Tebu (Saccharum officinarum Linn) (bahasa Inggris: sugar cane) adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula dan vetsin. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumput-rumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra. Karakteristik dari tanaman tebu diantara lain adalah terdapatnya bulu-bulu beserta duri di sekitar bagian pelepah dan helai daun. Keberadaan bulu-bulu dan duri ini beragam, tergantung dari varietas tebu. Tinggi dari tanaman tebu bervariasi, beberapa faktor yang menyebabkan variasi pada tinggi tanaman tebu adalah daya dukung lingkungan dan varietas; namun secara umum tanaman tebu memiliki tinggi mulai dari 2,5 hingga 4 meter, dengan diameter batang 2 – 4 cm. Tebu merupakan tanaman monokotil dan batangnya dapat menghasilkan anakan dari pangkal batang berupa tunas yang kemudian akan membentuk rumpun[1]
Tanaman tebu dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada daerah dengan iklim subtropika. Tanaman tebu merupakan salah satu tanaman yang pertumbuhannya sangat tergantung pada kondisi iklim, yang berarti bahwa jika iklim tempat tanaman ini buruk, maka kualitas dari tanaman akan terpengaruh dan kemungkinan dapat menurun. Secara umum persyaratan kondisi lingkungan yang dapat menunjang pertumbuhan tebu yang maksimal adalah ketinggian sekitar 0 – 900 mdpl, curah hujan rata-rata 2000mm/tahun, rentang suhu udara 21 – 32o C, dan pH tanah 5 – 6.[1]
Untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air.
Daun tebu yang kering (dalam bahasa Jawa, dadhok) adalah biomassa yang mempunyai nilai kalori cukup tinggi. Ibu-ibu di pedesaan sering memakai dadhok itu sebagai bahan bakar untuk memasak; selain menghemat minyak tanah yang makin mahal, bahan bakar ini juga cepat panas.
Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses produksi dan pembangkit listrik.
Di beberapa daerah air perasan tebu sering dijadikan minuman segar pelepas lelah, air perasan tebu cukup baik bagi kesehatan tubuh karena dapat menambah glukosa. salah satu tempat yang menjual es tebu yatu di seputaran Jember.[2]
Produksi Tebu di Indonesia
Di Indonesia sendiri, tanaman tebu diproduksi utamanya pada pulau Jawa dan Sumatera. Pada tahun 2016, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan tercatat luas areal perkebunan tebu adalah 445.520 hektar dengan nilai produksi 2,222 juta ton.[1] Untuk panen tebu, secara umum luas panen tebu terus meningkat sejak 1980, dengan luas 316.063 ha, kemudian meningkat sebesar 50,69% menjadi 427.123 pada tahun 2013. Peningkatan luas panen tanaman tebu ini disebabkan oleh meningkatnya pula luas panen tebu di Perkebunan Rakyat, yang merupakan mayoritas pengusaha sebagian besar perkebunan tebu di Indonesia. Seiring dengan peningkatan luas panen tebu, produksi tebu dalam bentuk gula hablur juga terus mengalami peningkatan sejak tahun 1980. Namun, teramati terjadinya penurunan produksi pada tahun 1998 dikarenakan Indonesia tengah mengalami krisis ekonomi pada waktu tersebut. Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, produksi tebu dalam bentuk gula hablur pada tahun 1998 hanya mencapai 1,48 juta ton, sementara pada tahun 1997 dapat menembus angka 2,19 juta ton. Kondisi ini terus berlanjut hingga tahun 2004, saat produksi tebu kembali mencapai angka 2 juta ton kembali setelah mengalami keterpurukan pada tahun 1998. Hingga 2016, Ditjen Perkebunan memperkirakan produktivitas tanaman tebu di Indonesia telah mencapai 2,71 ton atau meningkat sekitar 116% dari tahun 1998.[3]
Standardisasi Produk Gula
Produk olahan utama dari tebu yaitu gula telah distandardisasi oleh pemerintah Indonesia, tepatnya oleh Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan Indonesia. Gula Kristal putih (GKP) termasuk produk yang diberlakukan wajib SNI berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 68/Permentann/OT.140/6/2013. SNI GKP adalah SNI 3140.3:2010 dan Amandemen 1.2011 Gula Kristal Putih. Persyaratan mutu untuk Gula Kristal Putih terlampir pada tabel dibawah ini.[4]
No.
Parameter Uji
Satuan
Gula Kristal Putih (SNI 3140.3:2010)
GKP 1
GKP 2
1
Warna
Warna Kristal
CT
4,0 – 7,5
7,6 – 10,0
Larutan
IU
81 – 200
201 - 300
2
Besar Jenis Butir
mm
0,8 – 1,2
0,8 – 1,2
3
Susut Pengeringan (b/b)
%
Maks 0,1
Maks 0,1
4
Polarisasi (oZ, 20oC)
oZ
Min. 99,6
Min 99,5
5
Abu Konduktiviti
%
Maks 0,10
Maks 0,15
6
Bahan Tambahan Pangan
Belerang Dioksida
mg/kg
Maks 30
Maks 30
7
Cemaran Logam
Timbal (Pb)
mg/kg
Maks 2
Maks 2
Tembaga (Cu)
mg/kg
Maks 2
Maks 2
Arsen (As)
mg/kg
Maks 1
Maks 1
Pendekatan Metabolomik untuk Meningkatan Produksi Tebu Indonesia
Salah satu kajian metabolomik yang telah dilakukan mengenai tebu adalah kajian relasi profil metabolit pada bagian pertumbuhan tebu, yaitu batang dan tunas tebu, terhadap kemampuan pertunasan tebu. Bagian tunas aksila pada tebu umumnya berada pada kondisi dorman; walaupun begitu, ketika segmen dari batang yang memuat bagian dari node dan internode dengan embrio akar dan setidaknya sebuah tunas viabel diisolasi dari badan tanaman dan ditanam pada tanah, pertumbuhan tunas dapat teramati dan tanaman tebu baru dapat dihasilkan. Tebu juga diketahui dapat mengakumulasi sukrosa dalam jumlah yang besar pada batangnya. Sukrosa ini kemudian dapat digunakan sebagai substrat oleh tebu untuk menunjang pertumbuhannya melalui integrasi pada suatu proses metabolisme tertentu yang bersifat dinamis dan dapat dikarakterisasi dengan siklus sintesis dan degradasi yang dinamis pula, mencakup keterlibatan beragam enzim dan isoformnya. Sukrosa yang terdapat dalam batang tebu dapat diamati sebagai gradien, dengan kandungan sukrosa pada internoda yang masih muda lebih rendah dibandingkan dengan internoda yang sudah tua. Oleh karena itu, karbon yang disimpan oleh tanaman tebu dalam bentuk sukrosa ini diasumsikan memiliki peranan dalam pertumbuhan tunas dan pembentukan tanaman tebu baru. Anggapan ini didasarkan pada informasi bahwa sukrosa merupakan salah satu metabolit yang terlibat dalam pertumbuhan di beberapa jenis tanaman lainnya.[5]
Komposisi metabolit adalah salah satu tool yang powerful untuk menjembatani interaksi gen dan fenotip yang teramati pada suatu organisme, yang pada dasarnya merupakan cerminan dari komposisi kimia yang dikandung sel. Kajian yang telah dilakukan terhadap tanaman tebu terkait dengan hal ini adalah pengeksplorasian lebih lanjut jaringan metabolit (metabolic networks) dari bagian batang dan tunas tebu, jaringan yang terlibat dalam perbanyakan vegetatif spesies ini. Dikarenakan pertumbuhan tunas merupakan kunci untuk menentukan keberhasilan pertumbuhan tanaman tebu di area tumbuhnya, maka potensi pertumbuhan tunas dari tanaman tebu ini dievaluasi. Profiling metabolit primer berhasil memberikan gambaran yang lebih elaboratif pada keberagaman fitur metabolit tebu bahkan pada latar belakang genetik yang saling berdekatan. Metabolit yang terkorelasi dalam dan di antara jaringan ternyata lebih sensitif terhadap metabolit kunci (sukrosa, putrescine, glutamat, serin, dan myo-inositol) dan berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan tunas. Selain itu, metabolit juga didapatkan bisa diaplikasikan sebagai indikator untuk penentuan latar belakang genetis.[5]
Salah satu permasalahan yang masih dialami oleh petani tebu dan produksi tebu di Indonesia secara keseluruhan adalah rendahnya nilai rendemen tanaman tebu Indonesia. Rendemen tebu sendiri dapat didefinisikan sebagai kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen; bila rendemen tebu diyatakan memiliki nilai 10%, maka berarti bahwa dari 100 kg tebu yang digiling saat produksi gula, hanya dapat diperoleh gula sebanyak 10 kg. Menurut Center for Indonesian Policy Studies, nilai rendemen tebu sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu Indonesia. Untuk saat ini, rendemen tebu Indonesia hanya mencapai nilai 7,50%. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan nilai rendemen tebu Filipina yaitu sebesar 9,20% dan rendemen tebu Thailand, yaitu sebesar 10,70%. Jika hal ini disualisasikan lebih lanjut, maka untuk menghasilkan gula dengan jumlah yang sama, misalnya 1 juta ton, maka Filipina harus memanen tebu sejumlah 10,8 ton, sementara Thailand sejumlah 9,3 ton, dan Indonesia sejumlah 13,3 ton. Hal ini tentu merugikan bagi para petani tebu Indonesia, selain itu karena hal ini pasokan gula di Indonesia masih ada yang berasal dari impor gula putih murni.[6]
Oleh karena itu, untuk kajian metabolomik yang berpotensi untuk dilakukan pada komoditas tebu adalah kajian metabolomik yang dapat meningkatan nilai rendemen tanaman tebu di Indonesia. Beberapa faktor terkait dengan rendahnya rendemen tebu memang tidak secara langsung berkaitan dengan kandungan gula pada batang tebu, diantaranya merupakan sistem tanam yang diterapkan oleh petani. Namun, aplikasi metabolomik dapat berperan dalam mengoptimalisasi kandungan-kandungan metabolit batang tebu sehingga produktivitasnya sebagai bahan baku dalam produksi gula dapat lebih ditingkatkan.<ref>[2]
^Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal – Kementerian Pertanian. 2016. Outlook Tebu 2016. Jakarta: Kementerian Pertanian. Halaman 13 – 15.
^Kementerian Perdagangan Indonesi. 2017. Kebijakan Pengawasan SNI Wajib.
^ abFerreira, D. A., Martins, M. C. M., Cheavegatti-Gianotto, A., Carneiro, M. S., Amadeu, R. R., Aricetti, J. A., Caldana, C. (2018). Metabolite Profiles of Sugarcane Culm Reveal the Relationship Among Metabolism and Axillary Bud Outgrowth in Genetically Related Sugarcane Commercial Cultivars. Frontiers in Plant Science, 9.doi:10.3389/fpls.2018.00857.