GKR Bendoro sempat terpilih mewakili provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kontes kecantikan Miss Indonesia pada tahun 2009. Ia mewakili provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan nama Nurastuti Wijareni. Di akhir acara ia termasuk dalam finalis 10 Besar Miss Indonesia 2009, tetapi ia tereliminasi di tahap tersebut dan tidak masuk dan melaju pada babak 5 Besar.[7]
Sesuai dengan adat keraton, sebelum menikah GKR Bendoro harus menjalani upacara langkahan. Dikarenakan ia mendahului kakaknya GKR Hayu untuk menikah.[9] Dalam upacara ini, calon penganti wanita memohon izin dari kakaknya untuk mendahului menikah serta menyerahkan plangkah berupa setandan pisang sanggan disertai seperangkat baju dan perhiasan wanita untuk kakaknya. Upacara langkahan adalah bagian dari tradisi yang biasa dilakukan di beberapa kebudayaan di Indonesia bila seorang adik mendahului kakaknya dalam pernikahan.[10] Sebelum menikah, calon pengantin pria yang berasal dari luar keraton terlebih dahulu diwisuda menjadi abdi dalem (pegawai keraton). Calon pengantin pria Achmad Ubaidillah dianugrahi gelar Kanjeng Pangeran Haryo dengan nama Yudanegara. Penganugerahan gelar ini dilangsungkan dalam upacara wisuda yang dilakukan tiga bulan sebelum upacara pernikahan.[11] Sementara itu, calon istrinya juga telah menerima gelar dan nama baru yang sebelumnya Gusti Raden Ajeng (GRAj) Nurastuti Wijareni menjadi Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Bendoro.
Kemudian calon pengantin pria mengawali rentetan acara pernikahan dengan upacara nyantri. Dalam upacara ini, pengantin pria dijemput dengan kereta kencana untuk memasuki tembok keraton, dan diperkenalkan dengan tata cara keraton. Selanjutnya kedua pengantin melalui upacara siraman di tempat yang berbeda (kesatrian dan keputren). Upacara ini bermakna membersihkan diri dari kotoran lahir dan batin sebelum memasuki jenjang pernikahan.[12] Pada malam harinya, calon pengantin wanita menjalani upacara tantingan, yakni GKR Bendoro ditanya (ditanting) langsung oleh ayahnya akan kesiapannya menikah. Upacara ini dilakukan karena pada keesokan harinya, ayahnya sendiri yang akan menikahkan putrinya dengan pengantin pria tanpa kehadiran pengantin wanita.[13]
Pada keesokan harinya, sesuai dengan adat yang berlaku di keraton, Sri Sultan sendiri yang menikahkan putrinya dengan KPH Yudanegara dalam upacara ijab kabul yang dilakukan di masjid dalam lingkungan keraton. Akad nikah menggunakan bahasa Jawa yang dilakukan antara ayah pengantin wanita dengan pengantin pria.[14] Setelah resmi menikah, barulah kedua pengantin dipertemukan dalam upacara panggih yang dilakukan di bangsal kencana.[15] Upacara ini dihadiri oleh tamu-tamu undangan penting termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Budiono.[16] Acara ini juga dihadiri oleh para pejabat tinggi negara serta duta besar perwakilan negara-negara sahabat.[17] Dalam upacara panggih, dilaksanakan tradisi pondongan yang hanya dilakukan di dalam lingkungan keraton. Tradisi pondongan ini hanya dilakukan jika pengantin wanita adalah putri raja. Dalam tradisi ini, pengantin pria memondong (mengangkat) istrinya yang dibantu salah seorang paman dari mempelai wanita (GBPH Suryodiningrat). Ini merupakan tradisi sebagai simbol meninggikan posisi seorang istri.
Setelah upacara panggih, kedua mempelai kemudian dikenalkan kepada masyarakat melalui prosesi kirab. Sebagai putri bungsu, GKR Bendara tidak boleh menjalani kirab keliling benteng keraton. Sebagai gantinya kirab dilaksanakan dari Keraton Yogyakarta ke Kepatihan yang merupakan tempat acara resepsi pernikahan digelar.[18]
Pernikahan KPH Yudanegara dengan GKR Bendara dikaruniai seorang putri yang diberi nama Raden Ajeng (RA) Nisaka Irdina Yudonegoro. Putri pertama mereka ini lahir di Yogyakarta pada tanggal 1 Maret 2014.[19]
Karier
Selain aktif dalam berbagai organisasi sosial dan kemasyarakatan, GKR Bendoro saat ini menjabat sebagai Direktur Operasional Spa Nurkadhatyan.[20]Spa yang dimiliki lima putri keraton ini berlokasi di Hotel Ambarukmo Yogyakarta dengan menawarkan perawatan ala putri-putri keraton.