Yangere adalah alat musik tradisional yang berasal dari Kabupaten Halmahera Utara, provinsi Maluku Utara. Musik ini salah satu musik hasil dari adaptasi musik budaya dari benua Eropa, yakni bangsa Portugis, yang mulai terpengaruh pada masa penjajahan bangsa barat ke Indonesia. Pada umumnya, alat musik ini bisa dimainkan oleh semua komunitas atau kalangan di Halmahera, Maluku Utara.[1] Dan, dalam perkembangannya, musik ini biasanya dimainkan dalam acara tertentu saja, seperti acara hajatan, pernikahan, acara kampung dan acara keagamaan umat Kristen di Halmahera.[1] Tahun 2018 lalu, Yangere menjadi salah satu dari ratusan Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018.
Sejarah
Pada awal abad ke-16, bangsa Portugis memiliki seni musik berupa balada yang dimainkan dengan alat-alat musik seperti gitar, biola, rebana, cello dan banyo.[2] Alat-alat musik ini kemudian dimainkan di beberapa tempat di Indonesia, ketika Portugis menjajah Indonesia. Salah satu tempat yang didiami Portugis ialah kawasan kepulauan Halmahera, Maluku Utara. Lambat laun, alat musik ini kemudian diadaptasi oleh penduduk setempat. Penduduk lokal menciptakan sebuah alat musik dengan menggunakan bahan-bahan yang ada dari alam sekitar yakni berupa kayu.[2] Adapun nama lokal dari pohon atau kayu tersebut ialah pohon Pule atau disebut juga kayu Yangere, yang terdapat di Tobelo, Halamahera Utara. Dalam perkembangannya, musik inipun kemudian diberi nama musik Yangere, sesuai nama pohon yang digunakan.[2]
Dengan tercipta alat musik yang diadopsi dari bangsa Portugis, warga pun mulai belajar untuk memainkannya. Pada awalnya musik Yangere dimainkan oleh sekelompok orang saja dan hanya dimainkan pada saat malam hari.[2] Memainkan musik ini kerap dilakulan ketika para warga kampung sedang beristirahat dari berbagai aktivitas berkebun. Pada tahun 1980-an, musik Yangere hanya dimainkan di pesta-pesta kebun pada saat panen atau ketika sekelompok pemuda duduk berkumpul di perkampungan. Barulah pada awal tahun 1990-an, musik Yangere ini mulai ditampilkan pada acara-acara formal, seperti peringatan hari-hari besar adat atau acara-acara pertemuan antar warga setempat.[2]
Sejak saat itu pulalah, alat musik Yangere telah mulai dipakai untuk mengiringi lagu pujian dalam ibadah di gereja bagi pemeluk agama Kristen, mengingat mayoritas warga khususnya di Halmahera Utara memeluk agama Kristen. Tidak hanya sampai disitu, dalam perkembangannya dan demi membangun kebersamaan antar agama di Halmahera Utara, pada masa Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri 2018 lalu, pertunjukan band Yangere dari komunitas Kristen, turut memeriahkan Lebaran 2018. Hal ini menunjukkan adanya keharmonisan antar umat beragama. Perbedaan keyakinan bisa bersatu dalam alunan musik tradisional Yangere.[1] Perlu diketahui kembali bahwa pulau Halmahera dikenal sebagai pulau dimana pemeluk agama Islam dan Kristen cukup signifikan, namun masyarakatnya dapat hidup berdampingan satu dengan yang lain meskipun berbeda keyakinan.
Selain dapat dijumpai di Halmahera Utara, khususnya di Kota Tobelo, musik Yangere sudah beredar di beberapa daerah lainnya di seputaran provinsi Maluku Utara dan bahkan sampai ke provinsi Maluku. Beberapa daerah yang menjadi persebaran alat musik Yangere antara lain di seluruh pelosok Halmahera Utara, lalu di Kecamatan Iba, Kecamatan Galela Selatan, kecamatan Sahu, di Kota Jailolo dan beberapa wilayah di Provinsi Maluku. Dalam persebaran yang mencakup seluruh wilayah Maluku Utara, nama alat musik Yengere pun turut tetap digunakan di daerah-daerah tersebut.[1] Setidaknya hingga saat ini, masyarakat Maluku Utara dan Muluku, sudah tidak asing lagi dengan alat musik yang satu ini.
Bahan dan cara pembuatan
Pekerjaan utama warga sekitar Halmahera pada saat itu, turut memengaruhi terciptanya alat musik Yangere. Secara umum, mata pencaharian atau pekerjaan penduduk Maluku saat itu ialah bercocok tanam atau berkebun. Sehingga masyarakat sangat mudah menemukan berbagai pohon atau bahan untuk membuat alat musik Yangere. Pengambilan kayu Yangere dilakukan disaat masyarakat akan membuka perkebunan baru atau lahan untuk berkebun. Karena banyak terdapat disekitar Halmahera, mereka dapat menebang pohon tersebut. Selain disebut Yangere, beberapa nama juga disebutkan untuk nama pohon Yangere, yakni kayu Telur dan ada pula yang menyebutnya pohon Pule (Alstonia scholaris) (selanjutnya tetap disebut pohon Yangere). Kayu dari pohon inilah sebagai bahan utama yang digunakan untuk membuat alat musik Yangere, juga untuk membuat alat musik atau instrumen Halmahera lainnya, yakni Tali Dua atau Bas Kasteh. Pohon Yangere ini dipilih karena sangat mudah diukir, ringan dan juga dapat menghasilkan suara yang cukup sempurna saat didengar.[2] Pohon ini sendiri telah tumbuh banyak hampir di seluruh wilayah Maluku Utara dan juga Maluku.
Proses pembuatan alat musik tersebut dilakukan ketika kayu Yangere masih dalam keadaan mentah atau belum kering. Hal ini dilakukan karena kayu Yangere ini sangat mudah pecah jika diolah ketika kayu dalam keadaan sudah kering.[3] Ketika kayu telah ditebang dan dibersihkan, maka alat musik Yangere sudah dapat langsung dibentuk sesuai bentuk dan ukuran Yangere pada umumnya.
Instrumen pengiring
Memainkan alat musik Yangere selalu dipadukan dengan berbagai alat musik tradisional lainnya yang diciptakan oleh warga sekitar sejak dulu. Dengan adanya perpaduan alat musik inilah, maka tercipta alunan musik yang sangat indah untuk didengar. Instrumen pendukung musik Yangere yakni Hitara Lamoko, Tali Dua atau Bas Kasteh, Koroncongan, Loca-loca, Kolole, dan Tam-tam.[2]
Memainkan Yangere akan dilengkapi dengan orang-orang yang menyanyikan berbagai lagu dalam musik Yangere, hal ini menjadi daya tarik utama dalam menikmati pertunjukan Yangere. Dari berbagai instrumen tersebut umumnya terbuat dari pohon Pule atau kayu Yengere, terkecuali loca-loca atau warga setempat menyebutnya "ceker".[3]
Alat musik pertama disebut Tali Dua atau Bas Kasteh, alat musik ini bisa dimainkan dengan dipetik dan juga dipukul. Ini merupakan alat musik yang ruang resonansinya berbentuk persegi dan diberi sebuah gagang atau laras dengan dipasangkan tali atau senar dikedua ujungnya. Biasanya masyarakat setempat menggunakan tali pancing sebagai senar untuk Tali Dua ini. Bas Kasteh atau Tali Dua dimainkan dengan cara dipetik atau bisa juga dipukul sesuai alunan atau lagu yang dibawakan. Jika Bas Kasteh dipukul maka akan menggunakan tongkat yang disebut "tongkat gogohara" yang terbuat dari rotan atau kayu berukuran kecil, dimana panjangnya dapat disesuaikan sesuai kebutuhan.[1]
Kemudian, yang kedua ialah Kolole. Alat musik Kolole berfungsi sebagai pengiring satu, artinya Kolole sangat memiliki peran penting sebagai pelengkap memainkan Yangere. Secara detailnya, Kolole memiliki tiga tali senar dan memainkannya cukup dengan cara dipetik. Tidak sulit untuk mempelajari bagaimana cara memainkan Kolole ini.[1]
Alat musik pengiring Yangere ketiga adalah alat musik Koroncongan. Bentuk dari Koroncongan masih mirip dengan Kolole, memiliki tiga buah tali senar dan cara memainkannya juga sama yakni dengan cara dipetik. Yang memedakan keduanya ialah ukurannya, bentuk Koroncongan lebih besar dibandingkan dengan bentuk Kolole. Alat musik pengiring keempat adalah Hitaara Lamoko. Alat ini memiliki bentuk menyerupai Kolole dan Koroncongan, hanya saja bentuknya lebih besar lagi dibandingkan Kolole dan Koroncongan. Hitaara Lamoko ini memiliki lima tali atau senar dan cara memainkan juga masih dengan cara dipetik.[3]
Sedikit berbeda dengan instrumen pengiring lainnya, alat musik kelima ialah loca-loca. Instrumen Loca-loca ini merupakan alat musik yang terbuat dari batok kelapa atau buah kelapa yang sudah tua dan kering. Pembuatannya cukup mudah, yakni dengan mengeluarkan isi dari kelapanya dan setelah itu batok kelapa dikeringkan. Batok kelapa tidak dibelah dua, melainkan dibiarkan tetap bulat.[3] Tahap selanjutnya adalah memasang sebuah tangkai yang terbuat dari kayu diikatkan pada ujung kelapa yang paling menonjol. Untuk bentuk alat musik ini sendiri sangat mirip dengan Kapuraca. Untuk Ruang resonansi dari Loca-loca ini dapat diisi dengan buah tasbih kering atau bisa juha mumurutu. Bunyi yang dihasilkan sangat khas ketika Loca-loca dimainkan. Cara memainkannya cukup mudah, tangkainya digenggam dengan kedua tangan kemudian digetarkan sesuai lagu yang dibawakan atau sesuai irama musik yang diinginkan.[3]
Selain Loca-loca, ada alat musik pengiring keenam dalam memainkan Yangere ialah Tam-tam. Alat musik Tam-tam menjadi alat perkusi dalam pelengkap memainkan musik Yangere. Cara memainkan Tam-tam sama dengan memainkan dram. Selain dari keenam alat pengiring yang telah disebutkan, ada pula instrumen tambahan lainnya yang disebut Tifa. Tifa ini ada dua yakni Tifa kecil dan juga Tifa besar. Satu alat musik pelengkap terakhir lainnya ialah Suling bambu. Berbagai instrumen tambahan ini berfungsi layaknya sebagai instrumen lainnya yakni sebagai pelengkap, penyelaras dan satu kesatuan musik Yangere.[3] Dengan demikian, ketika semua alat musik sudah lengkap, alunan musik dan suara penyanyi akan terdengar indah.
Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018
Musik Yangere sendiri mengandung nilai sosial bagi masyarakat Maluku Utara, yakni membangun kebersamaan atau gotong royong. Meskipun musik Yangere pada awalnya hanya bertujuan sebagai musik rakyat dalam melepas rasa lelah, kini Yangere telah menjadi alat musik khas Maluku Utara yang memiliki nilai budaya berharga bagi masyarakatnya.[3] Terciptanya kebersamaan pun terjalin dikala musik Yangere dimainkan ditengah-tengah masyarakat Maluku Utara.
Sebelumnya, pada bulan Oktober hingga September 2016 lalu, musik Yangere turut ditampilkan dalam memeriahkan acara Wonderful Morotai Islands Festival 2016 di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara,guna memperkenalkan berbagai budaya dan tradisi Maluku Utara dalam festival tersebut.[5] Pemerintah pusat dan daerah di seluruh Indonesia, berupaya keras mempromosikan budaya-budaya Indonesia, baik berupa alat musik, makanan, tarian, pemandangan, cagar budaya, dan lain-lain, sehingga dunia semakin tertarik untuk mengunjungi Indonesia yang penuh dengan berbagai budaya yang berbeda-beda.[2]