Waru atau baru (Hibiscus tiliaceus, suku kapas-kapasan atau Malvaceae), juga dikenal sebagai waru laut, dan dadap laut (Pontianak)[1] telah lama dikenal sebagai pohon peneduh tepi jalan atau tepi sungai dan pematang serta pantai. Walaupun tajuknya tidak terlalu rimbun, waru disukai karena akarnya tidak dalam sehingga tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Waru dapat diperbanyak dengan distek. Namun, aslinya tumbuhan ini diperbanyak dengan biji. Memakai stek untuk perkembangbiakan waru agak sulit, karena tunas akan mudah sekali terpotong.[1]
Waru masih semarga dengan kembang sepatu.[1] Tumbuhan ini asli dari daerah tropika di Pasifik barat namun sekarang tersebar luas di seluruh wilayah Pasifik dan dikenal dengan berbagai nama: hau (bahasa Hawaii), purau (bahasa Tahiti), beach Hibiscus, Tewalpin, Sea Hibiscus, atau Coastal Cottonwood dalam bahasa Inggris.
Pohon kecil,[1] tinggi 5–15 m. Di tanah yang subur tumbuh lebih lurus dan dengan tajuk yang lebih sempit daripada di tanah gersang.[2]
Daun bertangkai, bundar atau bundar telur bentuk jantung dengan tepi rata, garis tengah hingga 19 cm; bertulang daun menjari, sebagian tulang daun utama dengan kelenjar pada pangkalnya di sisi bawah daun; sisi bawah berambut abu-abu rapat. Daun penumpu bundar telur memanjang, 2,5 cm, meninggalkan bekas berupa cincin di ujung ranting.[3]
Bunga berdiri sendiri atau dalam tandan berisi 2–5 kuntum. Daun kelopak tambahan bertaju 8–11, lebih dari separuhnya berlekatan. Kelopak sepanjang 2,5 cm, bercangap 5. Daun mahkota bentuk kipas, berkuku pendek dan lebar, 5–7,5 cm, kuning, jingga, dan akhirnya kemerah-merahan, dengan noda ungu pada pangkalnya. Buah kotak bentuk telur, berparuh pendek, beruang 5 tak sempurna, membuka dengan 5 katup.[3]Bijinya kecil, dan berwarna cokelat muda. Akar waru berbentuk tunggang dan berwarna putih kekuningan.[4]
Jenis yang serupa
Hibiscus similis Bl. (waru gunung atau waru gombong) memiliki bentuk pohon, daun, bunga dan buah yang serupa dengan Hibiscus tiliaceus, dengan hanya sedikit perbedaan. Di antaranya, dengan kelenjar tulang daun yang lebih jauh dari pangkal; tangkai bunga yang sedikit lebih pendek; daun kelopak yang hanya melekat setengah jalan; dan biji yang berambut kasar.[3]
Hibiscus macrophyllus Roxb. (tisuk atau waru lanang) memiliki bentuk pohon yang kurus tinggi, terutama ketika muda; berdaun jauh lebih lebar; dengan daun penumpu yang panjang
Thespesia populnea Soland. juga disebut waru laut atau waru lot; memiliki daun seperti kulit yang tidak berbulu, melainkan bersisik cokelat rapat, tampak jelas pada daun yang muda. Bunga serupa dengan bunga waru, tetapi tangkai putiknya tidak berbagi di ujungnya..[5]
Hibiscus mutabilis L. disebut juga waru landak. Berukuran daun lebih kecil, 5-8 cm. Bunganya keluar dari ketiak daun dan berkumpul di ujung tangkai. Pada pagi hari, bunganya putih dan berbentuk dadu, dan di sore hari layu menjadi merah. Lendir daun digunakan untuk melunakkan bisul yang keras.[6]
Ekologi dan penyebaran
Kemampuan bertahannya tinggi karena toleran terhadap kondisi masin dan kering, juga terhadap kondisi tergenang. Tumbuhan ini tumbuh baik di daerah panas dengan curah hujan 800 sampai 2.000 mm. Waru biasa ditemui di pesisir pantai yang berpasir, hutan bakau, dan juga di wilayah riparian. Waru tumbuh liar di hutan dan di ladang, kadang-kadang ditanam di pekarangan atau di tepi jalan sebagai pohon pelindung. Pada tanah yang subur, batangnya lurus, tetapi pada tanah yang tidak subur batangnya tumbuh membengkok, percabangan dan daun-daunnya lebih lebar.[7]
Waru tumbuh menyebar di daerah tropis, terutama di seluruh kepulauan di Indonesia.[8] Habutat waru juga terdapat di pantai-pantai Asia Tenggara, Oseania dan Australia utara dan timur. Diintroduksi ke Australia barat daya, Afrika bagian selatan, serta Hawaii; di mana menjadi liar di sana.[butuh rujukan]
Kegunaan
Kayu terasnya agak ringan, cukup padat, berstruktur cukup halus, dan tak begitu keras; kelabu kebiruan, semu ungu atau cokelat keunguan, atau kehijau-hijauan. Liat dan awet bertahan dalam tanah, kayu waru ini biasa digunakan sebagai bahan bangunan atau perahu, roda pedati, gagang perkakas, ukiran, serta kayu bakar. Dari kulit batangnya, setelah direndam dan dipukul-pukul, dapat diperoleh serat yang disebut lulup waru. Serat ini sangat baik untuk dijadikan tali.[2]Serat ini juga merupakan bahan yang penting, dan berasal dari pepagan waru dan dipakai untuk membuat tali. Tali ini, selanjutnya dipergunakan sebagai bahan dasar membuat jaring dan tas-tas kasar.[1]
Simplisia yang digunakan dari tumbuhan waru untuk pengobatan adalah daun dan bunganya. Daunnya mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol, sedangkan akarnya mengandung saponin, flavonoida, dan tanin.[7]
Daunnya dapat dijadikan pakan ternak, atau yang muda, dapat pula dijadikan sayuran. Bisa juga, untuk menggantikan daun jati dalam proses peragiankecap.[1] Daun yang diremas dan dilayukan digunakan untuk mempercepat pematangan bisul. Daun muda yang diremas digunakan sebagai bahan penyubur rambut. Daun muda yang direbus dengan gula batu dimanfaatkan untuk melarutkan (mengencerkan) dahak pada sakit batuk yang agak berat. Kuncup daunnya digunakan untuk mengobati berak darah dan berlendir pada anak-anak.[2]Akar tanaman waru bisa dipakai untuk obatdemam.[1]
Berdasarkan hasil penelitian, serat yang dihasilkan waru pendek dan kurang baik sebagai bahan pulp. Di Jawa, kayunya dipakai untuk bahan bakar.[1]
Daunnya juga digunakan sebagai pembungkus ikan segar oleh pedagang di pasar dan pedagang ikan keliling.
Bunga waru dapat dijadikan jam biologi. Bunganya mekar di pagi hari dengan mahkota berwarna kuning. Di siang hari warnanya berubah jingga dan sore hari menjadi merah, sebelum akhirnya gugur.[1]
Legenda masyarakat penghuni Pulau Jawa menyatakan, kuntilanak menyukai pohon waru yang tumbuh miring (waru doyong) sebagai tempat bersemayamnya.
Catatan kaki
^ abcdefghiSastrapradja, Setijati; Naiola, Beth Paul; Rasmadi, Endi Rochandi; Roemantyo; Soepardijono, Ernawati Kasim; Waluyo, Eko Baroto (Red. S. Sastrapradja) (1980). Tanaman Pekarangan. 16:74 Jakarta:Kerjasama LBN - LIPI dengan Balai Pustaka.
^ abcdHeyne, K. 1987.Tumbuhan Berguna Indonesia, jil. 3:1312-1314. Terj. Yayasan Sarana Wana Jaya, Jakarta
^ abcSteenis, CGGJ van. 1981.Flora, untuk sekolah di Indonesia. PT Pradnya Paramita, Jakarta. Hal. 291