Raden Ngabehi Rangga Warsita (bahasa Jawa: ꦫꦺꦴꦁꦒꦮꦂꦰꦶꦠ, translit. Ronggawarsita[a], 14 Maret 1802–24 Desember 1873) adalah pujangga besar budaya Jawa yang hidup di Kasunanan Surakarta. Ia dianggap sebagai pujangga besar terakhir tanah Jawa.
Asal-Usul
Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara (juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta.
Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Masa muda
Sewaktu muda Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari (Ponorogo). Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon, ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik Pakubuwana IV). Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom tanggal 28Oktober1819.
Pada masa pemerintahan Pakubuwana V (1820 – 1823), karier Burhan tersendat-sendat karena raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burhan dinaikkan.
Pada tanggal 9 November1821 Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, yaitu Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Karier sebagai pujangga
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwana VII pada tanggal 14September1845.
Pada masa inilah Ranggawarsita melahirkan banyak karya sastra. Hubungannya dengan Pakubuwana VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ranggawarsita. Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa, Ranggawarsita peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwana VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwana IX kurang menyukai Ranggawarsita, yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ranggawarsita dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F. Winter, Sr., tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. Ranggawarsita dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ranggawarsita pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Kematian
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24Desember1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ranggawarsita meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979). Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Kasunanan Surakarta yang berpendapat kalau Ranggawarsita adalah peramal ulung sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.
Lihat pula
Catatan kaki
^Karya-karya sastra milik Raden Ngabehi Ranggawarsita lebih banyak ditulis dengan nama Ronggawarsita, bukan Ranggawarsita.
Daftar pustaka
Andjar Any. 1980. Raden Ngabehi Ronggowarsito, Apa yang Terjadi? Semarang: Aneka Ilmu