Saleh Manaf
Saleh Manaf (lahir 18 September 1950) merupakan seorang politikus dan birokrat dari Indonesia. Beliau mengawali karirnya sebagai pegawai pertanahan dan pernah menduduki berbagai jabatan di kantor pertanahan di Aceh Utara, Sumatera Utara, dan Bekasi. Pada tahun 2003, ia secara mengejutkan terpilih sebagai bupati Bekasi kendati bukan merupakan calon yang diunggulkan. Selama menjabat, Saleh menghadapi berbagai isu lingkungan, yang meliputi permasalahan pembuangan sampah ilegal hingga pengelolaan banjir. Kendati terpilih untuk menjabat selama lima tahun, ia diberhentikan dari jabatannya pada tahun 2006 akibat permasalahan hukum terkait dengan pemilihan dirinya sebagai bupati pada tahun 2003. Setelah diberhentikan dari jabatannya, Saleh Manaf meneruskan karier politiknya dan berupaya mencalonkan diri sebagai wakil gubernur Aceh pada tahun 2006 dan bupati Bandung pada tahun 2007, namun kalah di kedua pemilihan tersebut. Ia beberapa kali mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI untuk daerah pemilihan Jawa Barat VIII dari berbagai partai politik dalam pemilihan legislatif tahun 2009, 2014, 2019, dan 2024, namun mengalami kegagalan. Putra Saleh, Almaida Rosa Putra, saat ini merupakan anggota Dewan Perwakilan Daerah Jawa Barat. Masa kecil dan karier dalam birokrasiSaleh Manaf lahir pada tanggal 18 September 1950 di Meulaboh, sebuah kota kecil di Aceh. Ia menghabiskan masa kecilnya di kota tersebut. Setelah menamatkan SMA pada tahun 1970, Saleh melanjutkan pendidikannya di Akademi Agraria di Semarang hingga lulus pada tahun 1975. Ia melanjutkan studinya di Institut Ilmu Pemerintahan dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 1984. Selama berkarier karirnya di pemerintahan, Saleh mengikuti sejumlah pelatihan dan kursus, yakni kursus manajemen dari Badan Pendidikan dan Latihan Departemen Dalam Negeri pada tahun 1990, kursus pimpinan untuk program pemulihan yang diadakan oleh Lembaga Administrasi Negara pada tahun 1992, kursus administrasi pertanahan pada tahun 1995, dan kursus pimpinan menengah oleh Lembaga Administrasi Negara pada tahun 2001.[1][2] Saleh memulai kariernya sebagai pegawai negeri di kantor pertanahan Aceh Utara setelah menyelesaikan pendidikannya di Akademi Agararia. Ia memulai kariernya sebagai kepala seksi pendaftaran tanah sebelum dipromosikan menjadi penjabat sementara kepala kantor pertanahan di kabupaten tersebut pada tahun 1989. Ia kemudian dipindahtugaskan ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 1995 sebagai kepala bidang pengukuran dan pendaftaran tanah. Dari Sumatera Utara, Saleh dimutasi ke Bekasi sebagai Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi pada tahun 1998. [1] [2] Bupati Kota BekasiPemilihanPada tahun 2003, Saleh Manaf bersama Solihin Sari dicalonkan sebagai bupati dan wakil bupati Bekasi. Pasangan ini tidak dijagokan untuk memenangkan pemilihan bupati dan mayoritas anggota dewan Kota Bogor memihak bupati petahana Wikanda Darmawijaya atau ketua dewan Damanhuri Husein.[3] Saleh dicalonkan oleh partai-partai kecil di dalam dewan, sementara Wikanda didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Amanat Nasional, yang bersama-sama mendominasi jumlah kursi di DPRD Bekasi. [4] Secara tak terduga, dalam pemilihan yang diselenggarakan pada tanggal 4 November 2003, Saleh berhasil memperoleh mayoritas 24 dari 45 suara anggota DPRD. Wikanda hanya memperoleh 11 suara dan Damanhuri memperoleh 10 suara. Nuradi, ketua panitia penyelenggara pemilihan bupati yang juga merupakan Ketua DPD PDIP Kabupaten Bogor, sempat berupaya untuk membatalkan hasil penghitungan suara, namun upayanya gagal karena hasil penghitungan suara sudah disahkan oleh pemerintah. [4] [5] Anggota PDIP yang marah kemudian menyerbu rumah anggota DPRD Bekasi dari PDIP yang diduga mengalihkan suara mereka ke Saleh Manaf.[6] Nuradi diselidiki oleh polisi atas keterlibatannya dalam serangan itu, namun ia membantahnya. [3] Akibat kerusuhan tersebut, masa jabatan Wikanda diperpanjang selama satu bulan. [7] Tuduhan anggota GAMSaleh dan Solihin dilantik sebagai bupati dan wakil bupati pada tanggal 21 Januari 2004. [8] Beberapa hari menjelang pelantikannya, muncul tuduhan bahwa Saleh memiliki keterkaitan dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia juga ditengarai memiliki hubungan saudara dengan mantan panglima GAM, Muzakir Manaf. Sebelumnya, Wikanda Darmawijaya sempat mengirimkan surat kepada presiden dan kepala staf angkatan darat dengan tuduhan serupa. Tuduhan itu kemudian terbantahkan setelah hasil penyelidikan intelijen TNI menunjukkan bahwa sebagian besar keluarga Saleh di Meulaboh bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Komandan Kodim Bekasi, Benny Susianto, memanggil pihak yang menyebarkan berita bohong tersebut untuk klarifikasi lebih lanjut. [9] Masa jabatanPada awal masa jabatannya, Saleh menghadapi berbagai masalah terkait dengan lingkungan. Saleh membatalkan sejumlah kontrak kerjasama antara perusahaan gas dengan pemerintah kabupaten,[10] yang membuat dirinya dilaporkan ke polisi oleh salah satu perusahaan yang terdampak. [11] Pada bulan yang sama, tujuh kecamatan di Kota Bandung terendam banjir akibat luapan sungai di sekitar kabupaten tersebut.[12] Pada akhir tahun 2004, Saleh mengirim surat ke Kementerian Lingkungan Hidup, mendesak mereka untuk menangani pembuangan limbah besi ilegal di Kota Bogor. [13] Saleh juga menghadapi masalah terkait pengelolaan sampah. Ia diprotes oleh dinas lingkungan hidup dari kabupaten yang dipimpinnya karena pembuangan sampah ilegal yang dilakukan oleh beberapa truk sampah di lahan setempat.[14] Saleh kemudian membuka tempat pembuangan sampah baru di Burangkeng, namun tempat tersebut ditutup dalam waktu singkat karena terlalu dekat dengan lokasi pemukiman penduduk. Saleh kemudian menyewa tiga lahan sementara sebagai pengganti TPA Burangkeng, namun TPA sementara tersebut ditutup sebulan kemudian dan TPA Burangkeng dibuka kembali. Saleh kemudian berkonsultasi dengan sejumlah firma, termasuk sebuah firma dari Swiss, untuk menyelesaikan masalah tersebut. [14] [15] PemecatanSekitar sebulan setelah pelantikannya, pada tanggal 10 Februari 2004 Wikanda menggugat DPRD Kabupaten Bekasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jawa Barat atas penetapan Saleh sebagai bupati. Menurut Wikanda, penetapan tersebut berstatus ilegal karena Wikanda, yang saat itu menjabat sebagai bupati, tidak memberikan izin bagi Saleh untuk maju sebagai calon bupati dalam pemilihan. Meski perkara awalnya ditolak, gugatannya dikabulkan setelah membawa perkara yang sama ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 12 Mei 2004. Saleh mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada 16 September 2004 dan bandingnya diterima. [16] Setelah banding dari Saleh diterima oleh pengadilan tata usaha negara Jakarta, Wikanda mengajukan banding ke Mahkamah Agung pada bulan Oktober. Mahkamah Agung menerima permohonan banding tersebut pada tanggal 6 Juli 2005 dan menetapkan terjadinya kecurangan penghitungan suara dalam pemilihan bupati tahun 2003. [16] Pada bulan Agustus, ratusan pengunjuk rasa yang menamakan diri mereka sebagai Solidaritas Rakyat Bekasi Bersatu menyegel kantor Saleh dan mendesak DPRD Kabupaten Bekasi untuk memecat Saleh sesegera mungkin. Sebagai bentuk protes, para pengunjuk rasa meletakkan dua kepala kambing, tulang paha, paku, pecahan kaca, bunga dan kendi di depan pintu kantor. [17] Pada tanggal 4 Januari 2006, Menteri Dalam Negeri mengeluarkan keputusan yang membatalkan pengangkatan Saleh sebagai bupati. [16] Saleh resmi diberhentikan sebagai bupati pada 16 Februari 2006 dan sekretaris daerah Herry Koesaeri sebagai pelaksana tugas. [18] Saleh mengadakan konferensi pers pada tanggal 18 Januari, dua minggu setelah pembatalan pengangkatannya ditetapkan. [19] Saleh berpendapat bahwa menteri telah bertindak keliru dengan mencabut surat keputusannya pengangkatannya. Saleh menyatakan bahwa menteri seharusnya mengeluarkan surat keputusan pengangkatan yang baru alih-alih membatalkan pengangkatannya, karena putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung lebih berfokus pada kesalahan prosedural hukum. [20] Saleh kemudian mengajukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi dengan diwakili oleh Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara pribadinya. Nasution menilai bahwa keputusan menteri itu cacat hukum karena Saleh bukan bawahan bupati sehingga tidak perlu meminta izin. Menurutnya, Saleh hanya memerlukan izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional—yang telah didapatnya—karena ia merupakan pegawai dari lembaga tersebut. [21] Permohonan uji materi Saleh ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada 12 Juli 2006, dan Mahkamah Konstitusi menguatkan keputusan pencabutan menteri tersebut. [22] Karier politik selanjutnyaPemilihan bupati dan gubernurSetelah gagal mempertahankan jabatannya sebagai bupati, Saleh kembali ke Aceh. Ia mencalonkan diri sebagai calon wakil gubernur bersama dengan Iskandar Hoesin, pengurus olahraga, sebagai calon gubernur. Pasangan ini didukung oleh Partai Bulan Bintang dan beberapa partai kecil. [23] Survei yang dilakukan oleh LSI Denny JA beberapa bulan sebelum pemilu menempatkan Hoesin dan Saleh pada posisi ketiga terbawah dengan perolehan suara 5,18 persen.[24] Pada pemilu yang diselenggarakan pada 11 Desember 2006, Hoesin dan Saleh berada pada posisi kelima dengan perolehan 111.553 suara atau 5,54 persen dari total suara.[25] Saleh memutuskan untuk kembali mencalonkan diri sebagai bupati Bekasi pada tahun 2007. Berbeda dengan pemilihan sebelumnya yang hanya melibatkan anggota DPRD Bekasi, pemilihan tahun 2007 merupakan pemilihan langsung. Saleh menggandeng politisi Omin Basyuni sebagai calon wakilnya. Saleh dan Omin didukung oleh Partai Persatuan Pembangunan, dan partai tersebut memobilisasi ulama Islam untuk mendukung pasangan tersebut.[26] Wikanda dan Solihin juga mengikuti pemilihan ini. [27] Saleh dikalahkan oleh Sa'duddin, Ketua DPRD Kota Bandung, dalam pemilihan ini. [28] Ia berada pada posisi ketiga dengan perolehan 143.248 suara. [26] Pemilihan legislatifSejak 2009, Saleh telah berulang kali mencalonkan diri menjadi anggota DPR dari daerah pemilihan Jawa Barat VII. Dalam upayanya tersebut, Saleh gagal terpilih menjadi anggota DPR. Saleh maju dari Partai Bulan Bintang dalam pemilihan umum tahun 2009[29] dan 2019, [30] Partai NasDem pada pemilu 2014, [31] dan dari Partai Keadilan Sejahtera pada pemilu 2024.[29] Kehidupan pribadiSaleh menikah dengan Cut Rosmah. Pasangan tersebut memiliki tujuh orang anak.[2] Salah satu anak mereka, Almaida Rosa Putra, saat ini menjabat sebagai anggota DPRD Jawa Barat dan suami dari Neneng Hassanah Yasin, Bupati Kota Bandung periode 2012-2018. [32] Referensi
|