Teori kuman penyakitTeori kuman penyakit adalah teori ilmiah yang saat ini digunakan untuk menjelaskan keberadaan penyakit. Teori ini menyatakan bahwa mikroorganisme yang dikenal sebagai patogen atau "kuman" dapat menyebabkan penyakit.[1] Berbagai organisme kecil yang tidak kasatmata ini menyerang manusia, binatang, dan makhluk hidup lainnya. Perkembangan dan reproduksinya di dalam inang (organisme yang terinfeksi) dapat menyebabkan penyakit. Kemampuan organisme patogen untuk menyebabkan penyakit disebut dengan patogenitas. Dalam hal ini, kata "kuman" tidak hanya merujuk pada bakteri, tetapi juga pada jenis mikroorganisme apa pun maupun patogen tidak hidup yang dapat menyebabkan penyakit, seperti protista, fungi (jamur), virus, prion, atau viroid.[2] Infeksi terjadi apabila mikroorganisme kecil tak kasatmata ini masuk ke dalam tubuh untuk mengganggu fisiologis normal pada tubuh dan menyerang kekebalan tubuh maka menyebabkan penyakit. Penyakit yang disebabkan oleh patogen disebut penyakit menular karena dapat berpindah dari satu individu ke individu lainnya, baik pada manusia maupun hewan atau makhluk hidup lainnya yang sehat, sehingga populasi penderita semakin meluas. Penularan penyakit ini prosesnya dapat terjadi dengan berbagai macam cara, seperti melalui penularan langsung ketika individu terinfeksi bertemu dengan individu peka di suatu tempat maupun secara tidak langsung dengan perantara benda atau organisme lainnya. Meskipun patogen dapat menjadi penyebab utama seseorang terkena penyakit, tetapi ada juga faktor-faktor lain yang memperparah penyakit tersebut maupun potensi seseorang terinfeksi, seperti faktor pejamu (genetik, umur, jenis kelamin, keadaan fisiologis, kekebalan, penyakit bawaan, sifat-sifat manusia), dan faktor lingkungan.[3][4] Perkembangan pencarian asal muasal penyakit sudah dimulai dari abad kuno, seperti dari teori miasma yang menjadi teori predominan mengenai penyebaran penyakit yang kemudian ditinggalkan. Kemudian, berkembang di beragam kebudayaan seperti Israel Kuno, Yunani dan Roma, India Kuno, serta penemuan beberapa tokoh pada abad pertengahan dan periode modern awal. Pada abad pertengahan, beberapa tokoh mulai mengusulkan bentuk awal dari teori kuman penyakit, seperti Ibnu Sina pada tahun 102 dan Girolamo Fracastoro pada tahun 1546. Akan tetapi, di Eropa, pandangan seperti ini tidak terlalu dipercayai; dokter dan ilmuwan masih lebih memandang tinggi teori miasma dari Galenus. Mereka menjadi tidak mampu memahami progresi penyakit akibat doktrin ini. Pada periode modern awal, beberapa tokoh mulai membantu mengembangkan beberapa inovasi yang membantu berkembangnya teori kuman penyakit, seperti eksperimen yang dilakukan oleh Francesco Redi pada tahun 1668, pengamatan mikroorganisme oleh Anton van Leeuwenhoek pada tahun 1670-an, sampai dikembangkan oleh Marcus von Plenciz pada tahun 1762. Selanjutnya, para tokoh seperti Agostino Bassi, Ignaz Semmelweis, Gideon Mantell, John Snow juga mengemukakan berbagai pengamatan mereka yang memengaruhi perkembangan teori kuman penyakit. Pada awal abad ke-19, vaksinasi cacar sudah banyak dilakukan di Eropa, tetapi para dokter tidak paham cara kerja vaksin tersebut atau cara memindahkan prinsip vaksin ke penyakit lain. Pengobatan yang mirip juga banyak digunakan di India sebelum tahun 1000. Di akhir tahun 1850-an, Louis Pasteur akhirnya mampu mendalami lebih lanjut. Penelitiannya diperdalam oleh Robert Koch pada tahun 1880-an. Di akhir dekade tersebut, teori miasma sudah tidak banyak digunakan akibat kalah saing dengan teori kuman penyakit. Kemudian, pada tahun 1890-an, virus ditemukan. Mulailah sebuah "abad keemasan" ilmu bakteriologi dan dengan teori kuman penyakit, para ilmuwan segera mencari dan mengidentifikasi organisme lain yang menyebabkan penyakit. Teori miasmaTeori miasma merupakan sebuah teori kedokteran kuno yang menyatakan bahwa beberapa penyakit disebabkan oleh miasma (μίασμα atau polusi), udara buruk (atau biasa disebut night air) yang dinilai berbahaya. Udara buruk tersebut diduga berasal dari materi organik yang membusuk.[5] Teori ini sebetulnya sudah banyak disampaikan oleh Hippokrates pada Abad ke-4 SM.[6] Hippokrates berpendapat bahwa miasma terdapat di dalam udara dan ditransmisikan melalui pernapasan, bukan dengan sentuhan. Akan tetapi, teori ini baru populer dan banyak diyakini orang ketika wabah kolera melanda Britania Raya pada Abad ke-19. Meskipun teori miasma saat ini sudah tergantikan oleh teori yang lebih sahih, teori ini telah memberikan banyak perubahan dalam bidang infrastruktur kota sejak beberapa abad yang lalu. Pada tahun 1842, Edwin Chadwick mengamati kondisi sanitasi penduduk buruh di Britania Raya. Ia menyarankan perbaikan drainase rumah untuk menghilangkan bau busuk di tempat tinggal penduduk. Ia memiliki klaim bahwa semua bau yang intens merupakan penyebab langsung dari berbagai penyakit akut. Di tempat yang berbeda, Sir Francis Head, seorang gubernur kolonial di Kanada mengulas klaim Chadwick dalam sebuah media yang berpengaruh saat itu, yaitu Quarterly Review. Gubernur tersebut sangat mendukung klaim Chadwick dan menyampaikan fakta-fakta terkait miasma yang terjadi di beberapa pemukiman di Amerika. Keyakinan Chadwick akan klaimnya menghasilkan suatu konsep yang baru, yaitu penghilangan bau dari tempat tinggal merupakan sesuatu yang lebih penting daripada memurnikan air.[7] Pendapat Chadwick diperkuat oleh dr. Neil Arnott dua tahun berikutnya. Dokter tersebut berpendapat bahwa penyebab utama dari sebuah penyakit adalah racun pengotor atmosfer yang terakumulasi di sekitar tempat tinggal. Racun tersebut dapat berasal dari sisa makanan dan kotoran manusia yang membusuk. Konsep telah menjadi dasar dari gerakan reformasi sanitasi pada pertengahan Abad ke-19. Sebagai contoh, Napoleon Bonaparte, seorang pengagum taman dan alun-alun kota di Perancis, menginspirasi Baron Georges-Eugène Haussmann untuk membuat jalanan baru. Hal ini membuat sinar matahari sampai ke rumah-rumah penduduk dan Paris dapat banngkit dari pandemi yang melandanya. Tak hanya itu, Haussman membuat sistem pembuangan yang lebih baik dan membuat Paris menjadi ‘Kota Cahaya’. Kondisi yang sama terjadi di benua lainnya. Presiden James Garfield tertembak pada tahun 1881 dan dirawat di Gedung Putih.[8] Kondisinya yang memburuk hari demi hari dinilai bukan berasal dari peluru yang masih bersarang di tubuhnya. Kondisinya yang buruk diduga terjadi karena sistem drainase gedung tersebut yang kurang baik. Dalam surat kabar New York, seorang tukang ledeng yang terkenal berpendapat bahwa terdapat masalah pada saluran pembuangan gas. Garfiled akhinya dipindahkan ke New Jersey, tetapi menghembuskan napas terakhirnya di perjalanan. Chester Arthur, pengganti Garfielld menolak untuk mendiami Gedung Putih sampai masalah pembuangan yang terajadi sebelumnya diselesaikan dengan baik. Jensen Carr, seorang asisten profesor arsitektur, urbanisme, dan lanskap di Northeastern University berpendapat bahwa ketakutan akan miasma memicu terciptanya lingkungan yang lebih baik.[9] Carr berpendapat bahwa pemasangan sistem limbah bawah tanah diharapkan dapat menghilangkan penumpukan sampah sebagai sumber miasma. Dalam bukunya, The Topography of Wellness: Health and the American Urban Landscape, Carr menyatakan bahwa saluran air minum dan air kotor akan lebih mudah dipasang jika terdapat sebuah jalanan aspal yang panjang. Pengaspalan wilayah berbatu ini membuat terjadinya perluasan industri dan perumahan. Terdapat tokoh lain yang sejalan dengan Carr, yaitu, Frederick Law Olmsted, seorang arsitek lanskap yang anaknya meninggal akibat penyakit kolera. Olmsted memperjuangkan adanya ruang terbuka hijau dalam kota sebagai sumber udara segar dan penyaring udara kotor. Omsted berpendapat bahwa dedaunan dan sinar matahari dapat mendesinfeksi kota. Bersama Calvert Vaux, Olmsted membangun Central Park dan ratusan taman umum dan tempat rekreasi di Boston, Buffalo, Chicago, dan Detroit. PerkembanganSepanjang sejarah, manusia telah beberapa kali menghadapi penyakit menular. Wabah Yustinianus pada tahun 541-542 menjadi pandemi pertama yang diketahui. Kemudian diikuti oleh Maut Hitam dengan penyakit pes pada abad ke-14. Penyakit lainnya yang ditakuti adalah smallpox, yang diketahui menyebabkan kematian lebih banyak daripada jumlah kematian yang disebabkan oleh perang sepanjang sejarah. Bukti keberadaan smallpox bahkan telah ditemukan pada mumi berumur 3000 tahun di Mesir dan orang-orang menyebut penyakit tersebut dengan nama poliomielitis. Selanjutnya ada kolera yang menjadi perhatian pada abad ke-19 hingga saat kini, terutama di tempat-tempat seperti Bangladesh. Pandemi influenza 1918 juga meyebabkan naiknya tingkat mortalitas dan membunuh lebih dari 50 juta nyawa.[10][11] Rasionalisasi terhadap penyebab penyakit-penyakit tersebut pun sudah dilakukan sepanjang sejarah manusia. Sebelum adanya penelitian mengenai mikrobiologi, orang-orang pada zaman dahulu percaya bahwa penyakit dikirim oleh para dewa sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat. Menurut masyarakat Persia kuno, penyakit disebabkan oleh roh jahat dan harus dikendalikan melalui praktik pengusiran roh jahat. Baru pada abad ke-6, filsuf pra-Sokrates seperti Pythagoras, Alcmaeon, dan Empedokles menyatakan bahwa lingkungan memainkan peran yang penting dalam menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Pada abad ini juga terdapat sebuah wabah yang bernama Wabah Yustinianus. Wabah ini menginspirasi ilmuwan untuk mencari penyebabnya.[12] Sebelum munculnya teori miasma, terdapat satu teori pendahulu yaitu Teori Hippokrates yang dibuat oleh Hippokrates. Teori ini dimuat dalam buku karyanya sendiri yang berjudul "On Airs, Waters, and Places". Dalam teorinya, Hippokrates menyebutkan bahwa penyakit dapat disebabkan oleh dua hal, yakni karena adanya kontak dengan jasad hidup dan karena pengaruh lingkungan internal dan eksternal seseorang.[3] Karya Hippokrates menjadi penanda mulainya kedokteran barat memahami penyakit sebagai suatu peristiwa yang alami daripada supernatural serta dokter diharapkan untuk mencari penyebab fisis dari suatu penyakit seperti udara, air, dan tempat, juga mengenai hubungan dengan iklim, diet, dan kondisi tempat tinggal pengidap penyakit.[11][13] Seorang dokter dari Persia, Ibnu Sina atau yang biasa dikenal di Eropa sebagai Avicenna, mengajukan bentuk dasar dari Teori Kuman Penyakit du dalam bukunya, the Canon of Medicine (1025). Ibnu Sina percaya bahwa setiap penyakit punya penyebab dan penyebabnya dapat terlihat maupun tidak.[14] Pada awal abad ke-16, Girolamo Fracastoro, seorang penyair, dokter, dan matematikawan, mencoba menganalisis konsep penularan dan infeksi. Di tahun 1546, ia menerbitkan tulisannya yang berjudul Contagious Diseases and Their Cure. Beberapa ilmuwan seperti Edward Jenner, Ignaz Semmelweis, dan Robert Koch melakukan riset lebih lanjut terkait teori ini.[15] Pada abad ke-18 teori kuman penyakit pada awalnya hanyalah campuran teori dari pemikiran medis beberapa ahli. Pada abad ini teori kuman penyakit kembali mengalami kemajuan karena timbulnya penyakit cacar. Pada saat itu beberapa ilmuwan seperti Edward Jenner melakukan serangkaian metode ilmiah seperti membuat hipotesis, menguji, dan membuktikan teori vaksinasi. Perkembangan pesat dari teori kuman penyakit tidak telepas dari perkembangan teknologi mikroskop. Mikroskop dengan memanfaatkan pembiasan cahaya yang melewati lensa, dapat membuat bayangan benda-benda kecil menjadi berkali-kali lipat ukuran aslinya. Oleh karena itu, objek-objek kecil yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang seperti keberadaan bakteri akhirnya akhirnya dapat diobservasi pertama kali oleh Anton van Leeuwenhoek pada 1676.[16] Pada akhirnya, pada abad-19 teori kuman penyakit ini berkembang dan dikenal oleh masyarakat.[15] Louis Pasteur menjadi salah satu tokoh utama yang berjasa untuk memperkenalkan bakteriologi, ilmu yang mempelajari tentang bakteri. Berkat hasil kerjanya, ia berhasil mengaplikasikan inokulasi (vaksinasi) pada domba dan sapi untuk mencegah antraks, kolera pada unggas, dan juga rabies pada manusia dan anjing. Selanjutnya Robert Koch yang juga menjadi salah satu pionir bakteriologi, berhasil menunjukkan bahwa bakteri dapat dibudidayakan, diisolasi, dan diujikan di laboratorium. Ia kemudian pada tahun 1882 menemukan organisme penyebab tuberkulosis serta organisme penyebab kolera pada 1883.[13] Abad ke-19 ini menjadi era kejayaan bagi teori kuman penyakit karena teori ini telah dikenal oleh masyarakat luas. Sejak saat itu, masyarakat percaya bahwa beberapa penyakit yang menyerang manusia selama berabad-abad tenyata disebabkan oleh invasi mikroorganisme ke dalam tubuh manusia. Teori kuman penyakit ini memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan epidemologi penyakit infeksi. Berkat teori ini juga, banyak penyakit yang akhirnya dapat dicegah dan juga disembuhkan. Teori kuman penyakit ini mengarahkan para ilmuwan untuk menghasilkan obat-obatan antibiotik dan antimikroba seperti vaksin, sterilisasi, preurisasi, dan program sanitasi publik. Teori ini terus berkembang hingga ke level molekul pada abad ke-20.[3] Israel KunoHukum Musa atau Taurat Musa (1000 SM) merupakan salah satu bukti pemikiran-pemikiran awal yang membahas mengenai penularan dalam penyebaran penyakit. Dalam Hukum Musa, hal ini disebut dengan contagium animatum atau penyebaran penyakit yang tak kasat mata melalui kontak fisik yang berdekatan.[17] Untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, Hukum Musa membahas tentang pentingnya memberlakukan peraturan kebersihan dalam masyarakat, menjaga kesehatan reproduksi, dan memerintahkan karantina bagi penderita kusta atau penyakit kelamin.[18] Termasuk di antara bentuk-bentuk tanggung jawab kesehatan individual dan masyarakat adalah kebersihan makanan, tempat tinggal atau rumah, waktu untuk istirahat, pembuangan sampah yang benar, dan akses air bersih.[19] Masyarakat Israel Kuno juga diperintahkan untuk mencuci tangan dan benda lain sebagai bentuk pemurnian. Selain itu, terdapat juga larangan untuk memakan daging binatang yang sakit atau kotor, serta tata cara penyembelihan binatang agar bisa disimpan lebih lama. Menurut Tafsir Talmud mengenai hukum Alkitab, terdapat dua prinsip yang membahas tentang kebersihan dan kesehatan manusia. Prinsip yang pertama adalah Pikuah Nefesh atau kesucian hidup.[19] Prinsip ini menyebutkan bahwa bahwa penyelamatan satu nyawa manusia dianggap sebagai menyelamatkan seluruh dunia. Lalu prinsip yang kedua adalah Tikkun Olam, yang menekankan tentang pentingnya peningkatan kualitas hidup seluruh makhluk hidup di dunia.[19] Kewajiban untuk menjaga kebersihan dan kesehatan yang terdapat dalam Hukum Musa tersebut merupakan pesan dari Tuhan untuk para umat manusia yang disampaikan lewat Musa. Oleh karena itu, praktik-praktik kebersihan dianggap sebagai bagian dari kegiatan keagamaan. Pembahasan mengenai kebersihan dan kesehatan manusia yang terdapat dalam Hukum Musa menciptakan dasar health policies dalam individu dan masyarakat modern. Yunani dan RomawiDi periode klasik, seorang sejarawan Yunani, Thukidides (sekitar 460 – 400 SM) adalah orang pertama yang menyatakan bahwa penyakit dapat menular dari orang yang berpenyakit ke orang lain.[20][21] Hal ini ia tulis dalam catatannya mengenai wabah Athena. Teori lain yang menyatakan bahwa penyakit tidak menular melalui kontak langsung adalah teori yang menyatakan bahwa penyakit disebar melalui "benih" (semina dalam bahasa Latin) berbentuk spora yang ada dan dapat menyebar melalui udara. Penyair Romawi, Lucretius (sekitar 99 – 55 SM), dalam puisinya yang berjudul De rerum natura menulis bahwa dunia ini mengandung berbagai "benih" yang dapat membuat orang sakit apabila dihirup atau ditelan.[22][23] Negarawan Romawi, Marcus Terentius Varro (116–27 SM) dalam bukunya Rerum rusticarum libri III (Tiga Buku Mengenai Agrikultur) yang dipublikasikan tahun 36 SM menulis bahwa: "Harus lebih berhati-hati di daerah rawa [...] karena di daerah tersebut ada makhluk-makhluk kecil yang tidak kasatmata, yang mengambang di udara dan dapat memasuki tubuh melalui mulut dan hidung. Makhluk tersebut kemudian menyebabkan penyakit serius."[24] Tabib Yunani Galenus (129 M – sekitar 200 atau 216) berspekulasi dalam bukunya, Tentang Penyebab Awal (sekitar 175 M) bahwa beberapa pasien mungkin memiliki "benih demam".[25] Dalam bukunya yang lain berjudul Tentang Berbagai Jenis Demam (sekitar 175 M), Galenus berspekulasi bahwa wabah disebabkan oleh "sejenis benih wabah" yang ada di udara.[26] Dalam bukunya yang berjudul Epidemi (sekitar 176–178 M), Galenus berpendapat bahwa pasiennya mungkin dapat kembali mengalami demam setelah sembuh akibat "benih penyakit" yang masih bersembunyi di dalam tubuh mereka. Benih ini dapat kembali menyebabkan demam apabila pasien tersebut tidak mengikuti proses terapi pengobatan yang diperintahkan seorang dokter.[27] Sebelum para ilmuwan Yunani dan Roma melakukan penelitian tentang penyakit, orang Yunani zaman dahulu percaya bahwa penyakit merupakan kehendak dari Dewa yang ditandai dengan munculnya fenomena alam tertentu setiap kali wabah penyakit terjadi. Contohnya hujan deras terus-menerus dan angin yang bertiup kencang. Setelah penelitian tentang penyakit dan wabah mulai dilakukan, ilmuwan atau peneliti saat itu mulai memberikan pendapatnya masing-masing. Ada yang menganggap bahwa mayat yang tidak dikubur dan saluran air yang rusak tidak baik bagi kesehatan, ada juga yang mengatakan bahwa semua jenis wabah merupakan dampak dari perang atau fenomena alam yang umum.[28] Pada abad ke-5 SM, Thucydides (460 SM – 395 SM), yang merupakan sejarawan Yunani, mengatakan bahwa seseorang yang sering berinteraksi dengan orang yang sakit akan berpotensi tertular penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu penyakit yang diderita seseorang orang bisa menular jika terjadi interaksi atau kontak dengan orang lain. Beliau menuliskan pandangannya dalam catatannya tentang wabah Athena dan beliau adalah orang pertama yang menuliskan pandangan itu.[20][28] Hippokrates (460 SM - 370 SM) mengungkapkan bahwa kondisi udara atau atmosfer merupakan penyebab penyakit. Beliau melakukan pengamatan terhadap pengaruh iklim pada kesehatan dan meneliti tentang faktor-faktor iklim yang permanen dan sementara.[28] Terdapat juga teori lain, yaitu teori dari Lucretius (Titus Lucretius Carus), seorang filsuf Latin yang lahir sekitar tahun 99 SM di Romawi. Ia menciptakan puisi yang berjudul De rerum Natura, yang di dalamnya ia menyampaikan bahwa dunia ini mengandung berbagai "benih" yang dapat memberikan manfaat dan penyakit. Benih yang bermanfaat dapat memberikan kita makanan untuk keberlangsungan kehidupan, sedangkan yang buruk akan membuat orang sakit apabila dihirup atau ditelan.[29] Salah satu contoh penyakitnya adalah kusta.[30] Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Penyakit ini dahulu muncul di Sungai Nil, Mesir. Gejala dari penyakit ini antara lain adalah kepala terasa panas, mata memerah, dan saluran suara yang tersumbat. Penyakit kusta ditularkan melalui tetesan dari hidung dan mulut.[31] Pada Bab ke-12 bukunya yang berjudul Rerum rusticarum libri III (36 SM), seorang negarawan Romawi, Marcus Terentius Varro, menuliskan tentang cara penempatan rumah petani agar proses pertanian dapat berjalan dengan baik. Ia menuliskan bahwa rumah petani yang baik adalah rumah yang memiliki sumber air sendiri atau dibangun di dekat sumber mata air. Air ini nantinya akan digunakan untuk keperluan pribadi dan hewan ternak. Ketika membangun rumah di tanah berawa, Marcus menyebut bahwa seseorang harus memperhatikan hewan-hewan kecil. Hewan kecil tersebut tidak kasatmata dan dapat menyebabkan penyakit yang sulit untuk disembuhkan jika terhirup melalui mulut dan hidung.[32] Ratusan tahun kemudian, seorang ilmuwan Belanda yang menemukan mikroskop, Antony van Leeuwenhoek, menemukan mikroorganisme dalam sekresi manusia.[33] Galen/Galenus (129 M - 199 M) mengatakan bahwa terdapat tiga penyebab penyakit. Tiga penyebab itu antara lain:
Galen berspekulasi bahwa penyebab seseorang bisa menderita penyakit demam adalah karena seseorang memiliki bibit atau benih demam di dalam tubuhnya. Atau dengan kata lain, bibit demam merupakan penyebab bawaan seseorang yang rentan terhadap demam. Beliau juga memiliki spekulasi lain bibit penyakit bisa saja berasal dari luar tubuh, seperti udara. Namun, bibit tersebut dapat teraktivasi atau dapat menyebabkan penyakit pada seseorang hanya jika masuk ke dalam tubuh. Menurut Galen, setelah seseorang sembuh dari demam sebaiknya tetap mengikuti proses atau prosedur pengobatan yang dianjurkan oleh dokter. Jika tidak, maka masih terdapat kemungkinan bahwa demam akan kambuh karena benih penyakit demam tersebut masih bersembunyi di dalam tubuh pasien.[34] Wabah Pes pertama (Wabah Yustinianus) terjadi di daerah Romawi pada tahun 542 - 544. Wabah ini disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis yang berasal dari sisa era neolitik akhir 5000 sampai 6000 tahun lalu.[35] Bakteri ini dapat menular melalui kutu tikus (Xenopsylla cheopis). Wabah ini tersebar pertama kali di kota-kota Mediterania tenggara dan Eropa, dan menyebar cepat ke negara Konstantinopel (ibukota kekaisaran Romawi). Setelah itu wabah ini terus menyebar ke negara-negara mediterania selama 250 tahun, dan wabah ini menghilang pada tahun 750.[36][37] Gejala dari wabah Yustinianus menyebabkan bubo, yaitu pembengkakan kelenjar getah bening. Jumlah kematian dari wabah ini tidak dapat diprediksi karena kurangnya data demografis. Tetapi, dari semua bukti yang ditemukan, menunjukkan bahwa wabah Yustinianus adalah wabah yang paling mematikan selama zaman kuno.[38] Wabah Yustinianus juga menyebabkan efek makro pada berbagai negara. Negara yang terkena dampak dari wabah pes ini mengalami kelaparan dan inflasi. Kelaparan ini disebabkan oleh kurangnya pekerja sektor pertanian akibat kematian wabah dan pemulihan dari gejala wabah yang berkepanjangan. Wabah juga diduga menjadi salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Romawi.[39] Hal ini dibuktikan oleh McCormick dengan ditemukannya DNA Yersinia pestis, bakteri penular wabah Yustinianus, pada tulang bekas mayat dari kerajaan Romawi yang dikubur di pemakaman Aschheim, yaitu tempat pemakaman penduduk kota kecil pada saat itu.[37][40] Wabah pes juga terjadi dua kali setelah wabah Wabah Yustinianus, antara lain wabah Maut Hitam. Pada Abad Pertengahan, wabah ini merebak di Eropa, Asia barat daya, Afrika Utara, dan wilayah lainnya. Wabah kedua juga terjadi di pergantian abad ke-20, yang membunuh jutaan orang di seluruh Asia.[41] India KunoSumber utama dalam dunia kesehatan India adalah samhita (collections, koleksi) dengan penulis antara lain Bhela, Charaka, dan Sushruta. Bhela, yang tertua, menulis pada masa sebelum Masehi. Dua yang lain menulis pada awal Masehi. Buku Charaka Samhita banyak berbicara seputar kesehatan, sementara buku Sushruta Samhita lebih banyak membicarakan tentang operasi pembedahan.[42] Pada sejarahnya, bidang kesehatan di India terbagi menjadi empat periode. Yang pertama adalah masa Weda, yang kedua yaitu masa Ayurweda, yang ketiga masa Arabik, serta yang terakhir masa Barat. Kedokteran Weda bersifat supernaturalis, sedangkan Ayurweda dan Arabik lebih naturalistis.[42][43] Sushruta merupakan orang pertama yang tercatat dalam sejarah yang menyarankan sterilisasi ruang operasi menggunakan asap mustard putih (Brassica hirta). Sterilisasi tersebut dilakukan dengan cara menyalakan dupa di ruang operasi. Metode tersebut memprediksi metode sterilisasi udara, jauh sebelum diketahuinya eksistensi kuman atau pun teori kuman penyakit itu sendiri.[44][45] Selain sterilisasi dan keperluan medis lainnya, penggunaan dupa pada era India Kuno juga dipercaya memberikan efek penyembuhan.[46] Beberapa manuskrip dan teks kuno dari peradaban India Kuno berhasil mencatat beberapa penyakit yang disebabkan akibat infeksi, salah satunya adalah cacar (smallpox). Rigveda atau Rig Veda, yaitu sekumpulan teks kuno tertua yang diperkirakan ditulis pada rentang 1500 hingga 1000 SM, diduga mencatat referensi mengenai smallpox tersebut. Pada buku ke-7 dari Rigveda, smallpox dipercaya terjadi akibat sifat jahat suatu iblis perempuan bernama Simida. Selain itu, terdapat pula Shitaladevi, seorang dewi yang dipercaya menyembuhkan penyakit yang mirip dengan smallpox, sehingga dewi Shitaladevi disembah pada hari ke-8 setelah Holi, suatu festival India kuno, bahkan hingga era masa kini.[47] Tulisan pada era Ayurweda juga memuat beberapa perawatan untuk sensasi terbakar akibat smallpox tersebut, yaitu dengan membersihkan bagian yang terpengaruh dengan ramuan dari tumbuhan herbal, mengoleskannya dengan pasta yang dibuat dari kulit pohon Ficus, dan menaburkan abu kotoran sapi pada nanah smallpox yang muncul.[47] Kitab Sushruta Samhita yang ditulis oleh Sushruta juga mencatat penyakit cacar (smallpox), yaitu suatu penyakit yang dikenal dengan masūrikā pada zaman itu.[48] Masūrikā berasal dari kata ‘lentil’, ‘nadi’, atau ‘pulse’ yang disebabkan akibat bentuk dan warna bisul yang muncul menyerupai suatu varietas legum lokal pada saat itu.[49] Pada zaman ini juga, masyarakat mengetahui bahwa bisul penderita dapat menyebarkan penyakit tersebut dan penderita yang selamat memiliki imunitas terhadap penyakit yang sama. Metode induksi imunisasi buatan pun diduga dikembangkan, tepatnya metode inokulasi cacar (smallpox), jauh sebelum praktik yang sama dilakukan di Eropa dan Amerika. Metode tersebut tercatat pada tulisan seorang tabib Hindu kuno, Dhanwantari, berdasarkan praktik yang dilakukan oleh Sushruta. Sushruta menginstruksikan untuk mengambil cairan dari bisul sapi yang kemudian digoreskan ke bagian lengan atas hingga berdarah. Cairan tersebut kemudian dicampurkan dengan darah yang muncul yang akan menginduksi demam akibat smallpox tersebut.[50] Sushruta juga memprediksikan bahwa penyakit kusta dan infeksi penyakit lainnya dapat menular dari suatu individu ke individu lainnya melalui kontak langsung atau dengan perantara seperti pakaian.[48][51] Selain infeksi yang menimpa manusia, teks pada zaman India pertengahan juga mencatat infeksi yang menimpa hewan. Lokopakara pada tahun 1025 M mendeskripsikan suatu penyakit yang menimpa sapi dengan gejala seperti luka yang terdapat pada gusi dan kuku sapi. Gejala penyakit tersebut sesuai dengan penjelasan umum pada suatu penyakit yang sekarang dikenal sebagai Penyakit Mulut dan Kuku (PMK).[47][52] Infeksi lainnya yang tercatat adalah rabies yang menimpa gajah pribadi Jahangir, kaisar Mughal di memoar (memoirs) beliau pada tahun 1613 M. Gajpati, seekor gajah pribadinya, digigit anjing gila pada suatu malam dan setelah satu bulan lebih sejak kejadian tersebut, Gajpati meninggal. Kematian akibat gigitan anjing tersebut membuat Jahangir kagum akibat hewan dengan ukuran dan berat sebesar itu bisa terpengaruh oleh luka kecil akibat makhluk yang sangat lemah.[47][53] Abad PertengahanDi abad ke-5, kitab Talmud Yerusalem sudah menyebut secara eksplisit sebuah aturan yang melarang memasukkan uang ke dalam mulut demi menjaga kesehatan manusia.[54] Nissim dari Gerona, seorang ilmuwan Talmudik abad ke-14, menyatakan bahwa aturan ini diadakan "karena uang banyak berpindah tangan, dan beberapa orang yang menyentuh uang itu dalam keadaan sakit. 'Kotoran' [זוהמא] mereka kemudian menempel pada uang dan 'kotoran' tersebut berbahaya bagi orang yang meletakkan uang itu di dalam mulut."[55] Kemudian, bentuk dasar teori penularan muncul dalam ilmu kedokteran Islam abad pertengahan. Seorang tabib Persia bernama Ibnu Sina menulis bentuk dasar ini dalam bukunya, Kanon Kedokteran (1025), yang kemudian menjadi buku kedokteran dengan reputasi paling tinggi di Eropa hingga abad ke-16. Dalam volume IV buku tersebut, Ibnu Sina membahas tentang wabah, memberikan penjelasan singkat tentang teori miasma klasik, serta mencoba untuk menggabungkan teori tersebut dengan teori penularannya sendiri. Ia menyatakan bahwa orang-orang dapat menularkan penyakit kepada orang lain melalui napas, mencatat potensi penularan tuberkulosis, dan membahas penularan penyakit melalui air dan tanah.[56] Pada awal Abad Pertengahan, Isidorus dari Sevilla (560–636 M) dalam karyanya menyebutkan dua hal tentang penyakit menular. Yang pertama, bahwa wabah menyebar dengan luas dan menularkan penyakit kepada yang ditimpa. Ada yang berkata bahwa wabah muncul karena ulah manusia yang berbuat dosa. Akibat dosa ini, dengan mekanisme tertentu (entah karena udara yang kering, panas, atau kurangnya hujan), udara sekitar menjadi kotor dan menyebabkan penyakit. Yang kedua, ada yang mengatakan bahwa bibit pembawa penyakit dibawa oleh udara dan menyebar ke udara yang dihirup oleh manusia. Dari situ, bibit penyakit tersebut masuk ke dalam tubuh manusia dan memberikan efek hingga mengakhiri kehidupan.[57] Sementara itu, pada abad ke-9, seorang tabib dari kekhalifahan Abbasiyah bernama Ali at-Tabari menuliskan sebuah buku berjudul Firdaws al-hikma fi al-tibb yang meringkas secara lengkap mengenai filsafat alam dan obat-obatan. Dalam salah satu bab, ia menuliskan tentang penyakit kusta (judhdam) yang disebut sebagai penyakit keturunan dan dapat menular seperti cacar.[58] Pada abad yang sama pula, Qusta ibn Luqa membahas tentang cara mengidentifikasi air yang tidak terkontaminasi dan cara membuat kualitas air menjadi lebih baik. Kondisi air di Jeddah pada waktu itu tergolong buruk. Bahasannya mirip dengan bahasan seorang ilmuwan fikih bernama Ibnu al-Haj al-Abdari (abad ke-12), yang menulis bahwa suatu zat najis dapat mengontaminasi air, makanan, pakaian, dan menyebar melalui suplai air. Ia juga mengimplikasikan bahwa kontaminasi ini ada dalam bentuk partikel-partikel yang tak kasatmata.[59] Ibnu Rusyd dan yuris-yuris Islam lainnya pada abad ke-12 juga menyadari bahwa penyakit menular itu nyata. Hanya saja, pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan ajaran pada masa itu yang menyatakan bahwa penyakit tidak muncul karena ditularkan.[60] Barulah Ibnu al-Khatib dalam kitabnya menulis tentang penyakit bubo dan pneumonia. Ia mendeskripsikan secara klinis sifat-sifat yang cenderung dimiliki penyakit tersebut. Hal yang membedakan gagasan Ibnu al-Khatib dengan penggagas-penggagas lain tentang penyakit tersebut adalah keberadaan agen penular dalam penyakit itu. Berdasarkan pengalaman empirisnya, Ibnu al-Khatib mengungkapkan bahwa orang yang memiliki kontak dengan korban penyakit itu bisa tertular penyakit yang sama. Ia juga mengungkapkan bahwa penularan dapat melalui pakaian, wadah, dan anting-anting yang dipakai sebelum penyakit itu ditularkan kepada keluarga, tetangga, dan kemudian menjadi wabah besar. Hanya saja, agen penular seperti apa yang menjadi penyebab menyebarnya penyakit tersebut belum dapat diidentifikasi oleh Ibnu Al-Khatib.[61] Kemudian, pada tahun 1345, Tommaso del Garbo (sekitar 1305–1370) dari Bologna, Italia, menyebut "benih penyakit" Galenus dalam bukunya Commentaria non-parum utilia in libros Galeni ("komentar penting mengenai buku Galen").[62] Cendekiawan dan tabib Italia, Girolamo Fracastoro, dalam bukunya De Contagione et Contagiosis Morbis yang terbit tahun 1546, menyatakan bahwa wabah penyakit disebabkan oleh entitas berbentuk benih (seminaria morbi) yang dapat berpindah, memindahkan infeksi melalui kontak langsung maupun tidak langsung, atau bahkan tanpa melalui kontak dalam jarak yang jauh. Ia mengategorikan penyakit berdasarkan cara penyebarannya dan berapa lama penyakit itu bisa bertahan dorman. Fracastoro memperkenalkan teorinya yaitu the contagion theory. Dalam teorinya, ia mengatakan bahwa kuman bukan merupakan mikroorganisme, melainkan sebagai zat kimia yang bertanggung jawab terhadap penguapan dan difusi atmosfer. Fracastoro juga mengatakan bahwa setiap penyakit disebabkan oleh kuman yang berbeda. Dalam teorinya, Fracastoro mengatakan bahwa penyakit dapat ditularkan dari satu orang ke orang yang lain melalui zat kimia yang bernama kontangion. Terdapat 3 jenis kontangion menurut Fracastoro, antara lain:
Periode Modern AwalFrancesco Redi merupakan tabib Italia yang berhasil mematahkan doktrin generasi spontan melalui pembuktiannya. Generasi spontan adalah gagasan bahwa organisme dapat hidup secara spontan berasal dari materi tak hidup. Pembuktian yang dilakukan Francesco Redi didasari oleh eksperimen yang dilakukan oleh seorang pastor Jesuit Jerman, Athanasius Kircher (1601-1680). Dalam Baconian Spirit, Kircher bersikeras bahwa hanya pengetahuan yang diperoleh dari eksperimen dapat mengarah pada kebenaran.[63] Kircher menganggap eksperimennya merupakan imitasi dari alam dan secara bersamaan membenarkan konsep generasi spontan miliknya.[64] Kircher telah menghabiskan waktu bertahun-tahun mencari penyebab vis seminalis (mani) atau spermatica (sperma) terhadap keterkaitannya dengan generasi dan kerusakan. Pada akhirnya ia menemukan “benih” yang berasal dari bangkai tumbuhan dan hewan yang disebut sebagai “panspermia”. Substrat dari “benih” mayat tersebut diparut atau dimaserasi dan ditambah dengan kotoran hewan atau serangga. Campuran itu kemudian ditempatkan pada suhu yang hangat dan lembab. Setelah jangka waktu tertentu, campuran tersebut akan menghasilkan induk yang hidup berdasarkan hewan yang Kircher “hasilkan”, dapat berupa katak, ikan, kupu-kupu, dan yang paling sering adalah lalat. Pada akhirnya Kircher memberikan formula dari eksperimennya dan menamainya “genesis of flies”. Francesco Redi beberapa kali melakukan eksperimen untuk membuktikan generasi spontan itu tidak logis. Salah satu eksperimennya yang populer adalah membiarkan mayat ular Aesculapius (Coluber longissimus) yang masih segar membusuk di sebuah kotak. Tidak butuh waktu yang lama, muncul ulat-ulat kecil yang menghabiskan daging ular tersebut hingga hanya tersisa tulang dan kemudian ulat-ulat itu menghilang. Redi mencoba untuk melakukan eksperimennya kembali, namun kali ini dengan menutup kotak tersebut agar ulat-ulat tersebut tidak menghilang. Lalu, di akhir eksperimen ia menemukan lalat keluar dari kotak itu. Ia kembali melakukan eksperimen itu menggunakan daging hewan lainnya dan hasilnya tetap sama. Dari eksperimen itu ia menemukan bahwa lalat dewasa menjatuhkan telurnya pada daging mentah, kemudian dari telur itulah lahir ulat-ulat yang muncul di daging. Menurut Redi, daging, tanaman, dan bangkai lainnya berperan sebagai sarang bagi telur, anakan, atau segala bentuk benih lainnya pada saat musim berkawin.[65] Pada tahun 1668, Redi melakukan eksperimen infestasi lalat melalui tiga buah toples. Masing-masing toples diisi sepotong daging dan telur. Satu toples disegel rapat, satu toples ditutup menggunakan kain, dan toples terakhir tidak ditutup atau disegel. Eksperimen ini dilakukan Redi selama beberapa hari. Dari eksperimen tersebut, ia menemukan bahwa daging yang ditempatkan di dalam toples terbuka penuh dengan belatung. Hal serupa terjadi juga pada daging yang ditempatkan pada toples yang hanya ditutup kain karena lalat menaruh benihnya atas permukaan kain dan menyebabkan kain terinfestasi oleh belatung. Sementara, toples yang disegel tidak berbelatung sama sekali. Dari hasil tersebut ditemukan bahwa belatung hanya dapat ditemukan di permukaan yang dapat dijangkau oleh lalat. Redi berpendapat selama buah-buahan, sayur-sayuran, dan daging, baik dalam keadaan mentah atau matang, jika disimpan di tempat yang tertutup rapat, maka tidak akan terinfestasi oleh larva atau belatung.[65] Eksperimen menjelaskan bahwa larva tidak muncul pada hewan mati, kecuali hewan hidup lainnya tidak menaruh benih di dalamnya. Peletakkan benih tersebut dapat dicegah secara efektif menggunakan tempat yang disegel ketat. Berdasarkan eksperimen itu, Redi berhasil menyimpulkan bahwa belatung tidak muncul secara spontan dari daging dan generasi spontan terbukti tidak logis.[66] Anton van Leeuwenhoek secara universal diakui sebagai bapak mikrobiologi. Dia merupakan seorang penjajak dalam ilmu mikrobiologi, pada tahun 1670-an. Dia berhasil menemukan protista dan bakteri.[67] Ia adalah orang yang pertama kali melihat dunia ‘makhluk hidup’ yang tak terbayangkan dan yang pertama kali berpikir untuk bisa melihat hal tersebut menggunakan mikroskop berlensa tunggal sederhana. Van Leeuwenhoek dikatakan sebagai orang pertama yang melihat dan menggambarkan bakteri, tanaman khamir/ragi, kehidupan yang mengambang di dalam setetes air, serta sirkulasi sel darah di dalam pembuluh kapiler. Kata "bakteri" pada waktu itu belum ada dan ia menamakan organisme mikroskopik itu sebagai animalcule, yang berarti "binatang kecil". Ia mengisolasi berbagai animalcule itu dari berbagai sumber, seperti air hujan, air sumur dan kolam, serta mulut dan usus manusia. van Leeuwenhoek sempat mendapatkan keraguan dan cemoohan dari ilmuwan lain karena latar belakangnya yang tidak bersekolah serta metodenya yang tergolong baru dan sulit dipercaya. Ia tetap melaporkan penemuannya dalam lebih dari 100 surat kepada Royal Society of England dan Akademi Prancis. Laporan pertama Leewuwenhoek kepada Royal Society pada tahun 1673 menggambarkan bagian mulut lebah, kutu, dan jamur. Ia mempelajari struktur sel tumbuhan dan kristal, serta struktur sel manusia seperti darah, otot, kulit, gigi, dan rambut. Ia bahkan mengikis plak dari sela-sela giginya untuk mengamati bakteri di sana, yang ditemukan Leewenhoek, mati setelah meminum kopi. Sejak berhasil diverifikasi oleh para filsuf alam dari Royal Society, sains masuk ke dalam aturan dasar baru yang masih menggambarkan biologi masa kini. Penemuan van Leeuwenhoek ditransmisikan secara langsung selama berabad-abad kepada para ahli biologi saat ini. Ahli mikrobiologi dan filogenetik terus berdebat tentang sifat hewan kecil van Leeuwenhoek.[68] Ada pula kemungkinan bahwa seorang pendeta dan cendekiawan Yesuit dari Jerman, Athanasius Kircher, sudah melihat mikroorganisme sebelum van Leeuwenhoek. Salah satu buku yang ia tulis tahun 1646 dalam bahasa Latin mengandung satu bab yang kalau diterjemahkan menjadi: "Mengenai struktur benda-benda dalam alam, diinvestigasi melalui Mikroskop". Di bab tersebut ia menulis: "siapa yang akan percaya bahwa cuka dan susu ternyata berisi banyak sekali cacing." Kircher mendefinisikan organisme tidak tampak yang ia temukan dari tubuh membusuk, daging, susu, dan sekresi itu sebagai "cacing". Berdasarkan penelitian yang ia lakukan dengan mikroskop ini, ia kemudian menyimpulkan bahwa penyakit dan pembusukan disebabkan oleh tubuh makhluk hidup yang tidak kasatmata. Terdapat kemungkinan bahwa ia adalah orang pertama yang membuat kesimpulan ini. Pada tahun 1646, Kircher menulis bahwa "sejumlah hal mungkin dapat ditemukan di dalam darah pasien demam". Saat Roma terkena wabah pes bubo pada tahun 1656, Kircher menghabiskan beberapa hari berturut-turut untuk merawat orang sakit. Ia menginvestigasi darah para korban wabah di bawah mikroskop, demi mencari obat. Ia mencatat keberadaan "cacing kecil" atau "animalcule" di dalam darah dan menyimpulkan bahwa penyakit itu disebabkan oleh mikroorganisme. Ia adalah orang pertama yang menghubungkan antara penyakit dengan patogen mikroskopik; secara efektif, ia menciptakan teori kuman penyakit, yang digambarkannya di dalam Scruitinium pestis physico-medicum (dipublikasikan di Roma tahun 1658).[69] Kesimpulan Kircher bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme memang benar, akan tetapi besar kemungkinan bahwa makhluk kecil yang ia pandang di bawah mikroskop adalah sel darah merah atau putih dan bukan sel penyakit itu sendiri. Kircher juga kemudian menggambarkan beberapa peraturan kebersihan untuk menghindari penyebaran wabah, seperti isolasi, karantina, pembakaran penyakit yang digunakan oleh orang sakit, serta penggunaan masker untuk menghindari kuman yang masuk melalui hidung. Kircher adalah orang pertama yang mengatakan bahwa makhluk hidup dapat masuk dan hadir di dalam darah. Pada tahun 1700, seorang tabib bernama Nicolas Andry merilis Buku pertamanya, De la génération des vers dans les corps de l'homme, yang diterbitkan pada tahun 1700 dan diterjemahkan ke bahasa Inggris pada tahun 1701 dalam judul An Account of the Breeding of Worms in Human Bodies.[70] Buku tersebut merupakan catatan eksperimen Andry menggunakan mikroskop, yang dibangun berdasarkan karya Antony van Leeuwenhoek sebelumnya, yang sering dikutip oleh Andry. Tidak seperti van Leeuwenhoek, tujuan Andry memang secara khusus adalah dunia medis. Eksperimennya dengan mikroskop membuatnya percaya bahwa mikroorganisme yang dia sebut sebagai “cacing” bertanggung jawab atas penyakit cacar dan penyakit lainnya.[71] Selain untuk tujuan medis, buku ini sepertinya ditujukan juga untuk umum. Seperti yang diamati oleh sejarawan medis Clara Pinto Correia, salah satu tujuan utama Andry adalah untuk memberi pembelajaran kepada masyarakat tentang ilmu baru yang muncul dari dunia yang hanya bisa diamati oleh mikroskop. Dia menulis “kita harus mengakui bahwa ada binatang yang seribu kali lebih kecil daripada sebutir debu, yang hampir tidak dapat kita lihat dan kita. Imajinasi kita tenggelam dalam pemikiran ini, takjub pada hal kecil yang aneh; tetapi untuk tujuan apa harus menyangkalnya? Akal meyakinkan kita tentang keberadaan sesuatu yang tidak dapat kita bayangkan.”[72] Selama tahun 1714 hingga 1721, Richard Bradley, yang merupakan Profesor Botani pertama di Universitas Cambridge, mengajukan teori yang unik tentang penyebab penyakit menular pada tumbuhan dan hewan serta wabah manusia. Teorinya berasal dari studi eksperimental tanaman dan penyakit dari pengamatan mikroskopis animalcule di lingkungan alami dan buatan yang berbeda. Dia mengemukakan bahwa terdapat "serangga" yang hidup dan berkembang biak pada kondisi yang sesuai dan bahwa penyakit menular pada tanaman disebabkan oleh "serangga" tersebut, yang hanya tampak ketika dilihat dengan mikroskop.[73] Karena ada kesamaan struktural dan fungsional antara tumbuhan dan hewan, Bradley menyimpulkan bahwa organisme mikroskopis juga menyebabkan penyakit menular pada manusia dan hewan. Namun, kala itu teori penyakit menular tidak diterima oleh masyarakat ilmiah kontemporer. Sementara itu, pada tahun 1762, seorang dokter Austria, Marcus Antonius von Plenciz, menerbitkan buku berjudul Opera medico-physica. Buku ini menggambarkan teori penyebaran penyakit. Di dalamnya dikatakan bahwa animalcule yang terdapat di tanah dan udara merupakan penyebab penyakit tertentu. Von Plenciz membuat pembedaan antara penyakit yang dapat menular dan mewabah, seperti campak dan disenteri, dengan penyakit yang menular tetapi tidak mewabah, seperti rabies dan kusta.[74] Pada saat itu, pendapat medis yang diterima adalah bahwa penyakit itu disebarkan oleh apa yang dikenal sebagai miasma, uap atau kabut beracun, berbau busuk dan terdiri dari partikel-partikel dari bahan-bahan yang membusuk.[75] Dia juga mampu membuktikan bahwa bakteri adalah penyebab sepsis fatal yang telah diidentifikasi oleh Ignaz Semmelweis. Pembuktian ini membuka jalan bagi pengembangan vaksin dan membuka jalan bagi penemuan Fleming yang mengarah pada pengembangan antibiotik.[76] Meskipun demikian, teori yang dikemukakan oleh von Plenciz tidak diterima oleh komunitas medis. Abad ke-19 dan 20Agostino BassiAgostino Bassi lahir pada tanggal 25 September 1773 di Mairago, Provinsi Lodi, Italia. Ia adalah seorang ahli entomologi dan menjadi orang pertama yang menuangkan ide etiologi tentang genesis mikrobiologi penyakit dalam sebuah penelitian.[77] Pada tahun 1807, ia mulai melakukan penelitian terhadap penyakit di ulat sutra, mal de segno, yang mulai tahun 1800-an merusak peternakan ulat sutra dan menyebabkan kerugian ekonomi yang serius di Italia dan Prancis. Ulat sutra (Bombyx mori) yang sakit tidak menunjukkan tanda-tanda sakit sampai mereka hampir mati. Pada titik ini mereka berhenti makan dan gerakan tubuh melambat. Setelah mati, tubuh mereka yang lembut akan menjadi keras, kering, rapuh seperti kaca dan dilapisi bubuk putih. Terkadang, tanda-tanda kematian ini akan muncul pada ulat sutra yang sudah dekat dengan kematiannya. Oleh karena itu, penyakit ini disebut dengan sign disease (penyakit tanda). Selain itu, karena adanya bubuk putih yang menyelimuti ulat sutra yang mati, disebut juga calcinaccio (calce berarti kapur).[77] Ia kemudian melakukan beberapa eksperimen untuk mereproduksi penyakit calcinaccio berdasarkan asumsi dari pembudidaya bahwa penyakit ini muncul secara spontan melalui faktor lingkungan, seperti: makanan, suasana, dan metode pembudidayaan.[78] Setelah memberikan berbagai zat beracun, mineral, zat korosif dan kaustik, tidak ada satupun yang membuahkan hasil. Pada akhirnya, ia berhasil mereproduksi penyakit yang mirip dengan calcinaccio dengan memasukkan ulat sutra ke dalam kantong kertas dari cerobong asap. Namun, Agostino menyadari bahwa ulat sutra ini tidak mengidap penyakit yang dimaksud. Agostino kemudian mulai mengeksplorasi hipotesis baru sebagai alternatif hipotesis bahwa penyakit ini terjadi secara spontan melalui lingkungan. Hingga akhirnya, sebelum tahun 1826, para naturalis menyimpulkan bahwa penyebab penyakit adalah organisme hidup, vegetatif, dan merupakan tanaman dari keluarga kriptogam, jamur parasit.[77] Melalui pengamatan mikroskopis, Agostino menetapkan bahwa penularan penyakit dapat terjadi dari inokulasi langsung dari bubuk putih (yang melapisi ulat sutra yang terinfeksi calcinaccio) melalui makanan, udara, tangan dan pakaian pembudidaya, dan juga lalat yang telah terkontaminasi bubuk putih. Setelah mengobservasi bubuk putih yang didapatkan dari tubuh ulat sutra yang mati, didapatkan bahwa bubuk putih ini dapat menginfeksi ulat yang sehat melalui inokulasi langsung dengan daya infektivitas paling lama tiga tahun. Karakteristik yang dimiliki oleh infeksi selalu sama, bukan hanya setelah dieksperimenkan pada ulat spesies lainnya, bahkan menggunakan serangga yang masih hidup. Agostino juga menemukan bahwa kelembaban dan suhu dapat mendukung perkembangan mikroorganisme dan kapasitas infeksinya. Agostino merumuskan sebuah siklus penting, yaitu penyakit calcinaccio ini ditularkan dari satu pembibitan ulat sutra ke pembibitan ulat sutra lainnya. Begitu pula dari satu tempat budidaya ulat sutra ke yang lainnya hingga menyebar ke seluruh negeri. Metode ini sama dengan penyakit menular dalam tubuh manusia yang dapat menyebar secara bertahap. Dinamika penularan calcinaccio atau sign disease (penyakit tanda) ini dapat mencerminkan penularan penyakit secara umum, sehingga kesimpulan dari penelitian ini memperoleh validasi umum.[77] Pada tahun 1835, Agostino Bassi menuliskan penemuannya dalam buku Del mal del segno, calcinaccio o moscardino (“The Disease of the Sign, Calcinaccio or Muscardine”). Penemuan Agostino merupakan terobosan dalam sejarah ilmu alam dan kedokteran. Ini adalah pembuktian pertama bahwa penyakit disebabkan oleh mikroorganisme dan memiliki rantai penularan. Hal ini menjadi pelopor teori kuman penyakit oleh Robert Koch dan Louis Pasteur.[79] Ignaz SemmelweisIgnaz Semmelweis lahir pada tanggal 1 Juli 1818 di Taban, Hungaria. Ignaz Semmelweis dikenal sebagai “Bapak Pengendalian Infeksi”.[80] Ia adalah seorang dokter kandungan dari Hungaria yang bekerja di Rumah Sakit Umum Wina (Allgemeines Krankenhaus) pada tahun 1847. Rumah Sakit Umum Wina memiliki dua klinik kebidanan. Di klinik pertama terdapat ahli bedah, dokter, dan mahasiswa kedokteran dan Ignaz bekerja di klinik pertama sebagai ahli bedah, dokter, dan instruktur mahasiswa. Sedangkan, di klinik dua yang bekerja adalah para bidan. Selama bekerja di rumah sakit itu, Ignaz mengamati bahwa di klinik kedua terdapat 10 kali lebih sedikit kematian akibat demam puerperal dibandingkan dengan klinik pertama.[81] Karena reputasi mengenai klinik pertama yang kurang baik, para pasien memohon dan meminta untuk dimasukkan ke klinik kedua. Ignaz lalu mencatat bahwa terdapat angka kematian ibu yang sangat besar akibat demam puerperal, terutama di klinik pertama. Demam puerperal adalah infeksi bakteri yang menyerang saluran reproduksi perempuan setelah terjadinya kelahiran atau keguguran.[82] Demam ini biasanya terjadi setelah 24 jam dan dalam rentang waktu sepuluh hari setelah kelahiran.[83] Angka kematian ibu sangat besar akibat demam puerperal saat proses kelahiran dibantu oleh dokter dan mahasiswa. Sedangkan, saat dibantu oleh bidan, proses kelahiran tampaknya relatif aman. Setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, Ignaz menyadari bahwa terdapat hubungan antar demam puerperal dan kelahiran yang dibantu dokter. Ia kemudian menyadari bahwa dokter ini biasanya baru saja selesai melakukan otopsi. Setelah diamati, Ignaz mengambil kesimpulan bahwa sehabis melakukan otopsi, dokter-dokter langsung melakukan pertolongan persalinan kepada pasien dan jarang mencuci tangan, sehingga kuman menular ke pasien yang ditolongnya pada saat persalinan.[84] Dengan menyatakan bahwa demam puerperal adalah penyakit menular dan zat dari otopsi dapat bercampur dengan tubuh ibu. Lalu, Ignaz meminta para dokter mencuci tangan dengan air limun yang diklorinasi sebelum membantu ibu hamil. Ia kemudian mencatat bahwa terdapat penurunan drastis dan tiba-tiba pada angka kematian ibu, dari 18% menjadi 2,2% dalam jangka waktu satu tahun. Meskipun memiliki bukti ini, ia dan teorinya ditolak oleh ilmu kedokteran pada waktu itu. Atasannya, Professor Klein, menolak hipotesisnya. Klein berpendapat bahwa penurunan angka kematian disebabkan sistem ventilasi baru di rumah sakit.[80] Hipotesis Ignaz ini akhirnya diabaikan dan ditolak. Faktor-faktor lain yang menyebabkan hipotesisnya ditolak adalah beberapa dokter merasa tersinggung dengan saran bahwa mereka harus cuci tangan, mereka merasa memiliki status sosial yang tinggi, dan seakan-akan dengan perintah untuk mencuci tangan ini, tangan mereka dianggap bisa tidak bersih.[85] Ignaz lalu dipecat dari rumah sakit dan dipaksa untuk pindah ke Budapest. Konflik ini juga menyebabkan Ignaz menjadi kecewa dan tertekan. Joseph ListerJoseph Lister adalah seorang dokter dari Britania Raya yang mengembangkan aplikasi teori kuman penyakit dalam lingkungan medis. Ia mengembangkan penggunaan asam karbol sebagai antiseptik. Praktik bedah pada masa Joseph Lister terbilang primitif berdasarkan standar modern dan memiliki tingkat kematian pasien pascaoperasi yang terbilang tinggi. Hampir 80% dari seluruh operasi diikuti oleh gangren.[86] Pada tahun 1860 di rumah sakit St Bartholomew di London, Inggris, hampir 40% dari seluruh pasien yang menjalani amputasi meninggal dunia. Sementara itu di Paris, pasien meninggal dunia setelah amputasi mencapai 52%.[87] Meskipun dugaan bahwa kuman dapat menyebabkan penyakit sudah ada pada saat itu, tidak ada yang mengasosiasikan kuman dengan infeksi pada luka. Kebanyakan orang saat itu tidak menerima peran infeksi sebagai penyebab kematian pasca operasi dan menganggap kematian sebagai sesuatu yang tak terelakkan.[86] Instrumen bedah saat itu hanya dibersihkan seadanya sebelum disimpan sementara alas tempat tidur dan jas operasi tidak dicuci. Pasien jarang dibersihkan dari kotoran dan ahli bedah jarang mencuci tangannya sebelum menjalankan operasi. Instrumen medis yang sama digunakan bergantian untuk memeriksa luka seluruh pasien tanpa dibersihkan terlebih dahulu. Nanah pada luka pada saat itu dianggap sebagai proses penyembuhan normal.[88] Sebagian besar ahli bedah pada masa Lister percaya bahwa infeksi disebabkan oleh miasma.[89] Bau pembusukkan di rumah sakit diasosiasikan dengan risiko penyakit. Sebagian yang lain percaya penyakit terbentuk secara spontan pada materi organik yang membusuk dan menyebar melalui udara. Karena hal ini, menjaga luka tetap bersih bukanlah sesuatu yang diperhatikan oleh ahli bedah saat itu.[86][88] Joseph Lister adalah orang pertama yang menerapkan teori kuman penyakit ke dalam prosedur operasi medis. Ketertarikan Lister pada penyembuhan luka berawal ketika ia bekerja pada Sir Erichsen. Erichsen, seperti ahli bedah lainnya, percaya bahwa luka terinfeksi oleh miasma yang muncul dari luka itu sendiri dan terkonsentrasi di udara. Erichsen mendeduksi 7 orang pada bangsal dengan luka yang terinfeksi menyebabkan tersebarnya udara buruk penyebab gangren. Namun, Lister tidak percaya dan menduga bahwa sesuatu di dalam luka itu sendiri yang menyebabkan gangren. Dugaan ini muncul karena ketika luka dibersihkan, luka tersebut membaik.[90] Lister mengembangkan bedah antiseptik dengan menggunakan larutan asam karbol. Asam karbol berpotensi mengeliminasi kuman yang terdapat pada luka dengan mencuci, membersihkan, dan menyemprot luka. Peralatan, tangan ahli bedah, dan seluruh lingkungan bedah juga dibersihkan dengan asam karbol.[91] Lister pertama kali merancang pengobatan untuk membasmi kuman melalui pembalut yang direndam dalam asam karbol dan menerapkannya pada James Greenlees pada tahun 1865.[87] James Greenlees, yang pada saat itu berusia 11 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan tulang menonjol dari luka pada kaki kiri bawahnya akibat tertabrak gerobak. Lister kemudian memerintahkan stafnya untuk membalut luka dengan pembalut yang dicelupkan ke dalam asam karbol. Luka tersebut kemudian ditutupi kertas timah untuk mencegah penguapan asam karbol. Empat hari kemudian, Lister memeriksa luka tersebut kembali. Bukannya terbentuk gangren, luka tersebut justru bersih.[92] Mengetahui pembalut dengan asam karbol dapat mencegah infeksi pada Greenlees, Lister melakukan percobaan pada pasien lainya. Sembilan dari 12 percobaan yang Lister lakukan tidak menunjukkan adanya infeksi pada luka.[87] Jika dibandingkan dari hasil-hasil sebelumnya, hasil yang diperoleh Lister dianggap luar biasa. Hasil ini kemudian dideskripsikan Lister di dalam The Lancet.[93] Pada 20 April 1867, Lister melakukan operasi pengangkatan tumor dari lengan. Lister menggunakan larutan asam karbol sebagai losion pada luka mentah dan mengoleskan pasta karbol antiseptik pada luka yang dijahit. Hasil yang diperoleh Lister terbilang bagus. Empat bulan berikutnya Lister berhasil menggunakan metode antiseptik untuk beberapa amputasi dengan hasil yang baik.[93] Penerapan metode Lister dalam dunia bedah sangat berpengaruh pada perkembangan dunia bedah modern. Sebelum masa Lister, ungkapan yang umum dalam dunia bedah adalah “operasi berhasil akan tetapi pasien meninggal”. Perkembangan dari sistem antiseptik yang dikembangkan oleh Joseph Lister secara signifikan merubah risiko kematian dari pascaoperasi yang sebelumnya mencapai 40% menjadi kurang dari 3% pada tahun 1910. Keberhasilan Lister ini dipublikasikan secara luas, sehingga praktisi lainnya dapat melihat bagaimana Lister menggunakan keahliannya dalam membangun metode baru dalam dunia bedah.[94] Gideon MantellGideon Mantell, seorang dokter dari Sussex yang lebih dikenal untuk penemuan fosil dinosaurus, juga meneliti binatang di bawah mikroskop. Dalam bukunya, Thoughts on Animalcules (1850), ia berspekulasi bahwa "banyak dari penyakit paling serius yang memengaruhi kemanusiaan terjadi akibat sifat-sifat makhluk hidup animalcule tak kasatmata yang aneh."[95] Pada buku karangan Mantell edisi pertama: "Thoughts on animalcules: or, A glimpse of the invisible world revealed by the microscope" (1846), ia menyajikan ilustrasi binatang yang berukuran sangat kecil (animalcule). Ilustrasi tersebut dibuat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan Mantell bersama dengan putrinya menggunakan mikroskop. Jumlah keseluruhan ilustrasi yang dimuat dalam buku tersebut adalah dua belas buah ilustrasi.[96] Selain itu, keduabelas ilustrasi tersebut dilengkapi oleh Mantell dengan penjelasan tentang karakteristik umum masing-masing animalcule pada bagian awal bukunya. Penjelasan tentang struktur dan karakteristik umum tersebut didasarkan dari pada hasil penelitian ahli terdahulu, yakni Trembley (pada bagian Hydra), Ehrenberg:(pada bagian Infusoria), dan beberapa ahli lain di bagian lainnya. Mantell membagi bukunya ke dalam enam belas bagian, yang mana jenis animalcule dimuat dalam sembilan dari keseluruhan bagian. Sedangkan sisanya membahas tentang pengantar tentang dunia tak kasatmata, penyingkapan oleh mikroskop, pembelahan diri pada animalcule, peran sel dalam kehidupan, makhluk bersel tunggal, refleksi, dan kesimpulan umum. Berikut merupakan berbagai objek yang diilustrasikan oleh Mantell di dalam bukunya:
Sebagai penutup bukunya, Mantell menyampaikan pandangannya bahwa penemuan organisme mikroskopis tidak akan menjadi sesuatu yang hebat, tanpa adanya rasa kagum yang mendalam, kerendahan hati, dan ketergantungan terhadap karya-Nya, termasuk karya-Nya yang terkecil sekalipun, dalam hal ini binatang mikroskopis (animalcule). John SnowJohn Snow lahir di York, Inggris pada tanggal 15 Maret 1813. Setelah menyelesaikan studinya di Hunterian School of Medicine di Soho, London, Snow kemudian mengabdi menjadi dokter di distrik tersebut pada pertengahan abad ke-19. Selama karirnya di dunia medis, Snow memiliki minat khusus pada kolera dan anastesi. Snow pertama kali menjumpai kasus kolera pada tahun 1831-1832, tepatnya pada saat terjadinya wabah kolera di Newcastle, Britania Raya.[97] John Snow juga merupakan seorang ilmuwan yang skeptis terhadap teori miasma yang populer pada masa hidupnya. Meskipun pada waktu itu teori kuman penyakit yang dipelopori oleh Girolamo Fracastoro belum sepenuhnya berkembang dan belum tersebar luas, Snow sudah menunjukkan pemahaman jelas terhadap teori tersebut. Hal ini ditunjukkan dalam tulisan-tulisannya. Ia pertama kali menerbitkan teorinya dalam sebuah esai tahun 1849 berjudul Mengenai Mode Penyebaran Kolera. Para dokter dan ilmuwan mengira dia berada di jalur yang salah dan terjebak dengan kepercayaan populer pada saat itu, bahwa kolera disebabkan oleh menghirup udara kotor atau "miasma di atmosfer". Pada esai tersebut, ia juga menyatakan bahwa rute penyebaran kolera adalah melalui transmisi fekal-oral dan bahwa penyakit itu berkembang di usus besar. Kolera adalah penyakit usus yang dapat menyebabkan kematian dalam beberapa jam setelah gejala pertama, yaitu muntah atau diare. Ia bahkan menyatakan bahwa struktur kolera mirip seperti sel pada bukunya edisi tahun 1855.[98] Ketika wabah kolera mulai menyebar ke area yang lebih luas di London, Snow memulai penyelidikannya tentang penyebaran penyakit ini. Snow berkonsultasi dengan beberapa pihak, mulai dari ahli kimia yang meneliti limbah kotoran penderita kolera, mencari informasi ke otoritas sumber air dan saluran sanitasi di Horsleydown, London (yang merupakan area penyebaran kolera), hingga mempelajari seluruh laporan tentang wabah besar yang terjadi pada tahun 1832.[99] Pada pertengahan tahun 1849, Snow menyatakan teorinya kepada publik melalui esai yang ia tulis, bahwa kolera disebabkan oleh suatu agen yang belum teridentifikasi dan ditelan oleh penderita. Penyebaran agen ini dapat melalui kontak langsung dengan limbah dari penderita kolera lain, atau melalui air minum yang terkontaminasi limbah tersebut.[100] Pada tahun 1854, Snow tinggal di Jalan Sackville, Piccadilly. Jarak dari tempat tinggalnya 10 menit dengan berjalan kaki dari Jalan Broad, Lapangan Square. Beberapa kasus kolera terjadi hingga akhir Agustus, namun wabah utama baru dimulai pada malam hari tanggal 31 Agustus. Snow mendefinisikan sebagai wabah yang paling mengerikan yang pernah terjadi di Inggris. Wabah ini diklaim merenggut nyawa lebih dari 500 orang hanya dalam 10 hari.[101] Untuk membuktikan hipotesisnya bahwa sumber wabah adalah air yang terkontaminasi, Snow melakukan investigasi dengan mengunjungi rumah-rumah di London yang menerima air dari dua sistem suplai:[99]
Snow kemudian menggunakan peta distribusi titik untuk menggambarkan klaster kasus kolera di sekitar pompa. Ia juga menggunakan statistika untuk menggambarkan hubungan antara kualitas sumber air dengan kasus kolera. Ia menunjukkan bahwa Perusahaan Air Southwark and Vauxhall mengambil air dari bagian Sungai Thames yang kotor dan disalurkan ke rumah-rumah; hal ini meningkatkan jumlah penderita kolera di daerah tersebut. Penelitian Snow ini menjadi awal perubahan besar dalam sejarah kesehatan masyarakat dan geografi. Secara luas, penelitian ini dianggap sebagai salah satu tonggak awal berdirinya ilmu epidemiologi. Berdasarkan temuan di atas pula, pada tahun 1849, John Snow menyarankan bahwa air harus disaring dan direbus terlebih dahulu sebelum digunakan. Saran ini adalah penerapan praktis pertama dari teori kuman penyakit dalam bidang kesehatan masyarakat dan merupakan awal dari perkembangan saran merebus air di masa kini. Pada tahun 1855, ia menerbitkan edisi kedua dari artikelnya. Dalam artikel tersebut ia menggambarkan penelitian lebih lanjut mengenai dampak suplai air pada masa wabah tahun 1854 di Soho, London. Lebih rinci, artikel tersebut berisi penjelasan tentang hasil investigasi Snow pada suplai air di distrik London selatan. Di distrik tersebut, Snow menemukan bahwa orang-orang yang rumahnya disuplai air oleh Perusahaan Lambeth punya kemungkinan 8,5 kali lebih kecil untuk meninggal akibat kolera selama tujuh minggu pertama wabah, serta lima kali lebih kecil kemungkinannya untuk meninggal di tujuh minggu selanjutnya jika dibandingkan dengan orang-orang yang rumahnya disuplai air oleh Perusahaan Southwark dan Vauxhall. Hal ini karena perusahaan Lambeth telah memindahkan sumber airnya ke hulu Sungai Thames (area yang airnya tidak terkontaminasi), sesuai dengan Undang-Undang Air Metropolis Tahun 1852.[102] Pada buku ini pula, Snow menjelaskan dengan rinci hasil dari investigasinya pada wabah kolera yang terjadi di subdistrik Soho, yaitu di Lapangan Golden yang merupakan lokasi dari Jalan Broad. Snow bahkan mencantumkan peta yang menunjukkan titik-titik lokasi kematian akibat kolera di dalam bukunya itu.[97] Pada penelitiannya tersebut, Snow menemukan bahwa sumber wabah kolera adalah sebuah pompa umum yang digunakan di Jalan Broad (kini Jalan Broadwick). Meskipun penelitian melalui zat kimia dan mikroskop yang ia lakukan pada sampel air dari pompa itu tidak mampu menyimpulkan adanya bahaya, penelitiannya mengenai pola penyakit cukup untuk meyakinkan otoritas setempat agar menutup pompa itu dengan melepas pegangannya. Aksi ini kini dianggap sebagai tindakan yang mengakhiri wabah, tetapi Snow mengamati bahwa wabah itu sendiri mungkin sudah sangat berkurang. Pernyataan Snow bahwa kolera dapat masuk ke tubuh manusia lewat transmisi fekal-oral didukung oleh temuan seorang pendeta bernama Henry Whitehead. Melalui survei yang ia lakukan terhadap warga di Distrik Soho, Whitehead bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan bayi dan suaminya pada hari-hari awal terjadinya wabah di akhir Agustus. Bayi wanita ini menderita diare yang merupakan salah satu gejala dari kolera. Sehari sebelum bayinya meninggal pada Agustus 31, wanita ini mencuci popok bayinya dan membuang air bekas cucian popok tersebut di sebuah tangki septik. Tangki septik ini terletak hanya beberapa kaki dari pompa air di Jalan Broad. Temuan Whitehead ini kemudian menyediakan penjelasan yang mendukung bagaimana air di pompa tersebut terkontaminasi dan menyebabkan wabah kolera terjadi.[103] Setelah wabah kolera mereda, pemerintah mengganti pegangan pompa di Jalan Broad itu. Mereka hanya mau menanggapi ancaman kesehatan populasi akibat air pompa tersebut, dan setelah itu, mereka menolak teori yang dibawakan John Snow. Menurut mereka, menerima teori Snow sama saja dengan menerima kebenaran metode transmisi penyakit melalui fekal-oral yang mereka tolak.[103] Meskipun begitu, Snow telah berjasa karena ia berhasil menunjukkan bagaimana penyakit dapat ditularkan dari satu orang ke orang lainnya. Melalui investigasinya tersebut, Snow menemukan bahwa kolera tidak ditularkan melalui miasma atau udara yang kotor, melainkan dari air minum yang terkontaminasi dan melalui kontak manusia. Selain itu, Snow juga menunjukkan bukti yang jelas dari hipotesisnya. Bukti dan argumennya yang kuat telah mengubah opini saintifiknya menjadi sebuah fakta. Peta geografis yang Snow gunakan sebagai perangkat analisis spasial juga menunjukkan bahwa pompa di Jalan Broad tersebut merupakan sumber wabah lokal di distrik tersebut.[97] Louis PasteurPenelitian yang lebih formal mengenai hubungan antara kuman dan penyakit dilaksanakan oleh Louis Pasteur di antara tahun 1860 dan 1864. Ia menemukan patologi demam puerperal dan vibrio piogenik di dalam darah.[104] Ia kemudian menyarankan penggunaan asam borik untuk membunuh mikroorganisme ini sebelum dan setelah isolasi. Pada tahun 1854, Louis Pasteur diminta untuk membantu memecahkan masalah yang berhubungan dengan produksi alkohol, dan dengan demikian ia memulai serangkaian penelitian mengenai fermentasi. Saat itu, Pasteur menyelidiki berbagai aspek pada proses fermentasi, termasuk produksi senyawa asam laktat pada proses pengasaman susu. Pada awalnya, terdapat gagasan oleh dua ahli kimia terkemuka bernama Justus von Liebig dari Jerman dan Jacob Berzelius dari Swedia yang mengemukakan bahwa fermentasi alkohol sebagian besar merupakan aktivitas kimiawi, bukan biologis. Liebig percaya bahwa fermentasi adalah proses dekomposisi dari kapang yang terpapar air dan udara.[105] Pernyataan ini diperkuat oleh pengamatan Liebig bahwa materi terurai lainnya, misalnya bagian tumbuhan atau hewan yang buruk, berinteraksi dengan gula dengan cara yang sama seperti ragi.[105][106] Pasteur beranggapan bahwa fermentasi hanya akan terjadi apabila terdapat mikroorganisme hidup. Pada tahun 1857, ia mengamati keberadaan mikroba di bawah mikroskop yang terlibat dalam proses fermentasi alkohol. Pasteur menyatakan terdapat objek kecil dan pendek yang berbentuk seperti butiran. Butiran ini jauh lebih kecil dibanding ragi bir yang digunakan pada proses fermentasi alkohol. Kemudian ia mengumpulkan pengamatan yang konsisten dengan hipotesisnya bahwa fermentasi terjadi saat terdapat keberadaan organisme hidup.[107] Pasteur berkesimpulan bahwa seluruh proses fermentasi disebabkan oleh fermentasi mikroorganisme hidup tertentu (bakteri atau kapang). Permasalahan yang terdapat pada minuman beralkohol seperti anggur dan bir yang terkontaminasi disebabkan oleh bakteri kontaminan.[108][109] Ia menemukan adanya kehidupan mikroorganisme yang hidup tanpa oksigen (kondisi anaerob) dan mengusulkan pencegahan kontaminasi dengan cara pemanasan berulang atau proses pasteurisasi.[108] Temuan ini yang membawanya untuk mempelajari hipotesis generasi spontan. Lebih lanjut, Pasteur menunjukkan di antara tahun 1860 dan 1864 bahwa fermentasi dan pertumbuhan mikroorganisme di media tanam tidak terjadi melalui generasi spontan. Ia membuka sebotol kaldu steril di dalam sebuah penampung yang dilengkapi filter yang dapat menghentikan partikel agar tidak masuk dan mencapai kaldu itu. Ia juga melakukan eksperimen lain yang tidak menggunakan filter, melainkan menggunakan tuba yang panjang dan berputar-putar yang dapat menghentikan partikel debu. Berdasarkan eksperimen ini, ia menemukan bahwa tidak ada organisme yang tumbuh di dalam kaldu. Dengan demikian, ia menyimpulkan bahwa organisme yang hidup di dalam kaldu datang dari luar, sebagaimana spora yang bertahan di debu dan tidak muncul dengan tiba-tiba oleh kaldu itu sendiri. Pada tahun 1863, tepatnya sesaat setelah Pasteur diangkat menjadi profesor geologi, fisika, dan kimia di École des Beaux-Arts (Sekolah Seni Rupa), ia mengalihkan perhatiannya ke krisis ulat sutra di Prancis. Pada pertengahan abad ke-19, sebuah penyakit menular yang bernama ‘pebrin’ dan ‘flacherie’ menyerang pembiakan ulat sutra.[110][111] Akibatnya, telur-telur ulat sutra tersebut tidak bisa diproduksi dan diimpor ke negara lain. Penyakit ini telah menyebar ke seluruh Eropa, wilayah Kaukasus di Eurasia, Cina, dan Jepang. Penyakit ‘pebrin’ disebabkan oleh organisme mikroskopis (yang kemudian diketahui merupakan protozoa parasit) bernama Nosema bombycis. Sedangkan penyakit serupa yang bernama ‘flacherie’ diyakini oleh Pasteur karena sumber nutrisi, dengan proliferasi bakteri usus.[108] Peristiwa ini menyebabkan industri ulat sutra yang hampir hancur di Prancis dan sebagian kecil di Eropa barat pada tahun 1865. Atas permintaan mentor terdahulunya, Dumas, Pasteur yang hampir tidak mengetahui apapun mengenai ulat sutra menerima tawaran dan berkesempatan untuk mempelajari lebih lanjut terkait penyakit menular itu. Setelah lima tahun penelitian, ia berhasil menyelamatkan industri sutra melalui metode yang memungkinkan pelestarian telur ulat sutra yang sehat dan mencegah kontaminasi oleh organisme penyebab penyakit.[112] Metode ini disebut sebagai ‘graining’ dengan pemeriksaan mikroskop yang memungkinkan penyeleksian telur ulat sutra yang sehat juga di saat yang bersamaan menghilangkan telur dari betina yang terinfeksi.[108] Dalam beberapa tahun, metode ini diakui di seluruh Eropa dan masih digunakan hingga sekarang di negara-negara penghasil sutra. Penelitian ini kemudian yang dibawakan Pasteur sebagai teori kuman untuk menjelaskan banyak penyakit menular lainnya. Robert KochRobert Koch dikenal sebagai pemrakarsa empat kriteria dasar (yang dikenal sebagai Postulat Koch) untuk menentukan bahwa suatu penyakit disebabkan oleh organisme tertentu. Postulat-postulat ini muncul dari karya seminalnya mengenai antraks menggunakan kultur murni patogen tersebut yang diisolasi dari binatang. Postulat Koch dikembangkan pada abad ke-19 dan berlaku sebagai metode dasar pengidentifikasian patogen yang dapat diisolasi dengan teknik yang tersedia pada masanya.[113] Bahkan pada zaman Koch, orang sudah umum mengetahui bahwa beberapa agen infeksius memang menjadi penyebab penyakit, meskipun agen tersebut tidak memenuhi seluruh kriteria yang disebutkan postulat Koch.[114][115] Di akhir abad ke-19, ada percobaan untuk menggunakan postulat Koch secara kaku untuk mendiagnosa penyakit viral. Pada masa itu, virus belum dapat terlihat atau diisolasi di dalam kultur. Percobaan ini diperkirakan menjadi penyebab mundurnya perkembangan bidang virologi.[116][117] Di zaman sekarang, beberapa agen infeksius tetap dinyatakan sebagai penyebab penyakit meskipun tidak memenuhi seluruh postulat Koch.[118] Meskipun postulat Koch memiliki kepentingan sejarah dan sampai sekarang tetap digunakan untuk pendekatan diagnosis mikrobiologis, kini pemenuhan keempat kriteria dalam postulat tersebut tidak dibutuhkan untuk menggambarkan sebab-akibat. Postulat Koch juga memengaruhi ilmuwan yang hendak meneliti patogenesis mikrobial dari sudut pandang molekuler. Pada tahun 1980-an, berkembang sebuah versi molekuler postulat Koch yang digunakan untuk mengidentifikasi gen mikrobial yang mengenkod faktor virulen.[119] Postulat KochPostulat Koch adalah prosedur untuk memasangkan suatu penyakit dengan tepat satu patogen tertentu. Postulat Koch terdiri dari 4 poin, yaitu:
Dalam perkembangannya, Koch meninggalkan kriteria universalis pertama ketika ia menemukan pembawa penyakit kolera dan demam tifus yang tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik).[114] Pembawa penyakit asimtomatik atau subklinis kini muncul sebagai karakteristik banyak penyakit infeksius, terutama virus, seperti polio, herpes simplex, HIV dan hepatitis C. Sebagai contoh, semua dokter dan ahli virus sepakat bahwa virus polio hanya menyebabkan paralisis di beberapa subyek terinfeksi dan kesuksesan vaksin polio mencegah penyakit menunjukkan bahwa virus polio adalah penyebab penyakit. Postulat ketiga menyebutkan "seharusnya" dan bukan "harus" karena Koch sendiri berhasil membuktikan (dalam kasus tuberkulosis dan kolera) bahwa tidak semua organisme yang terpapar agen infeksius akan terinfeksi. Noninfeksi bisa terjadi karena faktor-faktor seperti kesehatan secara garis besar dan kemampuan sistem imun yang baik; imunitas yang didapat melalui paparan sebelumnya atau vaksinasi; atau imunitas genetis, sebagaimana kekebalan terhadap malaria yang bisa didapat dengan memiliki setidaknya satu alel sel sabit. Postulat kedua juga mungkin tidak digunakan untuk organisme atau entitas tertentu yang saat ini tidak dapat ditumbuhkan di kultur murni, seperti misalnya prion yang menyebabkan penyakit Creutzfeldt-Jakob.[120] Sebelum Postulat KochEdwin Klebs (1834–1913), seorang mahasiswa mikrobiologi di Virchow, menerbitkan sebuah makalah yang membahas tentang prosedur yang nantinya disempurnakan sebagai Postulat Koch. Prosedur tentang hubungan antara kuman dan penyakit Edwin Klebs:
Ketiga prosedurnya sangat mirip dengan yang dibuat oleh Koch dan murid-muridnya, tetapi Klebs tidak dapat memverifikasi prosedurnya tersebut karena dia tidak dapat mengisolasi kultur murni yang merupakan persyaratan utama untuk melakukan postulat Koch dan prosedurnya sendiri. Friedrich Loeffler (1852–1915), salah satu asisten Koch, menerbitkan makalah yang membahas tentang difteri. Dalam makalahnya, Loeffler menyatakan bahwa 3 postulat tersebut harus dilengkapi lagi untuk membuktikan bahwa difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme tertentu. Hal ini diperlukan untuk menunjukkan sifat parasit yang dimiliki oleh suatu penyakit. Pendapat Loeffler ini hampir identik dengan prosedur yang dijelaskan oleh Koch setahun sebelumnya.[121] Koch dan Metode Kultur BakteriSalah satu prosedur yang penting untuk dapat menerapkan Postulat Koch adalah kultur (menumbuhkan) bakteri yang terisolasi. Kultur bakteri adalah proses menumbuhkan bakteri di luar lingkungan alaminya. Kultur bakteri yang hanya terdiri dari satu jenis bakteri biasa disebut kultur terisolasi, atau kultur murni.[122] Biasanya, sampel yang diambil dari organisme yang sakit tidak hanya mengandung patogen penyebab penyakit, tapi juga mikroba-mikroba lainnya. Padahal, untuk dapat membuktikan bahwa suatu patogen menyebabkan tepat satu penyakit, patogen harus dapat dipisahkan dari mikroba lainnya. Oleh karena itu, kultur bakteri yang terisolasi adalah prosedur yang sangat penting. Sayangnya, belum ada metode kultur bakteri yang terisolasi yang berhasil di masa ketika Koch meneliti antraks. Koch kemudian mengembangkan metode kultur bakteri yang terisolasi pertama di dunia.[121] Suatu ketika, Koch melihat ada noda-noda dengan warna berbeda-beda pada kentang rebus sisa yang tidak dimakan. Koch kemudian memeriksa tiap noda tersebut di bawah mikroskop. Ternyata, tiap noda adalah kultur murni dari bakteri tertentu. Noda dengan warna yang berbeda adalah bakteri yang berbeda. Ternyata, terdapat bakteri yang terbawa oleh angin dan menempel di permukaan kentang. Bakteri-bakteri ini kemudian tumbuh menjadi koloni secara terpisah di permukaan kentang. Koch menyadari bahwa permukaan yang halus dan padat sebagai media tumbuh membuat bakteri dapat bertumbuh tanpa bercampur satu dengan yang lainnya. Pada saat itu, media tumbuh yang biasa digunakan adalah kaldu. Karena berbentuk cairan, bakteri yang tumbuh di kaldu tidak bisa membentuk kultur murni karena akan tercampur dengan bakteri lainnya. Koch juga menyadari bahwa kentang memiliki nutrisi yang dibutuhkan bakteri untuk berkembang biak. Karena itu, kentang dapat digunakan untuk kultur bakteri. Koch kemudian bereksperimen untuk membuat media tumbuh dengan zat lain. Karena saran dari salah satu asistennya yang suka membuat selai dan jeli, Koch mencoba membuat media dari agar-agar. Ternyata, media dari agar-agar adalah media yang ideal untuk menumbuhkan mikroba. Agar-agar masih digunakan sampai sekarang sebagai media terbaik untuk kultur bakteri.[123] PenyangkalanMeskipun telah banyak data dan fakta yang digunakan untuk memvalidasi teori kuman penyakit, namun ada orang-orang yang menyangkal teori ini. Kepercayaan yang menolak teori kuman penyakit, dalam bahasa Inggris, disebut sebagai germ theory denialism (denialisme teori kuman penyakit). Kepercayaan ini berawal dari Antoine Béchamp, seorang biokimiawan asal Prancis yang menghasilkan berbagai hasil penelitian pada pertengahan tahun 1800-an. Béchamp mempostulasikan bahwa mikroorganisme bukan merupakan penyebab dari penyakit, namun sebaliknya, jaringan tubuh yang sakitlah yang menyebabkan munculnya mikroorganisme. Sehingga, kesehatan dari suatu organisme, atau disebut terrain, adalah penentu utama sakit atau tidaknya organisme tersebut, bukan keberadaan mikroorganisme. Ide ini disebut sebagai teori pleomorfik penyakit yang saat ini hanya digunakan oleh orang-orang yang menolak vaksinasi dan pengobatan alternatif yang mempercayai bahwa makanan adalah obat.[124] Lihat pula
Referensi
Pranala luar
|