Tjalie Robinson
Meskipun dilahirkan di Belanda, ia menghabiskan sebagian besar kehidupan masa mudanya di Indonesia (sejak masa kolonial Hindia Belanda hingga kemerdekaan). Pekerjaan semasa muda adalah sebagai guru dan kolumnis di surat kabar. Pada masa pendudukan Jepang ia harus menghuni kamp interniran, hingga dibebaskan setelah Jepang menyerah. Ia memutuskan untuk tinggal di Indonesia, hingga akhirnya harus meninggalkan Indonesia menuju Belanda pada tahun 1955. Tjalie dapat dikatakan sebagai budayawan yang membina sastra serta kesenian khas kaum Indo, khususnya dalam merekam berbagai dokumen yang berkait dengan budaya masa kolonial serta penggunaan bahasa Pecok, suatu bahasa kreol dengan dasar bahasa Belanda. Ia adalah penggagas Pasar Malam Tongtong, suatu festival tahunan kultur kaum Eropa-Indonesia setelah di-"repatriasi" akibat sengketa politik Belanda dan Indonesia pada tahun 1950-an. Festival itu dimulai 1957 di Den Haag. Berbagai tulisan, rekaman, serta gagasan-gagasannya sekarang menjadi inspirasi banyak usaha revivalisasi kultur Indo di Belanda dan, pada taraf yang lebih rendah, di Amerika Serikat. Karya tulisTulisan-tulisan Tjalie Robinson memberikan pengetahuan mengenai pertahanan diri orang Indonesia di Belanda. Pertahanan diri ini berkaitan dengan usaha mempertahankan identitas sebagai orang Indonesia.[1] Ia menulis dengan nama pena Jan Boon.[2] Tjalie Robinson adalah salah seorang penulis berbagai roman yang menampilkan tokoh-tokoh dari kaum Indo setelah kemerdekaan Indonesia.[3] Je-lâh-je-kripoetJe-lâh-je-kripoet merupakan kumpulan humor karya Tjalie Robinson yang diterbitkan oleh Majalah Tong Tong. Antologi humor ini diterbitkan pada tahun 1980 dan berisi tujuh jilid humor tentang Hindia-Belanda. Gaya penulisannya adalah Indo-Belanda dengan korpus bahasa Indonesia. Latar belakang cerita di dalam Je-lâh-je-kripoet adalah di Indonesia. Para tokohnya adalah kaum Indo-Belanda, pribumi, dan totok. Sebagian besar humor muncul dari cerita kesalahpahaman bahasa dan budaya antara kaum Indo-Belanda dengan pribumi.[4] OrganisasiTjalie Robinson juga merintis pendirian organisasi kebudayaan bernama Stichting Tong Tong. Organisasi ini memperjuangkan suatu kebudayaan Indo yang berbeda dari kebudayaan Belanda maupun kebudayaan Indonesia. Setelah Tjalie Robinson wafat, tanggung-jawab sebagai pengelola organisasi diberikan kepada anak dan cucunya.[5] Nama Majalah Tong Tong telah diubah menjadi Moesson.[6] Sumbangsih dalam keilmuanTjalie Robinson mempopulerkan bahasa Pecok dari Orang Indo di Belanda.[7] Pada tahun 1969, Tjalie Robinson mempopulerkan istilah Musik Indo untuk mewakili musik keroncong di Belanda.[8] Referensi
Pranala luar |