Pulau Bunguran atau Pulau Natuna Besar (terkadang juga hanya disebut sebagai Pulau Natuna saja) atau Pulau Bunguran Besar adalah sebuah pulau yang merupakan pulau terbesar dan pulau utama di Kepulauan Natuna, Indonesia. Pulau ini secara administratif terletak di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Pusat pemerintahan Kabupaten Natuna di Ranai terletak di bagian timur pulau ini.[3][1]
Sejarah
Panduan pelayaran Tiongkok dari sektiar abad ke-15 atau 16 yaitu Shun Feng Hsiang Sung menyebutkan nama Pulau Bunguran sebagai 馬鞍山 (ma-an shan) yang berarti 'gunung (pulau) pelana kuda' sebagai titik acuan arah untuk kapal-kapal yang berlayar dari Tuban menuju Fujian.[4] Serangkaian ekskavasi yang dilakukan di Pulau Bunguran menemukan beberapa artefak berupa keramik dari abad ke-9 hingga abad ke-20 M. Keramik yang ditemukan paling banyak berasal dari Tiongkok abad ke-13 hingga 14 dalam bentuk mangkuk, piring, tempayan, dan buli-buli. Ditemukan pula wadah kubur kayu yang disebut benggong beserta salah satu keramik yang diperkirakan merupakan bekal kuburnya.[5] Pelaut Prancis, Cyrille Laplace, mengunjungi pulau ini dalam pelayarannya di Asia Tenggara tahun 1829-1832.[6] Pada zaman kolonial Belanda, Pulau Bunguran termasuk ke dalam daerah Karesidenan Riau.[7]
Geografi
Pulau Bunguran adalah pulau terbesar di Kepulauan Natuna yang terletak di sebelah utara Laut Natuna dan sebelah barat daya Laut Tiongkok Selatan di perbatasan antara kedua laut tersebut. Pulau ini berada di atas Busur Natuna yang merupakan bagian dari Paparan Sunda dan terbentuk selama Kala JuraPertengahan hingga Kala Kapur Akhir atau paling tidak hingga Kala Eosen akibat subduksi Lempeng Pasifik di Laut Tiongkok Selatan purba. Subduksi tersebut kemudian menyebabkan munculnya aktivitas vulkanisme di wilayah Natuna.[8] Laut Natuna di selatan Pulau Bunguran memiliki cadangan gas alam yang telah diekstraksi sejak tahun 1990-an.[9]
Terdapat beberapa formasi batuan yang dapat ditemukan di Pulau Bunguran. Formasi yang terluas adalah Formasi Raharjapura yang terdiri atas batu pasir, batu lanau, dan batu lumpur. Formasi lainnya adalah Formasi Pengadah, Formasi Bunguran, serta batuan granit Ranai. Batuan granit Ranai dapat ditemukan di bagian timur pulau terutama di wilayah Gunung Ranai (1.035 m), gunung tertinggi di Pulau Bunguran. Sebuah pengukuran penanggalan terhadap batu granit dari Natuna menghasilkan usia batuan sekitar 73 ± 2 juta tahun. Bagian pulau lainnya tertutup oleh endapan aluvium serta sebaran batuan mafik/ultramafik berupa peridotit, gabro, dan basalt.[10][11]
Wilayah Pulau Bunguran memiliki iklim muson tropis (Am) dengan suhu rata-rata bulanan berkisar antara 27,0-28,3 °C dengan suhu terendah yaitu 20,4 °C pada bulan Desember dan suhu tertinggi yaitu 35,2 °C pada bulan Agustus. Curah hujan tahunan di pulau ini adalah sekitar 1.480 mm.[3][12] Terdapat beberapa sungai di Pulau Bunguran, di antaranya adalah Sungai Binjai dan Sungai Penarik yang bermuara di perairan Kuala Binjai yang hampir membelah pulau ini di bagian selatan.[1] Terdapat sebuah bendungan yaitu Bendungan Tapau yang terletak di Bunguran Tengah.[13][14]
Ekosistem
Pulau Bunguran merupakan bagian dari Paparan Sunda dan satwa yang ditemukan di pulau ini adalah spesies yang berkerabat dengan satwa baik di Semenanjung Malaya maupun Kalimantan. Beberapa spesies mamalia dapat ditemukan di Pulau Bunguran seperti trenggiling jawa, teledu sigung, kubung, babi hutan, tikus buluh, jelarang paha putih, bajing tanah moncong runcing, serta tiga spesies primata yaitu kukang, monyet, dan kekah natuna. Kekah natuna (Presbytis natunae) merupakan satwa endemik di Pulau Bunguran. Sebuah penelitian dari tahun 2003 memperkirakan bahwa populasi kekah natuna hanya tersisa kurang dari 10.000 ekor dan dapat terus terancam dengan berkurangnya habitat hutan primer di Pulau Bunguran akibat pengubahan menjadi hutan produksi dan pembukaan lahan sejak tahun 1980. Konservasi kekah natuna tergolong dalam status terancam (vulnerable) berdasarkan kriteria daftar merah IUCN.[15][16] Dua subspesies pelanduk juga merupakan satwa endemik di Pulau Bunguran yaitu pelanduk napu (Tragulus napu bunguranensis) dan pelanduk kancil (Tragulus kanchil everetti).[17]
^Ng, P. K. L.; Ilahude, A. G.; Sivatoshi, N.; Yeo, D. C. J. (2004). "Expedition Anambas: an overview of the scientific marine exploration of the Anambas and Natuna Archipelago, 11–22 March 2002". The Raffles Bulletin of Zoology. Supplement No. 11: 1–17.