Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

Sistem kafala

Sistem kafala (juga dieja "sistem kefala", bahasa Arab: نظام الكفالة niẓām al-kafāla, yang berarti "sistem sponsorship") adalah sistem yang digunakan untuk mengawasi buruh migran yang umumnya bekerja sebagai tukang bangunan atau pembantu rumah tangga di Lebanon, Bahrain, Irak, Yordania, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.[1][2] Sistem ini mewajibkan semua tenaga kerja yang tidak terlatih untuk memiliki sponsor (biasanya majikan mereka) yang bertanggung jawab atas visa dan status hukum mereka. Praktik ini dikritik oleh organisasi hak asasi manusia karena dianggap memudahkan eksploitasi pekerja, karena banyak majikan yang menyita paspor dan memperlakukan pekerja mereka dengan buruk tanpa menghadapi konsekuensi hukum.[3][4]

Menurut The Economist, "nasib buruh migran tidak akan membaik hingga sistem kafala direformasi, di mana pekerja berhutangbudi kepada majikan yang mensponsori visa mereka. Sistem ini menghalangi kompetisi pekerja asing di negara-negara Teluk."[5] Meskipun begitu, The Economist menyatakan bahwa sistem kafala juga dapat memiliki dampak positif terhadap kondisi ekonomi pekerja asing dan keluarga mereka.[6]

Catatan kaki

  1. ^ "'As If I Am Not Human' — Abuses against Asian Domestic Workers in Saudi Arabia (pdf)" (PDF). Human Rights Watch. 2008-07-08. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 23 July 2012. Diakses tanggal 2012-07-23. 
  2. ^ Khan, Azfar and Hélène Harroff-Tavel (2011). "Reforming the Kafala: Challenges and Opportunities in Moving Forward" Diarsipkan 2019-12-15 di Wayback Machine., Asian and Pacific Migration Journal, Vol. 20, Nos. 3-4, hlm. 293-313
  3. ^ Harmassi, Mohammed (6 May 2009). "Bahrain to end 'slavery' system". BBC News. 
  4. ^ Montague, James (1 May 2013). "Desert heat: World Cup hosts Qatar face scrutiny over 'slavery' accusations". CNN. 
  5. ^ "The Middle East's migrant workers: Forget about rights". The Economist. 10 August 2013. 
  6. ^ "Migration in the Gulf: Open doors but different laws". The Economist. 10 September 2016. Diakses tanggal 10 September 2016. 
Kembali kehalaman sebelumnya