Zuhairi Misrawi
Zuhairi Misrawi (lahir 5 Februari 1977[1]) adalah politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan aktivis Nahdlatul Ulama. Namanya dikenal karena dipilih Presiden Joko Widodo sebagai Duta Besar RI untuk Tunisia sejak 2021.[2][3] Zuhairi menyelesaikan pendidikan sarjananya di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000).[4] Sepulang dari Kairo, ia langsung aktif di Lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002.[5][6] Saat ini ia menjabat sebagai direktur Moderate Muslim Society dan ketua PP Baitul Muslimin.[1] Karier dan pendidikanSejak kecil, Zuhairi telah akrab dengan dunia Islam kontemporer, khususnya pesantren.[4] Kemudian ia melanjutkan masa belajarnya di [https://www.kepoingue.com/2021/02/zuhairi-misrawi-yang-cocok-menjadi-dubes-arab-saudi.html Tarbiyatul Mu'allimin al-Islamiyah Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura selama lima tahun (1990-1995).[4] Dari dunia pesantren ini, Zuhairi banyak mengenal dasar-dasar keilmuan Islam seperti al Quran, tafsir, fiqih, dan sastra, serta filsafat.[4] Sejak di pesantren, ia telah aktif dalam dunia jurnalistik dan tulis menulis.[7] Di pesantren tersebut, ia juga sering menjadi juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah (1993-1995) yang dilaksanaan oleh perpustakaan pesantren.[4] Zuhairi melanjutkan pendidikan sarjananya di Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000). Selama menjadi mahasiswa, kemampuan analisisnya tentang dunia Islam terus ia kembangkan.[butuh rujukan] Ia aktif dalam dunia tulis menulis dan pernah menjadi penyunting (editor) pada buletin Terobosan Dalam dunia aktivisme, Zuhairi aktif dalam Lembaga Filsafat Mesir dan Forum Pemuda Muslim Se-Dunia di Alexandria.[4] Ketika di Mesir, berkat aktivitasnya dalam dunia jurnalistik, ia berkesempatan mewawancarai beberap tokoh-tokoh besar dalam dunia Islam seperti Yusuf al-Qaradhawi, Sayyed Yasin, Halah Musthafa, Youhanna Qaltah, 'Athif 'Iraqi, Muhammad 'Abdul Mu'thi Bayoumi, Adonis dan Nawal Saadawi. Setelah menyelesaikan studi di Mesir, pada 2000 ia pulang ke Indonesia dan langsung aktif di lembaga Kajian dan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama(Lakpesdam NU) sebagai Koordinator Kajian dan Penelitian pada 2000-2002. Bersama beberapa tokoh muda NU lainnya, ia menerbitkan jurnal Pemikiran di kalangan Lakpesdam berjudul Tashwirul Afkar dan menjadi redakturnya pada tahun 2000-2005.[4] Pada 2006, Zuhairi meneruskan studi pascasarjananya (post-graduate) di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.[8] Meskipun aktif sebagai aktivis, ia tetap produktif dalam menulis.[8] Secara umum, tulisan-tulisannya bertemakan pemikiran-pemikiran Islam kontemporer, politik, toleransi keagamaan, dan dialog antaragama (inter-faith dialog). Sejak 2008 ia menjadi direktur Moderate Modern Society Jakarta.[4] Lembaga ini merupakan sebuah lembaga riset yang bertujuan untuk menyampaikan pendekatan moderasi dalam pembangunan Indonesia terutama dalam hal toleransi keagamaan dan keadilan sosial di dalam masyarakat yang plural (beragam) dan demokratis.[9] PemikiranZuhairi selalu mengkritik kekerasan yang mengatasnamakan agama ajaran Nabi.[butuh rujukan] Radikalisme dan puritanisme, baginya, harus dilawan dengan pendekatan non-politik. Oleh karena itu, ia menjelaskan bahwa peran organisasi masyarakat dan non-politik yang tidak bersentuhan dengan politik seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah begitu sentral dan penting. Kepedulian atas demokrasi dan pluralisme juga perlu dikembangkan.[butuh rujukan] Menurut Zuhairi, keberagaman atau pluralisme (al-ta'addudiyyah) adalah keniscayaan yang dihadapi bangsa ini. Menolak Sistem khilafahMengenai sistem khilafah, Zuhairi berpendapat bahwa itu adalah kewajiban untuk menolak segala bentuk pemikiran mengenai sistem tersebut. Karena, sebenarnya secara langsung, manusia secara indivdu telah menjadi khalifah bagi diri mereka masing-masing.[butuh rujukan] Zuhairi menilai, dalam al-Quran, dijelaskan bahwa manusia adalah khalifah di bumi dan akan bertanggung jawab atas segala yang dilakukannya secara pribadi nantinya kepada Tuhan. Menurut Zuhairi tidak relevan jika menggunakan sistem khilafah di iklim negara demokrasi seperti Indonesia Dialog antaragamaZuhairi mengangap bahwa dialog antaragama perlu dilakukan untuk mejaga kerukunan.[butuh rujukan] Dialog juga harus dilakukan sampai tingkat masyarakat (society).[10] Dalam hal ini, menurut Zuhairi, ada dua hal yang sesungguhnya ingin dicapai dialog antar agama[butuh rujukan]:
Etos hijrah NabiMenurut Zuhairi, terdapat semangat kebaikan dalam Islam yang berdasar sejarah Hijrah Nabi.[11] Menurutnya, hijrah bukanlah migrasi yang misinya ingin meraih kemewahan dan kemegahan hidup.[butuh rujukan] Hijrah, baginya Zuhairi adalah upaya untuk berpindah dan berbenah dari yang buruk menjadi yang baik.[11] Hijrah menanamkan nilai-nilai luhur bahwa seorang pemimpin harus mempunyai kesungguhan untuk mendahulukan kepentingan umat (masyarakat) daripada kepentingan dirinya sendiri.[11] Setelah Hijrah, kehidupan Nabi yang sederhana ter nyata memiliki komitmen yang begitu kuat terhadap orang-orang miskin dan telah menjadi kekuatan moral yang sangat kuat untuk membangun sebuah tatanan sosial yang berkeadilan, berperikemanusiaan, dan berkeadaban.[11] Zuhairi menganggap hijrah yang dilakukan Nabi membawa transformasi sosial yang luar biasa.[11] Momentum hijrah seharusnya bisa menyadarkan dan mendorong setiap pejabat publik untuk menjadikannya sebagai cermin, terutama dalam rangka mengedepankan kesederhanaan dan kesungguhan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik-baiknya.[11] Kesederhanaan seorang pemimpin inilah, menurut Zuhairi akan menimbulkan kepercayaan publik yang luas.[11] Referensi
|