Batara Guru (juga disebut Debata Batara Guru dan Batara Siwa) adalah nama dewa utama dalam kepercayaan Hindu di Indonesia.[1][2] Namanya berasal dari bahasa SanskertaBhattara yang berarti "tuan terhormat",[3] dan Guru, epitet dari Wrehaspati (Bṛhaspati), seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet Jupiter.[4] Figur ini diyakini di Asia Tenggara sebagai sosok guru spiritual, guru pertama dari seluruh guru yang disebutkan dalam pustaka Hindu Nusantara, yang sepadan dengan aspek guruDakshinamurti dari Dewa Siwa di Asia Selatan.[5][6] Namun, Batara Guru memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan Siwa yang diyakini di India, karena umat Hindu Nusantara menggabungkan kepercayaan lokal ke dalam satu sosok tersebut. Istri Batara Guru di Nusantara ialah Dewi Durga.[7][8]
Batara Guru dianggap sebagai suatu bentuk Rudra-Siwa,[9] sosok dewa pencipta dalam kepercayaan serta kesusastraan Jawa dan Bali Kuno. Ia adalah dewa tertinggi menurut Hindu di Nusantara, sebagaimana Dewa Jupiter dalam agama Romawi Kuno.[10]
Batara Guru dalam mitologi di Sumatra merupakan sosok pertama, pencipta Bumi, dan leluhur umat manusia. Konsepnya mirip dengan sosok dewa pencipta yang terdapat dalam kepercayaan di Asia Tengah dan kalangan penduduk asli Amerika Utara.[11] Menurut Martin Ramstedt, kepercayaan akan Batara Guru di beberapa wilayah di Indonesia kadangkala dipadankan dengan Siwa, dan kadangkala melampaui "Brahma, Wisnu, Siwa, dan Buddha".[12]
Mitologi Jawa
Menurut mitologiJawa, Batara Guru adalah Dewa yang merajai ketiga dunia, yakni Mayapada (dunia para dewa atau surga), Madyapada (dunia manusia atau bumi), Arcapada (dunia bawah atau neraka). Ia merupakan perwujudan dari dewa Siwa yang mengatur wahyu, hadiah, dan berbagai ilmu. Batara Guru mempunyai sakti (istri) bernama Dewi Uma dan Dewi Umaranti. Batara Guru mempunyai beberapa anak. Wahana (hewan kendaraan) Batara Guru adalah sang lembuNandini. Ia juga dikenal dengan berbagai nama seperti Sang Hyang Manikmaya, Sang Hyang Caturbuja, Sang Hyang Otipati, Sang Hyang Jagadnata, Nilakanta, Trinetra, dan Girinata.
Kelahiran
Batara Guru (Manikmaya) diciptakan dari cahaya yang gemerlapan oleh Sang Hyang Tunggal, bersamaan dengan cahaya yang berwarna kehitam-hitaman yang merupakan asal jadinya Ismaya (Semar). Oleh Hyang Tunggal, diputuskanlah bahwa Manikmaya yang berkuasa di Suryalaya, sedangkan Ismaya turun ke bumi untuk mengasuh para Pandawa.
Batara Guru memiliki dua saudara, Sang Hyang Maha Punggung dan Sang Hyang Ismaya.[13][14][15] Orang tua mereka adalah Sang Hyang Tunggal dan Dewi Rekatawati. Suatu hari, Dewi Rekatawati menelurkan sebutir telur yang bersinar. Sang Hyang Tunggal mengubah telur tersebut, kulitnya menjadi Sang Hyang Maha Punggung (Togog) yang sulung, putih telur menjadi Sang Hyang Ismaya (Semar), dan kuningnya menjadi Sang Hyang Manikmaya. Kemudian waktu, Sang Hyang Tunggal menunjuk dua saudaranya yang lebih tua untuk mengawasi umat manusia, terutama Pandawa, sementara Batara Guru (atau Sang Hyang Manikmaya) memimpin para dewa di kahyangan.
Saat diciptakan, ia merasa paling sempurna dan tiada cacatnya. Hyang Tunggal mengetahui perasaan Manikmaya, lalu Hyang Tunggal bersabda bahwa Manikmaya akan memiliki cacat berupa lemah di kaki, belang di leher, bercaling, dan berlengan empat. Batara Guru amat menyesal mendengar perkataan Hyang Tunggal, dan sabda dia betul-betul terjadi.
Suatu ketika Manikmaya merasa sangat dahaga, dan ia menemukan telaga. Saat meminum air telaga itu—yang tidak diketahuinya bahwa air tersebut beracun—lantas dimuntahkannya kembali, maka ia mendapat cacat belang di leher. Diperhatikannya kalau manusia ketika lahir amatlah lemah kakinya. Seketika, kakinya terkena tulah, dan menjadi lemahlah kaki kiri Manikmaya. Saat ia bertengkar dengan istrinya Dewi Uma, dikutuknya Manikmaya oleh Dewi Uma, agar ia bercaling seperti raksasa, maka bercalinglah Manikmaya. Sewaktu Manikmaya melihat manusia yang sedang sembahyang yang bajunya menutupi tubuhnya, maka tertawalah Manikmaya karena dikiranya orang itu berlengan empat. Maka seketika berlengan empatlah Manikmaya. Hal ini adalah salah satu upaya de-Hinduisasi wayang dari budaya Jawa yang dilakukan Walisongo dalam upayanya menggunakan wayang sebagai sarana penyebaran Islam di Jawa. Contoh lain adalah penyebutan Drona menjadi Durna (nista), adanya kisah Yudistira harus menyebut kalimat syahadat sebelum masuk surga, dan lain-lain.
Keturunan
Berikut adalah urutan anak-anak Batara Guru, dimulai dari yang paling sulung (menurut tradisi wayang Jawa):
Batara Guru adalah dewa tertinggi dalam kosmologi Agama Siwa Buddha.[16] Tempat ibadah umat BuddhaTionghoa yang disebut kelenteng di Indonesia, yang memiliki altar untuk Manikmaya:
Batara Guru adalah salah satu dari Debata Natolu (Dewata Tritunggal) yang menguasai Banua Ginjang (dunia atas, kediaman para dewa). Ia dan saudara-saudaranya -Debata Soripada dan Debata Mangala Bulan- terlahir dari tiga butir telur yang dierami seekor ayam betina raksasa, Manuk Patiaraja, sesosok awatara dari Debata Asiasi. Ia menikahi seorang dewi bernama Si Boru Porti Bulan dan memiliki dua putra (Mula Songta dan Mula Songti) serta dua putri (Si Boru Sorba Jati dan Si Boru Deak Parujar). Si Boru Deak Parujar selanjutnya menikahi Si Raja Odapodap dan melahirkan keturunan yang menjadi leluhur umat manusia yang tinggal di Banua Tonga (dunia tengah, yaitu Bumi).[17] Batara guru dalam mitologi ini bertugas sebagai dewa keadilan. Batara merupakan pengucapan bahasa Sanskrit Bhattara yang berarti "tuan terhormat" dandan Guru seorang Dewa Hindu yang tinggal dan diidentifikasikan dengan planet Jupiter. Dewa ini juga diperkirakan merupakan penggambaran dari Wrehaspati dalam Agama Hindu [18] Selain sebagai dewa keadilan, dewa ini juga merupakan pemandu para manusia yang bila terlalu kasar kepada manusia, maka Soripada yang akan mengingatkannya sebagai dewa belas kasih. [19]
Mulajadi Nabolon yang maha kuasa memberi Batara Guru kebijaksanaan, hukum peradilan, hukum kerajaan, pengetahuan, dan kemampuan untuk mengontrol takdir serta nasib umat manusia. Wilayahnya meluas dari Bukit Siunggas ke Bukit Parsambilan, termasuk surga bertingkat tujuh di mana pohon suci Hariara tumbuh. Batara Guru digambarkan mengenakan jubah hitam serta serban berbentuk kapal besar dengan tiga warna yang disebut "Talungkup". Ia mengendarai kuda hitam dan di tangannya membawa timbangan yang disebut "Gantang Tarajuan". Ia memiliki seekor gagak berwarna hitam dan burung Nanggar Jati. Ia juga memiliki kemampuan untuk memberi kehidupan pada umat manusia serta membuka telinga mereka sehingga mereka dapat membedakan kata-kata baik dan jahat.
Berdasarkan sumber di atas, anak-anak Batara Guru didaftarkan sebagai berikut (di luar hukum Dalihan Natolu):
Mula Songta menikahi Nan Bauraja, putri Debata Soripada dan Si Boru Malimbim.
Mula Songti menikahi Narudang Ulubegu, putri Debata Soripada dan Si Boru Malimbim.
Si Boru Sorba Jati menikahi Naga Padoha, putra Debata Mangala Bulan dan Si Boru Anggarana.
Si Boru Deak Parujar menikahi Si Raja Odapodap, putra Debata Mangala Bulan dan Si Boru Anggarana.
Mitologi Bugis
Berdasarkan Sureq Galigo, Batara Guru adalah seorang dewa, putra Sang Patotoqe dan Datu Palingeq, yang dikirim ke bumi untuk dibesarkan sebagai umat manusia. Nama kedewaannya adalah La Togeq Langiq. Ia setidaknya memiliki sepuluh anak dari lima selirnya, tetapi hanya satu putra dari permaisuri yang ia cintai, We Nyiliq Timoq. Ia adalah ayah dari Batara Lattuq dan kakek dari Sawerigading, tokoh utama dari kisah mitologi Bugis, Sureq Galigo. Ia juga ayah dari Sangiang Serri, dewi padi dan kesuburan dalam mitologi Bugis.
Daftar anak Batara Guru (berdasarkan Sureq Galigo):
We Oddang Nriuq (alias Sangiang Serri), dari selir We Saung Nriuq
La Pangoriseng dari selir We Leleq Ellung
La Temmalureng dari selir We Saung Nriuq
La Temmalolo (saudara kembar dari La Temmalureng) dari selir We Saung Nriuq
^R. Ghose (1966), Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, The University of Hong Kong Press, pages 16, 123, 494-495, 550-552
^Sunarto H., Viviane Sukanda-Tessier, ed. (1983). Cariosan Prabu Silihwangi. Naskah dan dokumen Nusantara (dalam bahasa Indonesian and French). 4. Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh. hlm. 383. Statuette tricéphale assise, cuivre rouge moulé d'une beauté rarement égalée. C'est Batara Guru, un super dieu équivalent au Jupiter des Romains et au Brahma des Hindous.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penyunting (link) Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^R. Ghose (1966), Saivism in Indonesia during the Hindu-Javanese period, The University of Hong Kong Press, pages 130-131, 550-552
^Anne Richter; Bruce W. Carpenter; Bruce Carpenter (2012). Gold Jewellery of the Indonesian Archipelago. Editions Didier Millet. hlm. 214, 348. ISBN978-981-4260-38-1., Quote: "The solar god, La Patigana, would become a son of Siwa and Luwu; the first Bugis kingdom was founded by Batara Guru, another incarnation of Siwa."
^Sunarto H.; Viviane Sukanda-Tessier, ed. (1983). Cariosan Prabu Silihwangi. Naskah dan dokumen Nusantara (dalam bahasa Bahasa Indonesia and Prancis). 4. Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh. hlm. 383. Statuette tricéphale assise, cuivre rouge moulé d'une beauté rarement égalée. C'est Batara Guru, un super dieu équivalent au Jupiter des Romains et au Brahma des Hindous.
^Sena Wangi, ed. (1999). Ensiklopedi wayang Indonesia: A-B (dalam bahasa Indonesian). 1. Sekretariat Nasional Pewayangan Indonesia. hlm. 259. ISBN9799240018.Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Wendy Doniger, Yves Bonnefoy, ed. (1993). "Divine Totality and Its Components: The Supreme Deity, the Divine Couple, and the Trinity in Indonesian Religions". Asian Mythologies (edisi ke-2d). University of Chicago Press. hlm. 161–170, 179. ISBN0226064565.Pemeliharaan CS1: Menggunakan parameter penyunting (link)
^Greatheed, Samuel; Parken, Daniel; Williams, Theophilus; Conder, Josiah; Price, Thomas; Ryland, Jonathan Edwards; Hood, Edwin Paxton (1826). The Eclectic Review (dalam bahasa Inggris). C. Taylor. hlm. 428.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^"XXVI. Report of a Journey into the Batak Country, in the interior of Sumatra, in the year 1824. By Messrs. BURTON and WARD, Baptist Missionaries. Communicated by the late Sir STAMFORD RAFFLES, Kt.". Transactions of the Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (dalam bahasa Inggris). Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland: The Society. 22 April 1826. hlm. 499.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)