Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Waktu dalam Sabda Zarathustra

Halaman sampul Sabda Zarathustra edisi pertama tahun 1883–1885 dalam bahasa Jerman.

Waktu dalam Sabda Zarathustra adalah salah satu tema utama dalam karya tersebut. Menjadi manusia berarti bertarung melawan waktu. Seseorang yang gagal bermain-main dengan waktu, membuatnya tidak dapat hidup pada masa kini. Tema tentang waktu dalam Sabda Zarathustra merupakan sumbangan berharga dari Friedrich Nietzsche untuk mengatasi metafisika. Tema tentang waktu dijumpai paling banyak dalam buku keempat, yaitu ketika Zarathustra tampil sebagai “nabi kembalinya segala sesuatu”. Menurut St. Sunardi (teolog dari Universitas Sanata Dharma), Zarathustra secara umum ibarat sebuah kredo tanpa agama, manifesto tanpa massa, dan sosoknya ibarat seorang nabi kesepian tanpa pengikut yang mengelu-elukannya. Sekalipun sebagai sebuah teks, Zarathustra merupakan karya yang mandiri, tidak perlu dibela oleh pengarangnya.

Nabi kesepian

Zarathustra ditulis dalam rentang waktu antara tahun 1883 dan 1885, serta rentang daerah Rapallo, Genova, Sils im Engadin/Segl, dan Nizza Monferrato. Karya tersebut ditulis ketika umur Nietzsche menjelang 40 tahun. Sebelum menuliskannya, dia sendiri sudah mengalami beberapa fase hidup penting dengan karya-karya yang penting pula.[1] Dia sudah menghasilkan karya seperti The Birth of Tragedy (1872), The Dawn (1881), dan The Gay Science (1882).[2]

Zarathustra adalah sebuah karya sastra dan susastra. Seseorang harus memasuki dunia imajinasi di dalamnya, sebagaimana menafsirkan karya sastra. Tidak mengherankan apabila setiap penerjemah akan menghadapi kesulitan (juga kenikmatan), seperti halnya ketika menerjemahkan karya-karya sastra lainnya. Karya tersebut dibagi menjadi empat buku, yang masing-masing terdiri dari berbagai kisah (ibarat cerpen atau prosa liris). Sebagai sebuah kisah, Zarathustra memiliki alur yang dapat membantu pembaca untuk menghubungkan gagasan-gagasan yang ada.[3]

Naguib Mahfouz, penulis Rihla Ibn Fatuma.

Namun, biasanya seseorang akan cepat lupa untuk menelusuri alur ini, karena sudah “mabuk” ketika membaca satu atau dua kisah. Sebagai sebuah karya sastra, yang terpenting adalah warna dan retorika yang keluar dari karya tersebut. Inilah yang harus dicari atau ditunggu oleh setiap orang ketika membaca Zarathustra. Selain itu, setiap penerjemah juga harus mengambil keputusan yang sulit: menerjemahkan secara harfiah atau maknawi. Berdasarkan sudut ini, Zarathustra mirip dengan novel yang ditulis oleh Naguib Mahfouz berjudul Rihla Ibn Fatuma (Perjalanan Ibn Fattouma), kisah perjalanan rohani seorang murid menuju Dar al-Jabal untuk mencari al-haqq (kebenaran).[4]

Latar belakang kisah ini mayoritas terjadi di gunung, di sekitar gua “pertapaan” Zarathustra. Buku pertama diawali dengan kisah Zarathustra yang meninggalkan “dunia” dan menyepi di gunung untuk mencari ilmu kasunyatan. Kasunyatan yang dia temukan terungkap dalam idiom seperti “Tuhan sudah mati”.[5] Dia lantas mengkhotbahkannya di kota-kota. Buku kedua juga diawali dengan kisah pengundurannya kembali ke gunung. Selanjutnya, Zarathustra menegaskan dirinya sebagai seorang “pendaki gunung” dalam buku ketiga. Demikian juga dalam buku keempat, Nietzsche melukiskan seorang Zarathustra yang duduk di atas batu di depan guanya dengan dikelilingi oleh para sahabatnya, yaitu binatang-binatang, sementara rambutnya sudah memutih. Dilihat dari latar belakang kisah Zarathustra dan pengalamannya mendapatkan “musik”, Zarathustra memang sebuah khotbah di dan dari bukit. Ajaran Zarathustra didapatkan di gunung. Kalau Karl Jaspers menimba inspirasinya dari laut ganas, Nietzsche berasal dari kesunyian gunung dengan kedalamannya yang tanpa batas.[6]

Negeri budaya

“Negeri Budaya” (Of Land of Culture), demikianlah judul sebuah kisah dalam buku kedua, adalah kisah tentang Zarathustra yang hanya ditemani oleh waktu. Pengalaman ini datang ketika Zarathustra meninggalkan masa kini untuk berkelana ke masa depan. Zarathustra ternyata tidak tahan tinggal hanya bersama dengan waktu. A horror assailed me! Saya terperangkap dalam rasa takut yang sangat! Demikianlah Zarathustra menggambarkan penderitaannya berhadapan dengan waktu. Tidak tahan berada pada masa depan, Zarathustra lari pulang ke land of culture untuk menjumpai orang-orang yang merasa diri sebagai men of the present (orang-orang masa kini).[4]

Berjumpa dengan orang-orang masa kini menjadi satu-satunya obat kepedihan Zarathustra yang diluluh-lantakkan oleh masa depan. Harapan Zarathustra untuk mendapatkan hiburan ternyata tidak terpenuhi. Dengan hati yang masih gundah dan kaki gemetar, dia tidak tahan untuk tidak tertawa menyaksikan men of the present! Perutnya mual karena terlalu banyak tertawa. Dia mengalami hal yang tidak jauh berbeda dengan pengalamannya berada pada masa depan, yaitu a horror assailed me. Namun, kini – di negeri budaya – perutnya mual bukan karena berada bersama dengan sang waktu, melainkan karena Zarathustra merasa sedang menghadapi tengkorak-tengkorak hidup, orang-orang yang mengaku diri produktif, tetapi sebenarnya mandul. Andaikan saja kejantanan mereka diuji, kata Zarathustra, orang-orang ini pasti terbukti mandul dan kering.[4]

Gemerlapan yang memantul dari tubuh mereka tidak berhasil menutup-nutupi kemandulannya. Aksesori yang dikenakan di tubuh mereka dan tudung yang dipakai di kepala mereka, tidak berhasil mengelabuhi orang bahwa mereka sebenarnya hanyalah tengkorak, kerangka, manusia kurus kering, dan kerdil. Kehadiran mereka bahkan membuat takut burung-burung yang terbang lari menjauh dari orang-orang mandul ini. Tubuhnya tidak memiliki daging dan darah, melainkan hanya tulang-tulang rusuk yang meringis.[4]

Friedrich Nietzsche, penulis Sabda Zarathustra.

Land of culture adalah kisah tentang waktu. Kisah tentang dimensi waktu akan datang yang harus ada dalam waktu sekarang. Tanpa dimensi waktu akan datang, waktu kini tidak pernah ada. Oleh karena itu, mereka yang tidak dapat menghadirkan dimensi waktu yang akan datang tidak pernah hidup dalam duania nyata. Sebaliknya, dunia mereka lebih buruk daripada dunia orang mati. Lebih dari itu, mereka bahkan menakutkan orang-orang mati.[7]

Men of present yang dimaksud oleh Nietzsche adalah orang-orang yang hidup dalam dunia tidak nyata, meskipun mereka mengaku diri sebagai orang-orang realis. Mereka mengaku diri orang yang paling bisa hadir sekarang dan paling nyata. Namun, kata Zarathustra, mereka ternyata kalah nyata dibandingkan dengan burung-burung dan dunia orang mati. Ada dua golongan tokoh antithetic (bertentangan) dalam land of culture, yaitu aku (Zarathustra) dan kamu (orang-orang masa kini). Sang aku adalah orang yang datang dari masa depan dan memeriksa masa kini. Nietzsche tidak banyak bicara tentang kualifikasi sang aku, tidak banyak bicara tentang yang dilihat pada masa depan. Hanya saja, sekembalinya dari masa depan, sang aku melihat masa kini secara berbeda, melihat orang-orang zaman ini secara lain. Masa depan telah memberinya kekuatan untuk membuka kedok orang-orang masa kini, orang-orang yang mengaku hidup dalam land of culture.[7]

Nietzsche melukiskan bahwa orang-orang masa kini adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan percaya, mereka bahkan tidak percaya akan kepercayaan. Tanpa kepercayaan, niscaya seseorang mampu menghasilkan buah. Namun, kepercayaan yang dimaksud oleh Zarathustra mengasumsikan kemampuan untuk menciptakan mimpi kenabian. Artinya, kemampuan untuk mengimajinasikan sesuatu dalam perspektif masa depan.[8] Sebagai imajinasi, “sesuatu” tidak sama dengan hal yang diambil begitu saja dari masa lampau. Kepercayaan akan images (gambar) hasil imajinasi masa lampau bukanlah kepercayaan. Kalau mau disebut kepercayaan, ini adalah jenis kepercayaan minus mimpi kenabian.[9]

Pada akhir kisah, sang aku mengatakan, "Aku bersedia membayar tumbal untuk anak-anakku agar menjadi anak ayahku – (membayar tumbal) untuk seluruh masa depan demi masa kini". Bagi Zarathustra, seseorang harus berani menanggung risiko, membayar kerugian, dan berani berkorban untuk hadir pada masa kini. Hal-hal ini tidak terhindarkan ketika seseorang melihat masa depan. Seseorang tidak melihat apa-apa pada masa depan, kecuali waktu. Berada bersama waktu – sendirian! Itulah korban paling besar. Sebuah kisah Zarathustra yang mencibirkan budaya yang kehilangan dimensi waktu.[7]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Sunardi, St. (2006). Nietzsche. Yogyakarta: LKIS Pelangi Aksara. hlm. 14–18. ISBN 978-979-8451-60-7. 
  2. ^ Nietzsche, Friedrich (2015). Lahirnya Tragedi. Yogyakarta: Narasi. hlm. iii–xliii. ISBN 978-979-1684-26-2. 
  3. ^ Nietzsche, Friedrich (2014). Sabda Zarathustra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 25–44. ISBN 978-979-9289-86-5. 
  4. ^ a b c d Sunardi, St. (2012). Vodka dan Birahi Seorang Nabi: Esai-Esai Seni dan Estetika. Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 121–126. ISBN 978-602-8252-73-7. 
  5. ^ Armstrong, Karen (2011). Masa Depan Tuhan:Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Bandung: Mizan. hlm. 415–416. ISBN 978-979-4335-89-5. 
  6. ^ Levine, Peter (2013). Nietzsche: Potret Besar Sang Filsuf. Yogyakarta: Ircisod. hlm. 236–241. ISBN 978-602-1912-68-3. 
  7. ^ a b c Jackson, Roy. Friedrich Nietzsche. Yogyakarta: Narasi. hlm. 59–72. ISBN 978-979-1684-41-5. 
  8. ^ Darwin (2015). Filsafat dan Cinta yang Menggebu. Yogyakarta: The Phinisi Press. hlm. 86–94. ISBN 978-602-7250-62-8. 
  9. ^ Roth, John K. (2003). Persoalan-Persoalan Filsafat Agama (Kajian Pemikiran Sembilan Tokoh dalam Sejarah Filsafat dan Teologi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hlm. 293–325. ISBN 979-979-3237-28-1. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya