Suku Dayak Wehea [mxd-lia] adalah sub suku Dayak yang mendiami enam desa di kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, diantaranya desa-desa:
- Nehas Liah Bing (bukan Nehes Liah Bing atau Selabing) dengan Kepala Adatnya adalah Bapak Ledjie Taq[1][2]
- Long Wehea
- Diaq Leway (Jak Luay)
- Dea Beq dengan Kepala Adatnya adalah Tleang Lung
- Diaq Lay dengan Kepala Adat sebelumnya adalah Bapak Siang Luen (almarhum) dan saat ini dijabat sementara oleh Bapak Musa Ba
- Bea Nehas (bukan Benhes) dengan Kepala Adat dipimpin oleh Ba Ping Eng[3]
Dewat Adat Dayak Wehea
Masing-masing kepala adat dari 6 desa tersebut juga merupakan anggota Dewat Adat Dayak Wehea dengan Ketua Dewan adatnya saat ini dipimpin oleh Bapak Tleang Lung (Kepala Adat Dayak Wehea Desa Dea Beq) dengan Sekertaris Adat adalah Bapak Ledjie Be (tetua adat Dayak Wehea dari Desa Bea Nehas).
Bahasa Wehea dianggap sebagai dialek bahasa Modang, padahal Dayak Wehea merupakan sub Dayak tersendiri. Dayak Wehea percaya bahwa leluhur mereka berasal dari Tiongkok Daratan, dan sub-suku dayak tertua.[4]
Hutan Lindung Wehea
Suku Wehea menjaga hutan lindung yaitu Hutan lindung Wehea. "Keldung Laas Wehea Long Skung Metgueen." Deretan kata dalam bahasa Dayak Wehea itu berarti sebuah aturan: perlindungan dan pemanfaatan terbatas hutan Wehea. Adalah Ladjie Taq, kepala adat suku Wehea, bersama beberapa tokoh adat Wehea lainnya yang menetapkan aturan sejak 4 November 2004 dan secara khusus dijaga oleh Pasukan Adat Dayak Wehea atau rangers bernama Petkuq Mehuey. Dengan itu, hutan seluas 38.000 hektaree yang terletak di Muara Wahau, Kutai Timur, Kalimantan Timur, tersebut resmi menjadi kawasan hutan lindung yang dijaga secara adat oleh masyarakat Dayak Wehea. Desa Nehes Liah Bing dihuni oleh suku Dayak Wehea, yang merupakan suku tertua di aliran Sungai Wehea, atau yang sekarang lebih dikenal dengan Sungai Wahau karena kata "Wehea" sulit diucapkan oleh orang luar.
Suku Dayak Wehea memiliki wilayah adat yang cukup luas, diantaranya pada bagian utara yang berbatasan dengan Desa Merapun dan Merabu serta desa-desa di Kecamatan Sungai Kelay dan wilayah sepanjang pegunungan hingga ke Kung Kemul serta batas Kabupaten Malinau, Kabupaten Berau, pada bagian timur berbatasan dengan Sungai Bengalon, selatan berbatasan dengan Keham (jeram) yang terletak di bagian hulu Kampung Batu Ampar, Kecamatan Batu Ampar, dan bagian barat berbatasan dengan pematang gunung pemisah antara Sungai Tlan (orang luar biasa menyebut Sungai Telen) dan Sungai Mara.
Sejak tahun 2012, kawasan eks HPH PT. Mugi Triman diubah menjadi kawasan Reforestasi untuk Pelepasliaran Orang Utan yang dikelola bersama oleh Yayasan BOS-Foundation dan PT. Reforestasi untuk Orang Utan Indonesia (RHOI) bersama masyarakat Suku Dayak Wehea di bantaran Sungai Telen dan pola kerjasama tersebut kemudian rencananya diperbaharui pada Maret 2014.
Sejak tahun 2005, The Nature Conservancy (TNC) sebuah lembaga konservasi yang berbasis di Amerika Serikat melakukan kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur dan Lembaga Adat Dayak Wehea di Nehas Liah Bing dalam rangka pengelolaan Hutan Lindung Wehea seluas 38.000 hektare.
Terdapat beberapa ritual penting sebagai sebuah warisan tradisi dalam Suku Dayak Wehea yang masih ada dan terus dilestarikan, yaitu Ritual Lom Plai atau Pesta Panen Padi yang biasanya berlangsung hingga sebulan penuh dan pembukaannya melalui prosesi Ngesea Egung dan puncaknya disebut Mbob Jengea serta penutupannya saat prosesi Embos Epaq Plai. Selain ritual Lom Plai, juga terdapat ritual Nemlen, yaitu sebuah ritual pendewasaan diri bagi kalangan remaja dan pemuda Wehea dan pada saat ritual tersebut pada masa lalu juga dilakukan ritual tatto bagi para perempuan adat.
Lagu Dayak Wehea
Pranala luar
- ^ http://multitree.org/codes/mxd-lia
- ^ http://multitree.org/codes/mxd-nah
- ^ http://multitree.org/codes/mxd-ben
- ^ "Preservation Of Wehea Dayak Culture And Traditions". Borneo Orangutan Survival Foundation. 2020-10-21. Diakses tanggal 2023-01-25.