa menegasakan bahwa elemen-elemen konstituen yang diatur di dalam TFEU pasal 63(1) adalah elemen-elemen yang disusun atas adanya dimensi transnasional.[138]
Tiga jenis perundang-undangan nasional yang membatasi kebebasan bergerak atas modal yang diatur TFEU pasal 63(1) adalah: (1) perundang-undangan yang menghambat investasi di suatu negara anggota, karena investor tersebut adalah penduduk setempat atau bukan penduduk setempat; (2) perundang-undangan yang menghalangi investasi di suatu negara anggota;[139] (3) perundang-undangan yang membatasi kendali atas investasi.[139] Sebagaimana kebebasan ekonomi lainnya, perundang-undangan nasional dianggap sah jika memiliki kepentingan publik yang sah. Oleh sebab itu, TFEU pasal 65(1) memberikan serangkaian dasar yang eksplisit, apabila suatu negara anggota ingin melakukan derogasi atas TFEU pasal 63(1). Pengecualian tersebut diantaranya: (1) pemberlakuan fiskal berbeda bagi non-penduduk, dengan catatan tidak adanya diskriminasi, apakah ia penduduk atau bukan penduduk; (2) kebijakan publik yang melakukan pembatasan pada suatu investasi, karena mendanai kegiatan ilegal.[140] Ketentuan pergerakan bebas atas modal tidak hanya mengatur pergerakan modal di antara negara anggota, tetapi mengatur pergerakan modal antara negara anggota dengan negara ketiga. Oleh sebab itu, pengecualian tertentu hanya bertujuan membatasi pergerakan modal ke dan dari negara ketiga.[139] Pengendalian keluar atau masuknya modal di Uni Eropa sudah terjadi sebelum 31 Desember 1992, baik itu pada investasi langsung, buka usaha, penyediaan jasa keuangan, atau penerimaan sekuritas ke pasar modal. Pemberlakuan pembatasan sementara atas pergerakan modal ke atau dari negara anggota dimungkinkan dalam situasi yang menyebabkan, atau mengancam terjadinya kesulitan serius dalam kebijakan keuangan di Uni Eropa.[139]
^Pada 29 Mei 2005 Prancis menolak dokumen Konstitusi Euro di dalam referendum nasional, kemudian diikuti oleh Belanda pada 1 Juni 2005, sehingga menghentikan proses ratifikasi, yang akhirnya mengarah pada pengabaian Konstitusi Eropa. Namun, perwakilan negara-negara yang mempersiapkan keanggotaan Uni Eropa, seperti Bulgaria dan Rumania, serta Turki yang akan bergabung dengan Komunitas, menandatangani Undang-Undang Akhir Konstitusi. Masing-masing Negara Anggota Uni Eropa memulai proses ratifikasi Konstitusi Euro. Perjanjian ini mencabut ‘Perjanjian Komunitas Eropa’ dan ‘Perjanjian Uni Eropa’, serta semua dokumen mengubah dan melengkapi kontrak-kontrak perjanjian ini.[3]
^Selengkapnya, lihat Konvensi Wina 1969, Pasal 5 tentang aplikasi instrumen konstituen organisasi internasional.[27]
Borchardt, Klaus-Dieter (2000). The ABC of Community Law (edisi ke-5th ed). Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities. ISBN9282878031. OCLC45160969.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
Borchardt, Klaus-Dieter (2017). The ABC of Community Law (edisi ke-5th ed). Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities. ISBN9282878031. OCLC45160969.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan (link)
Philpott, Daniel (2016). Zalta, Edward N., ed. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (edisi ke-Summer 2016). Metaphysics Research Lab, Stanford University.
Schütze, Robert (2012). European Constitutional Law. Cambridge: Cambridge University Press. hlm. 47–79. ISBN978-0-521-73275-8.
Cuyvers, Armin (2017). Cuyvers, Armin; Ugirashebuja, Emmanuel; Ruhangisa, John Eudes; Ottervanger, Tom, ed. "Preliminary References under EU Law". East African Community Law. Institutional, Substantive and Comparative EU Aspects. Brill: 275–284. doi:10.1163/j.ctt1w76vj2.20. Diakses tanggal 2020-08-21.
Sumber daring
Bundesverfassungsgericht (2009). "Federal Constitutional Court Press Release No. 72/2009 of 30 June 2009". Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 Jul 2009. Diakses tanggal 27 Mei 2018. Karena defisit demokrasi struktural ini, yang tidak dapat diselesaikan dalam sebuah asosiasi negara-negara nasional yang berdaulat (Staatenverbund), perundang-undangan integrasi lebih lanjut yang melampaui status quo dapat merusak baik kekuatan undang-undang politik, maupun "prinsip perundingan (conferral)". Orang-orang dari Negara Anggota merupakan pemegang kekuasaan konstituen. Undang-undang Dasar tidak mengizinkan badan-badan khusus dari kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial membuang unsur-unsur penting dari konstitusi, yaitu identitas konstitusional (Pasal 23.1 kalimat 3, Pasal 79,3 GG). Identitas konstitusional adalah elemen yang tidak dapat dicabut dari hak menentukan nasib sendiri yang demokratis dari suatu masyarakat.
Eur-Lex (2012c). "Consolidated Versions of the Treaty on European Union". Official Journal of the European Union. Diakses tanggal 21 Agustus 2020. Uni Eropa harus ikut serta dalam Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia. Aksesi tersebut tidak harus mempengaruhi kewenangan Uni Eropa, seperti yang telah didefinisikan di dalam traktat perjanjian.