Bentuk E kara dalam aksara Bali persis dengan angka 6 dalam aksara Bali, dan mirip dengan huruf E dalam aksara Jawa. Namun, bentuk huruf diftong /aːi/ (yang sering luluh menjadi /eː/) dalam aksara Bali (huruf Airsanya) berbeda dengan huruf E dirgha dalam aksara Jawa, karena bentuknya persis dengan Ja jera, sehingga sulit dibedakan.
Tidak ada aksara E kara matedung, sebab sudah ada aksara Ai kara atau Airsanya. Airsanya melambangkan bunyi diftong /aːi/. Bentuknya persis dengan aksara Ja jera, sehingga keduanya tidak bisa dibedakan. Bila Airsanya dialihaksarakan ke dalam huruf Latin, maka ditulis "ai".
Dalam bahasa Bali, pengucapan diftong /aːi/ sering kali luluh menjadi /eː/. Dengan kata lain, diftong /aːi/ berubah menjadi /eː/. Misalnya kata "daitya" diucapkan "detya", kata "waisya" diucapkan "wesya", dll.
Penggunaan
E kara hanya digunakan apabila menulis bahasa non-Bali[1] (contohnya bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno) dengan menggunakan aksara Bali, atau untuk menulis kata serapan dari bahasa non-Bali dengan menggunakan aksara Bali. E kara tidak digunakan apabila menulis kata-kata yang memang berasal dari bahasa Bali, atau bukan bahasa Bali yang diserap dari bahasa non-Bali. Sebagai penggantinya, dianjurkan memakai aksara Ha yang dapat dibubuhi oleh tanda taling.
Airsanya selalu ditulis pada suku kata pertama dalam kata dasar, khususnya bagi kata-kata yang mengandung diftong /aːi/ pada suku kata pertamanya. Contohnya: "Airlangga", "Airawata", "Aiswarya", dll.
Referensi
Tinggen, I Nengah. 1993. Pedoman Perubahan Ejaan Bahasa Bali dengan Huruf Latin dan Huruf Bali. Singaraja: UD. Rikha.
Simpen, I Wayan. Pasang Aksara Bali. Diterbitkan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Daerah Tingkat I Bali.