Parlagutan Na Dumenggan Mangkobasi Rap Sauduran (Gereja Yang Unggul Melayani Dalam Kebersamaan) (2016) [1]
Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) adalah suatu sinode gerejaKristenProtestan di Indonesia yang berkantor pusat di Padangsidimpuan, ProvinsiSumatera Utara. Organisasi gereja ini secara resmi didirikan pada tanggal 26 Oktober 1975 ketika memperoleh otonomi dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), dengan nama Huria Kristen Batak Protestan-Angkola (HKBP-A). Pada tahun 1988 bergabung dengan "Gereja Protestan Angkola (GPA)", dan mulai mengambil nama menjadi "Gereja Kristen Protestan Angkola". GKPA melayani masyarakat Batak Angkola dalam bahasa suku Batak Angkola.
Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA) telah berdiri sendiri dan diakui Pemerintah sesuai dengan Surat Pengakuan Departemen Agama Republik Indonesia No. 1 Ket/413/159277. Tgl.19 Oktober 1997 dan No. 75. Tgl.10 Maret 1988 serta No. 21 tahun 1995 berdasarkan UU no. 8/1985 Tambahan Berita Negara R.I No.17 Tanggal 26/2-1999.
GKPA berbentuk Badan Hukum yang berdiri sendiri, diawalnya bertempat kedudukan di Sipirok kemudian tahun 1987 pindah ke Padangsidimpuan, Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia.
GKPA adalah milik Allah (1 Korintus 3:23), memberikan pelayanan Gerejawi berdasarkan Kasih, Kebenaran, Keadilan dan Perdamaian YesusKristus Kepala Gereja.
Sejarah
Terbentuknya Persekutuan Angkola
Selama kurun waktu 33 tahun (1941-1974) adanya perwujudan HKBP-A yang mandiri bagi masyarakat Kristen Angkola-Mandailing, khususnya yang diperantauan selalu rindu akan persekutuan dalam lingkungan sendiri yang bersifat khas etnis Angkola-Mandailing, yang menggunakan bahasa Batak Angkola dalam kebaktian serta mempergunakan "Buku Ende Angkola" dan Perjanjian Baru bahasa Angkola. Melalui pertemuan ataupun partangiangan (persekutuan doa), banyak nilai-nilai positif dan berharga yang dapat diperoleh dan dikembangkan demi tercapainya cita-cita dari HKBP-A.
Kemudian muncul persekutuan-persekutuan Kristen Angkola-Mandailing di Medan Barat pada tahun 1963 yang dinamai “Sauduran Kristen Angkola" (SKA), disusul kemudian tahun berikutnya dengan Marsiurupan Kristen Angkola" (MKA) di Medan Timur dan Satahi pada 1967 di Simpang Limun Medan. Badan-badan itu mengadakan persekutuan doa dalam bahasa Angkola, dan kegiatan-kegiatan memupuk rasa persaudaraan etnis, melalui tradisi dan adat daerahnya jika ada siriaon dan siluluton serta mengadakan usaha sosial yang hasilnya diperuntukkan membantu jemaat-jemaat di Bonabulu (kampung halaman).
Eksistensi kumpulan-kumpulan itu semakin meluas dan kegiatan-kegiatannya semakin ditingkatkan pula. Akhirnya setiap diadakan pertemuan, disertai ibadah secara khusus acara rutin setiap Minggu sore. Kegiatan diluaskan pula dengan pengumpulan buku-buku dan terbitan gereja lainnya yang sudah langka untuk diperbanyak (dicetak-ulang) dan dibagikan di kalangan sendiri, baik yang dirantau maupun yang di kampung halaman (Bonabulu).[2]
Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola (HKA) Medan
Langkah maju berikutnya ialah pembentukan HKA (Hasadaon Kristen Angkola) pada 19 Juli 1967. Hasadaon (kesatuan) ini adalah badan penggabungan atau pengayoman dalam bidang kerohanian dari perkumpulan-perkumpulan: Sauduran, MKA dan Satahi di atas tadi. Ketiga badan itu tetap berjalan sebagai perkumpulan sosial antar anggotanya, tetapi kegiatan bidang rohani telah disatukan penyelenggaraannya dalam HKA - Huria Kristen Angkola. HKA inilah yang kemudian menjadi salah satu bakal jemaat dari HKBP-A di Medan.[2]
Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan (HKA-TS) di Jakarta
Prihatin atas proses kemunduran kerohanian yang dialami jemaat Angkola-Mandailing di daerah Tapanuli Selatan, maka masyarakat Kristen Tapanuli Selatan di Jakarta pada September 1969 membentuk wadah persatuan yaitu "Hasadaon Kristen Angkola Tapanuli Selatan" (HKA-TS). Nama semula ialah 'Hasadaon ruas HKBP na ro sian Distrik I" (Tapanuli Selatan). Hasadaon ini mempunyai tujuan ganda. Pertama, mempersatukan warga gereja asal Distrik HKBP-Angkola dan Mandailing dalam satu wadah persekutuan, yang menyelenggarakan "sermon" setiap sabtu sore. Kedua, menjadi sarana pengumpulan dana bagi kepentingan jemaat-jemaat di Bonabulu antara lain memberi "si palas ni roha" (ucapan syukur) bagi pelayan-pelayan gerejawi di Bonabulu, pemberian beasiswa dan menanggung biaya cetak ulang dari Perjanjian Baru yang diringkaskan dalam bahasa Angkola karya Schutz.[2]
Berdirinya Hasadaon Kristen Angkola (HKA) Padangsidimpuan
Perkumpulan HKA Padangsidimpuan ini merupakan perkumpulan ketiga (sesudah Medan, Jakarta). Pembentukan perkumpulan ini pada 7 April 1974, merupakan suatu tindakan keterpaksaan yang harus ditempuh sebagai tindak lanjut "tragedi Padangsidimpuan" . Menindaklanjuti tragedi Padangsidimpuan dilaksanakanlah berbagai pertemuan yang mengarahkan masyarakat Kristen Angkola dan Mandailing untuk mewujudkan HKBP-A yang berdiri sendiri.
Langkah selanjutnya adalah terbentuknya Badan Persiapan Panjeon (BPP) HKBP-A pada 4 Mei 1973 di Medan yang diketuai oleh St. Baginda Hasibuan dan yang anggota-anggotanya terdiri dari wakil-wakil jemaat di Bonabulu, Medan dan Jakarta. Badan inilah selanjutnya yang mengkoordinir dan mengarahkan perjuangan hingga berdirinya HKBP-A.[2]
HKBP-A berdiri sendiri
Pada 26 Oktober 1975 HKBP memberikan kemandirian bagi Huria Kristen Batak Protestan Angkola (HKBP-A) dengan menetapkan Pdt. Melanchton Pakpahan sebagai Ephorus, Pdt. Zending Sohataon Harahap sebagai Sekretaris Jenderal, St. Baginda Galangan Siregar sebagai Sekretaris, dan St. Mara Sinaga sebagai Bendahara. HKBP memberikan kemandirian ini berdasarkan Rapat Parhalado Pusat HKBP pada 15-17 Oktober 1975 di Parapat yang memutuskan,
(1) Memberikan "panjaeon de Facto" kepada Gereja HKBP-A, berlaku terhitung mulai 17 Oktober 1975.
(2) Panjaeon de Jure akan diberikan pada Sinode Godang HKBP 1976 pada 1 Agustus 1976 di Pematangsiantar.[2]
Penyerahan Panjaeon de Facto HKBP-A resmi dilangsungkan pada 26 Oktober 1975 di Bungabondar, sebagai acara awal dari Pesta Peresmian Panjaeon de Jure HKBP-A. Naskah Panjaeon ini ditandatangani Ephorus HKBP Ds. G. Siahaan, Sekretaris Jenderal Prof. Dr. F.H. Sianipar dan dari pihak HKBP-A, kedua Pimpinan HKBP-A dan Ketua Umum BPP-HKBP-A, St.Baginda Hasibuan serta Sekretaris Umum BPP-HKBP-A, St.Arif Hasibuan.
[3]
Bersatunya Gereja Mennonite Mandailing (GMM) dengan HKBPA
HKBPA sebagaimana ada dalam proses keberdiriannya dan bagaimana seharusnya dia dan sebagai organisasi gereja adalah hasil dari perjuangan sejak awal abad ke-19 di daerah Mandailing, Angkola Julu dan Angkola Dolok. Sejarah perjuangan itu diawali pada tahun 1833 ketika Pendeta Verhoeven memulai usaha Badan Zendingnya di Pakantan dan yang kemudian beralih menjadi usaha Badan Zending Baptis Amerika di Boston dan selanjutnya dialihkan lagi menjadi usaha dari DZV atau Baptis Mennonite dengan organisasi Gereja yang disebut GMM (Gereja Mennonite Mandailing),[4] yaitu Gereja Menonnite di Mandailing. Melalui masa peralihan Komite Jawa akhirnya gereja GMM menjadi bagian integral dari HKBP pada tahun 1931. Namun dengan munculnya Batak Nias Zending (BNZ), GMM sempat lepas dari HKBP. BNZ Lembaga Pekabaran Injil yang didirikan oleh Zendingscoonsulaat pada tanggal 27 September 1940.
Lembaga ini bertugas menangani dan mengambil alih serta harta milik RMG di Tapanuli. Kemudian melanjutkan sejarahnya sebagai gereja dibawah asuhan dari Gereja Injili di Tanah Jawa yang berpusat di Pati. Setelah mendengar kabar bahwa HKBPA berdiri menjadi suatu gereja yang mandiri, Pimpinan GITJ segera melakukan koordinasi dengan Pucuk Pimpinan HKBPA mengenai persoalan GMM yang sulit berkoordinasi dengan GITJ karena jarak yang sangat jauh dan kesulitan dana yang dialami GMM pada saat itu. Maka melalui perundingan GMM atas kehendaknya sendiri menyatakan menggabungkan diri pada HKBPA pada tanggal 27 Maret 1976. Dalam penggabungan ini dinyatakan bahwa seluruh aset dan kekayaan yang dimiliki oleh GMM diberikan sepenuhnya kepada GKPA dan seluruh warga jemaat GMM berada di bawah GKPA terhitung sejak tanggal penggabungan. Namun GKPA harus melakukan pelayanan dan tata ibadah sesuai dengan tata ibadah GMM yang beraliran Mennonite serta mengakui keberadaan GMM dalam perjalanan sejarah GKPA.[5]
Konflik Internal HKBPA
HKBP-A yang masih muda pada tahun 1982 mengalami sebuah kesulitan, kemelut, dan cobaan yang kemudian memuncak menjadi suatu perpecahan dengan pemisahan sebagian anggota jemaat, Pendeta, dan Sintua, yang kemudian berhimpun dalam organisasi gereja sendiri dengan nama Gereja protestan Angkola (GPA). Banyak faktor yang melatarbelakangi persoalan yang bermuara pada pembentukan gereja baru tersebut diantaranya adalah perbedaan pendapat dalam Synode Khusus pada tanggal 22-25 Oktober 1981 di Sipirok yang tidak dapat terselesaikan dengan baik dalam forum Synode.
Persoalan struktural jabatan Ephorus HKBPA periode 1981-1986 yang menyisakan persoalan dengan pihak yang tidak terpilih dan para pendukungnya. Perselisihan yang paling mencolok adalah dengan dimasukkannya seluruh Pendeta ke dalam Majelis Pusat HKBPA bukan lagi melalui perawakilan Pendeta, sehingga terjadi perselisihan antara Pucuk Pimpinan dan Majelis Pusat HKBPA. Ketetapan-ketetapan yang kabur dan penafsiran yang berbeda terhadap Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga HKBPA yang baru semakin memperkeruh keadaan HKBPA yang sedang berkonflik antara satu golongan dengan golongan lain. Persoalan keuangan juga menjadi sorotan yaitu penatalayanan perbedaharaan yang dianggap kurang transparan, penanganan Yayasan yang dianggap kurang profesional, dan persoalan lain seperti perbedaan cara berpikir dan pendapat di HKBPA Jakarta juga sampai ke Kantor Pusat HKBP-A.
Perselisihan yang terjadi di tingkat pusat hingga parlagutan yang dianggap sudah tidak dapat diselesaikan lagi dianggap oleh satu golongan hanya dapat berakhir dengan didirikannya gereja baru. Maka pada tanggal 10 Mei 1982 berdirilah GPA mendeklarasikan diri terpisah dari HKBPA. Para Pendeta yang ikut dalam GPA ini adalah Pdt. M.P. Marpaung, S.Th., yang kemudian ditunjuk sebagai Ephorus GPA, Pdt. R. Hutapea, dan Pdt. Yeheskiel. Dengan adanya gereja baru tersebut, maka warga jemaat HKBPA pun terpecah dari tingkat Resort hingga Parlagutan menjadi dua bagian yaitu yang tetap bertahan dengan HKBPA dan ikut barisan GPA.
Perpecahan yang bertahan cukup lama ini dirasa bukanlah hal yang baik untuk dipelihara sehingga suara-suara persatuan diperdengungkan oleh parlagutan dan warga jemaat kepada Pucuk Pimpinan HKBPA. Maka untuk mewujudkan persatuan tersebut dibahaslah dalam Synode AM VII HKBPA pada tanggal 2-6 Juli 1986 di Medan dengan tema : “Supaya kami erat bersatu dan sehati dan sepikir”.
Pasca berakhirnya Synode AM VII HKBPA maka diadakanlah beberapa tahap diskusi antara pihak HKBPA dan pihak GPA, terutama antara Pucuk Pimpinan kedua belah pihak, maka pada Synode AM – Synode Kerja HKBP-A VIII di Padangsidimpuan, tepatnya pada 2 Juli 1988, HKBPA dan GPA menyatakan "Marsada" atau "Bersatu" dalam wadah GKPA. Penyatuan ini ditandai dengan penandatangan naskah penyatuan antara HKBP-A dan GPA dalam wadah nama baru GKPA, ditandatangani oleh kedua pimpinan masing-masing: Pdt. G.P. Harahap, MST (HKBPA) dan Pdt M.P. Marpaung, STh. (GPA). Proses dan pelaksanaan penyatuan ini berjalan dengan lancar, dan sekaligus memberi semangat dan keyakinan besar bagi seluruh anggota jemaat yang bersatu untuk membangun dan mengembangkan, sekaligus tentunya mendukung program kemandirian dalam wadah GKPA.[6]
Sejarah Struktur Organisasi HKBPA hingga GKPA
Sebagai sebuah Gereja tentulah GKPA haruslah memiliki suatu struktural dari tingkat teratas hingga tingkat bawah sebagai kekuatan yang mendasar bagi suatu organisasi yang berdiri secara mandiri. Pada masa awal pendirian, lembaga eksekutif HKBPA dipimpin oleh Ephorus Pdt. M. Pakpahan dan Sekretaris Jenderal Pdt. Z.S. Harahap yang dibantu oleh tujuh orang Kepala Departemen, yaitu:
1. Departemen Umum
2. Departemen Zending/Sosial
3. Departemen Hubungan Antar Gereja Luar/Dalam Negeri
4. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
5. Departemen Keuangan Umum
6. Departemen Kesehatan
7. Departemen Pembangunan.
Dengan jumlah sepuluh orang Pendeta Resort maka Pucuk Pimpinan berkoordinasi dan berhubungan langsung dengan Pendeta Resort tanpa perantara. Adapaun yang menjadi lembaga legislatif yaitu Majelis Pusat HKBPA berjumlah 23 orang termasuk diantaranya Ephorus dan Sekretaris Jenderal. Pasca berakhirnya Synode Khusus tahun 1981 maka terpilihlah Pdt. Z.S. Harahap sebagai Ephorus GKPA dan Pdt. W. Pospos S.Th., M.Min., sebagai Sekretaris Jenderal GKPA Periode 1981-1986. Dengan bergantinya Pucuk Pimpinan maka dirubah jugalah beberapa departemen yang membantunya diantaranya dihapuskannya Departemen Hubungan Antara Gereja Luar/Dalam Negeri dan ditambahakn satu departemen yaitu Departemen Pemuda dan Wanita.
Pada masa ini pula jumlah Majelis Pusat GKPA berjumlah 32 orang. Hal ini dikarenakan dalam Synode tahun 1981 diputuskan bahwa seluruh Pendeta Resort masuk ke dalam struktur Majelis Pusat GKPA. Pada tahun 1986 terpilihlah Ephorus HKBPA Pdt. Ginda. P. Harahap, MST dan Pdt. B. Matondang S.Th. sebagai Sekretaris Jenderal melalui forum Synode Am yang diselenggarakan pada tanggal 2-6 Juli 1986. Pada masa ini Pucuk Pimpinan juga menambakan staf Kantor Pusat yang terdiri dari beberapa biro yang membantunya dalam menjalankan tugas-tugas yang terpisah dengan Kepala- kepala Departemen. Jumlah Anggota Majelis Pusat pada Periode 1986-1991
berjumlah 29 orang.
Memasuki tahun 1991 terjadi perubahan besar-besaran yang dilakukan Pucuk Pimpinan GKPA yang kembali terpilih melalui Synode terhadap bagian-bagian yang bertugas membantunya yaitu dengan membubarkan semua departemen-departemen, digantikan dengan Biro I-V ditambah Bendahara dan Redaktur Sioban Barita. Adapaun tugas dari masing-masing biro yang bertugas membantu kerja-kerja Pucuk Pimpinan adalah:
Biro I : Bidang Pekabaran Injil, administrasi, personalia, komunikasi, hubungan masyarakat, penelitian, perencanaan dan lektur/perpustakaan
Biro II : Bidang Keuangan dan dana pensiun
Biro III : Bidang Pembinaan Warga Gereja (PWG), Partisipasi dalam pembangunan (Parpem), kesehatan, Diakonia, dan Sosial.
Biro IV : Bidang Pembangunan dan pendidikan.
Biro V : Bidang Hukum.
Adapun yang menjadi Majelis Pusat GKPA pada Periode ke IV Majelis Pusat ini adalah berjumlah 25 orang yang terdiri dari unsur Pucuk Pimpinan, unsur Pendeta, unsur awam, dan unsur kategorial.
Pada tahun 1995 dibentukah distrik di GKPA untuk meningkatkan kualitas pelayanan dengan jumlah empat buah distrik. Adapun ke empat distrik tersebut adalah
Distrik I – Distrik Persiapan Angkola Mandailing diresmikan di GKPA Padangsidimpuan pada tanggal 19 Maret 1995.
Distrik II – Distrik Persiapan Sipirok Dolok Hole diresmikan di GKPA Sipirok pada tanggal 26 Maret 1995.
Distrik III – Distrik Persiapan Sumatera Timur diresmikan di GKPA Medan Barat pada tanggal 12 Maret 1995.
Distrik IV – Distrik Persiapan Jawa-Sumbagsel di GKPA Penjernihan, Jakarta pada tanggal 2 April 1995.
Dalam menjalankan tugasnya Distrik dipimpin oleh seorang Praeses yang memiliki fungsi untuk membantu Pucuk Pimpinan dalam melaksanakan tugas ebagai pemimpin dan koordinator seluruh penyelenggaraan kegiatan. Maka Praeses sebagai perpanjangan tangan Pucuk Pimpinan di daerah diharapkan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan di daerah dengan lebih cepat dan menjalankan keputusan-keputusan Pucuk Pimpinan dengan baik.
Pada tahun 1996 melalui forum Synode XI di Padangsidimpuan terpilihlah Pdt. B Matondang yang sebelumnya sebagai Sekretaris jenderal menjadi Ephorus dan Pdt. Kaleb Manurung sebagai Sekretaris Jendral GKPA periode 1996-2001. Adapun yang menjadi Majelis Pusat GKPA berjumlah 25 orang bersama dengan Pucuk Pimpinan GKPA di dalamnya. Pada forum Synode XI juga dipilih langsung empat orang Praeses yang memimpin distrik, serta mempertegas posisi Praeses sebagai perpanjangan tangan dari Pucuk Pimpinan di daerah-daerah. Maka diputuskanlah pada Synode tersebut struktur GKPA yang lebih rapi dan jelas agar tidak terjadi kekacauan di kemudian hari, yaitu:
Anggota bersekutu dalam jemaat. Disetiap jemaat dan Majelis Jemaat yang diketuai oleh Pendeta Jemaat atau Guru Jemaat, bertanggung jawab pada sidang jemaat dan Majelis Resort.
Jemaat-jemaat di satu daerah pelayanan dihimpun dalam satu Resort yang diketuai oleh Pendeta Resort
Beberapa Resort dihimpun dalam satu Distrik, dipimpin oleh Praeses Distrik.
Semua Distrik bertanggung jawab pada Pucuk Pimpinan dan dikoodinir bersama-sama oleh Majelis Pusat.
Majelis Pusat adalah Badan Legislatif tertinggi antara Synode Am dan diketuai oleh Ephorus.
Pucuk Pimpinan dan Majelis Pusat bertanggung jawab pada Synode Am.
Tahun 2023, GKPA memiliki lebih dari 185 Gereja yang terbagi dalam 34 ressort dan 4 Distrik.[12] Gereja-gereja tersebut dilayani oleh 78 Pelayan Penuh Aktif yang terdiri atas 61 orang Pendeta, 2 orang Guru Parlagutan/Guru Jemaat full timer, 1 orang Bibelvrouw, 3 orang Diakones, dan 11 orang Vicar (Calon Pelayan).[13] Selain itu GKPA menyediakan program pendidikan kerohanian bagi anak-anak dan kaum muda-mudi, serta menerbitkan bahan-bahan pengajaran. Pelayanannya meliputi penyediaan SMP Berkat di Huta Dame, Panyabungan Utara, Mandailing Natal, satu pusat kesehatan umum di Muara Sipongi, Mandailing Natal dengan Nama Badan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (BPKM) Muara Sipongi, Panti Asuhan Debora di Dusun Silangge Desa Pahae Aek Sagala, Sipirok, Tapanuli Selatan dan program pelatihan teknik dalam bidang pertanian, petermakan, perikanan, dan lain-lain. Juga menyediakan kursus-kursus serta pendidikan bagi para pendeta, penatua, kaum wanita serta tenaga pengajar Sekolah. Minggu. GKPA juga terlibat dalam upaya penaggulangan kekerasan, emansipasi, keadilan sosial, perdamaian, dan integritas alam, serta seminar-seminar tentang HIV/AIDS. Selain itu, aktif dalam pekerjaan misi di daerah-daerah pemukiman baru dan transmigrasi. Bahan-bahan dalam bahasa Angkola, termasuk Alkitab bahasa Angkola, diproduksi dan banyak dipakai. Pengalaman pekerjaan di kalangan masyarakat Angkola - suatu kelompok etnis berjumlah sekitar 450.000 orang - menghasilkan pertumbuhan gereja.
Fungsionaris Kantor Pusat GKPA
1. Pucuk Pimpinan
Pdt. Ramos B. B. Simanjuntak, S.Th sebagai Ephorus
Pdt. Reinhard Siregar, M.Min Sebagai Sekretaris Jenderal
2.Biro-Biro
Pdt. Dr. Suryani Siregar, STh, MM. Sebagai Kepala Biro I (Umum) [14]
Marta Eva Matondang, SE Sebagai Kepala Biro II (Keuangan)
Pdt. Marganti Gabe Panggabean, M.Ag Sebagai Kepala Biro III (PWG)
Pdt. Antoni Parulian Siahaan, S.Th Sebagai Kepala Biro IV (Usaha Dan Jasa)
3. Majelis Pusat
Ketua : Pdt. Ramos B. B. Simanjuntak, S.Th
Sekretaris : Pdt. Reinhard Siregar, M.Min
Anggota :
A. Unsur Praeses
Pdt. Herwen Jona Marpaung, M.Th
Pdt. Take Sister Harianja, S.Th
Pdt. Daniel S. B. P. Siregar, S.Th
Pdt. Guswin P. Simbolon, S.Th
B. Unsur Pendeta
Pdt. Saud A. Sigalingging, S.Th - Ketua Rapat Majelis Pendeta
Gereja GKPA saat ini memiliki 4 Distrik dan 1 Persiapan Distrik, yaitu pembagian administratif kewilayahan gerejawi dalam struktur organisasi GKPA yang tersebar di pulau Sumatera dan pulau Jawa. Tiap distrik dipimpin oleh seorang pendeta dengan jabatan Praeses dan menaungi sejumlah ressort.[12]
^Pendeta Bonar Matondang meninggal dunia dalam kecelakaan yang dialami sepulang dari GKPA Mandalasena pada tanggal 10 Juli 2005, Sehingga Pendeta Sabam Marpaung diangkat menjadi ephorus hingga akhir periode