Pemerkosaan di Indonesia adalah segala peristiwa pemerkosaan, meliputi kejadian, dampak, dan penerapan peraturan perundang-undangan mengenai pemerkosaan yang berlaku di Indonesia.
Wanita dan anak-anak merupakan kelompok paling potensial untuk menjadi target tindak kejahatan. Namun, sebagai target tindak kejahatan, jumlah wanita dan anak-anak sangat banyak dan tidak sebanding dengan jumlah aparat penegak hukum.[2]
Pemerkosaan terhadap wanita
Pemerkosaan wanita di Indonesia dihadapkan pada batasan undang-undang tentang pemerkosaan yang mencerminkan budaya dominasi pria terhadap wanita. Undang-undang dinilai lebih melindungi kepentingan pria dibandingkan
korban. Pendapat seperti ini muncul karena di dalam undang-undang mensyaratkan terjadinya perkosaan dengan
adanya penetrasi vaginal dari pelaku. Sementara itu perbuatan memaksakan hubungan anal dan oral serta memasukkan benda-benda lain seperti jari atau botol ke dalam vagina tidak dapat dikategorikan sebagai tindakan pemerkosaan. Sebagai tindak lanjut keprihatinan terhadap undang-undang perkosaan, sejak tahun 1991 telah dirancang rumusan baru mengenai peraturan untuk tindak perkosaan.[3]
Catatan komisi nasional (Komnas) perempuan dalam 15 tahun terakhir menunjukkan bahwa setiap dua jam sekali, satu orang perempuan mengalami kasus perkosaan. Dalam satu hari, 20 orang perempuan di Indonesia mengalami kekerasan seksual. Menurut Komisioner Komnas Perempuan Andy Yentriyani, permasalahan kekerasan seksual yang dimaksud bukan hanya perkosaan, melainkan bisa dikategorikan dalam 15 bentuk. Kejadian ini banyak dirasakan oleh perempuan tetapi tidak diketahui sebagai bentuk kekerasan. 15 bentuk kekerasan itu antara lain: ancaman atau percobaan perkosaan dan serangan seksual lainnya, pemaksaan kehamilan, pemaksaan sterilisasi, kontrol seksual termasuk pemaksaan busana, dan kriminalisasi perempuan lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama, praktik tradisi bernuansa seksual yang berbahaya, dan atau diskriminatif.[4] Aktivis perempuan, Wulan Danoekoesoemo, menyatakan banyak pelaku kekerasan seksual bukan orang asing bagi korbannya. Pelaku umumnya mengincar korban yang ada di dekatnya karena adanya kemudahan akses.[2]
Menurut Saskia E. Wieringa, Ahli Kajian Gender dan Seksualitas dari Universitas Amsterdam, pemerkosaan di Indonesia sudah masuk dalam situasi sulit. Selain itu, perempuan yang sering menjadi korban juga jarang mendapat keadilan karena kejadian pemerkosaa dianggap kesalahan perempuan. Sudah menjadi wacana umum bahwa pihak laki-laki kebanyakan berpikir bisa memiliki perempuan, sehingga ketika mereka sedang naik hasrat seksualnya dan sulit dihentikan, mereka bisa melakukan pemerkosaan.[5] Korban harus membuktikan bahwa tindak kekerasan seksual memang benar-benar terjadi, sementara pelaku tidak perlu membuktikan apapun untuk menunjukkan ia tidak bersalah. Tidak jarang korban harus berkali-kali memaparkan ulang kejadian traumatis yang dialaminya.[2]
Terdapat stigma di masyarakat Indonesia bahwa wanita korban perkosaan adalah perempuan hina. Selain itu, terdapat pandangan bahwa yang salah adalah pihak wanita, karena mereka dengan sengaja menggoda dengan cara berpakaian atau dandanan mereka. Akibatnya, korban enggan untuk melaporkan kejadian yang ia alami supaya tidak merusak nama baiknya maupun keluarganya.[3]
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Maria Ulfah Anshor, mengatakan kejahatan pada anak pada tahun 2012 didominasi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual dengan nilai 30%. Dari hasil pemantauan KPAI, sebanyak 87 persen anak sekolah mengaku telah mendapatkan kekerasan di sekolah yang dilakukan oleh guru, wali kelas, petugas administrasi, dan satuan pengaman (satpam) sekolah.[6]
Berdasarkan data Womens Crisis Centre (WCC) Kabupaten Nganjuk, terjadi kenaikan kasus perkosaan dan pencabulan yang menimpa korban dibawah umur pada tahun 2012 dibandingkan tahun sebelumnya. Menurut Divisi pendampingan WCC Kabupaten Nganjuk, Netty Yudhiana, penyebab meningkatnya kasus pencabulan dan perkosaan anak dibawah umur ini merupakan dampak buruk dari keberadaan alat komunikasi handphone (HP). Terlebih lagi, tarif sms yang sangat murah bahkan gratis dari para penyedia jasa telekomunikasi menjadikan anak-anak usia muda banyak memanfaatkannya untuk iseng.[7] Sementara itu, kenaikan proses perkosaan anak di Kabupaten Kendal pada tahun yang sama meningkat hingga 400%, dengan usia korban antara 13-18 tahun. Pemerhati anak Kendal, Sa'adatul, menjelaskan bahwa banyaknya kasus perkosaan yang menimpa anak adalah akibat dari kurangnya pengetahuan seks dan dampak dari perkembangan teknologi. Di sisi lain, orang tua kurang memberi pengawasan. Korban kebanyakan anak-anak yang tinggal di desa.[8]
Pada tahun 2013, Emayartini menjadi wanita pertama di Indonesia yang dipenjara karena kasus pemerkosaan. Ia terbukti bersalah mencabuli enam anak remaja sehingga divonis penjara 8 tahun, denda 60 juta rupiah subsidair 3 bulan kurungan.[9] Kasus ini memunculkan perbedaan pendapat karena berdasarkan uji psikologi RSJ Bengkulu, Emayartini perlu dirawat. Namun, berdasarkan penilaian majelis hakim, ia tidak gila sebab selama pemeriksaan ia sadar dan bisa menjelaskan kronologis kejadian.[10]
Pemerkosaan terhadap pria
Pada kasus perkosaan sering kali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan. Dengan mengacu pada KUHP, pria tidak dapat menjadi korban perkosaan karena pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan yang diterima oleh tubuhnya dan direspon oleh alat kelaminnya.[11] Dalam perundang-undangan di Indonesia, dijelaskan oleh R. Soesilo mengenai Pasal 285 KUHP, menyatakan bahwa pembuat aturan tidak perlu untuk menentukan hukuman bagi perempuan yang memaksa laki-laki untuk bersetubuh. Hal ini bukan semata-mata karena paksaan oleh seorang perempuan terhadap laki-laki itu dipandang tidak mungkin, akan tetapi justru karena perbuatan itu bagi laki-laki dipandang tidak mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan, seperti halnya seorang perempuan yang dirugikan (hamil) atau melahirkan anak karena perbuatan itu.[12]
Dalam RUU KUHP tindak pidana yang sedang disusun sejak tahun 1980-an, perkosaan didefinisikan sebagai "persetubuhan yang dilakukan di luar kehendak salah satu pihak". Tidak perlu adanya ancaman kekerasan atau kekerasan, tetapi cukup bahwa persetujuan tidak disetujui oleh salah satu pihak (secara psikis). Dengan demikian, disimpulkan bahwa perkosaan tidak hanya dapat dilakukan pria terhadap wanita, tetapi juga dapat dilakukan wanita terhadap pria. Namun, RUU KUHP ini masih tidak masuk dalam daftar prioritas pembahasan RUU tahun Anggaran 2004.[13]
Kasus pemerkosaan terhadap pria lebih banyak terjadi juga dilakukan oleh pria terhadap anak dibawah umur. Beberapa kasus sodomi di Indonesia yang mencuat antara lain sodomi dan pembunuhan yang dilakukan oleh Robot Gedek pada tahun 1996[14] dan Baekuni (Babeh) pada tahun 2010,[15] serta Tony mantan diplomat Australia (terhadap anak pria maupun wanita).[16]
Media massa
Media massa memiliki pengaruh terhadap keadaan yang dirasakan oleh korban. Pada kasus-kasus perkosaan, media massa memiliki peranan dalam membentuk opini masyarakat tentang korban perkosaan. Baik buruknya korban perkosaan dapat dipengaruhi oleh cara penulisan berita tersebut.[17] Para wartawan cenderung menggunakan bahasa denotatif dalam mendeskripsikan runtutan peristiwa perkosaan, termasuk deskripsi tentang korban sehingga posisi korban dalam pandangan masyarakat semakin lemah.[18]
Untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan oleh pemberitaan pers, dikeluarkan beberapa peraturan dan perundang-undangan untuk membatasi cara penyampaian media, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pasal 48.[19]
(1) Pedoman perilaku penyiaran bagi penyelenggaraan siaran ditetapkan oleh KPI.
(2)Pedoman perilaku penyiaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun dan
bersumber pada:
a. nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
b. norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran.
(3) KPI wajib menerbitkan dan mensosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada Lembaga Penyiaran dan masyarakat umum.
(4) Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:
a. rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
b. rasa hormat terhadap hal pribadi;
c. kesopanan dan kesusilaan;
d. pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
e. perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;
f. penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;
g. penyiaran program dalam bahasa asing;
h. ketepatan dan kenetralan program berita;
i. siaran langsung; dan
j. siaran iklan.
(5) KPI memfasilitasi pembentukan kode etik penyiaran.
2. Penyiaran dan Standart Program Siaran (P3SPS) Tahun 2012 pasal 14 dan 29.[20]
Pasal 14
(1) Lembaga penyiaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada anak dengan menyiarkan program siaran pada waktu yang tepat sesuai dengan penggolongan program siaran.
(2)Lembaga penyiaran wajib memperhatikan kepentingan anak dalam setiap aspek produksi siaran.
Pasal 29
Lembaga penyiaran dalam menyiarkan program yang melibatkan anak-anak dan/atau remaja sebagai narasumber wajib mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. tidak boleh mewawancarai anak-anak dan/atau remaja berusia di bawah umur 18 tahun mengenai hal-hal di luar kapasitas mereka untuk menjawabnya, seperti: kematian, perceraian, perselingkuhan orangtua dan keluarga, serta kekerasan, konflik, dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
b.wajib mempertimbangkan keamanan dan masa depan anak-anak dan/atau remaja yang menjadi narasumber; dan
c.wajib menyamarkan identitas anak-anak dan/atau remaja dalam peristiwa dan/atau penegakan hukum, baik sebagai pelaku maupun korban.
3. Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 5.[21]
1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
3. Pers wajib melayani Hak Tolak.
4. Kode Etik Jurnalistik Tahun 2006 pasal 4 dan 5.[22]
Pasal 4: Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.
Pasal 5: Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.
Hukum mengenai pemerkosaan di Indonesia
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Hukum mengenai pemerkosaan di Indonesia diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Bab XIV mengenai Kejahatan terhadap Kesusilaan.[23]
1. Pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
2. Pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
3. Pasal 289
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
4. Pasal 290
Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
1. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang, padahal diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya;
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas atau yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
5. Pasal 291
(1) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun; (2) Jika salah satu kejahatan berdasarkan pasal 285, 286, 287, 289 dan 290 mengakibatkan kematian dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
6. Pasal 292
Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
7. Pasal 293
(1) Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan pembawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkahlakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan kejahatan itu.
(3) Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing sembilan bulan dan dua belas bulan.
8. Pasal 294
(1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama:
1. pejabat yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang karena jabatan adalah bawahannya, atau dengan orang yang penjagaannya dipercayakan atau diserahkan kepadanya,
2. pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat pekerjaan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya.
9. Pasal 295
(1) Diancam:
1. dengan pidana penjara paling lama lima tahun barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan dilakukannya perbuatan cabul oleh anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau oleh orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, ataupun oleh bujangnya atau bawahannya yang belum cukup umur, dengan orang lain;
2. dengan pidana penjara paling lama empat tahun barang siapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul, kecuali yang tersebut dalam butir 1 di atas, yang dilakukan oleh orang yang diketahuinya belum dewasa atau yang sepatutnya harus diduganya demikian, dengan orang lain.
(2) Jika yang melakukan kejahatan itu sebagai pencarian atau kebiasaan, maka pidana dapat ditambah sepertiga.
10. Pasal 297
Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
11. Pasal 298
(1) Dalam hal pemidanaan berdasarkan salah satu kejahatan dalam pasal 281, 284 - 290 dan 292 - 297, pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 5 dapat dinyatakan. (2) Jika yang bersalah melakukan salah satu kejahatan berdasarkan pasal 292 - 297 dalam melakukan pencariannya, maka hak untuk melakukan pencarian itu dapat dicabut.
Menurut R. Soesilo, pasal 293 termasuk ke dalam Delik aduan absolut, yaitu delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan. Dalam hal ini, pengaduan diperlukan untuk menuntut peristiwanya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi: “..saya minta agar peristiwa ini dituntut”.[12] Pasal-pasal di atas selain pasal 293 tergolong dalam delik biasa sehingga dapat diproses tanpa adanya persetujuan dari pelapor atau korban. Mengenai pengaduan diatur dalam KUHP Bab VII mengenai Mengajukan Dan Menarik Kembali Pengaduan Dalam Hal Kejahatan-Kejahatan Yang Hanya Dituntut Atas Pengaduan.[23]
1. Pasal 72
(1) Selama orang yang terkena kejahatan yang hanya boleh dituntut atas pengaduan, dan orang itu umurnya belum cukup enam belas tahun dan lagi belum dewasa, atau selama ia berada di bawah pengampuan yang disebabkan oleh hal lain daripada keborosan, maka wakilnya yang sah dalam perkara perdata yang berhak mengadu;
(2) Jika tidak ada wakil, atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau pengampu pengawas, atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas; juga mungkin atas pengaduan istrinya atau seorang keluarga sedarah dalam garis lurus, atau jika itu tidak ada, atas
pengaduan seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.
2. Pasal 73
Jika yang terkena kejahatan meninggal di dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam pasal berikut maka tanpa memperpanjang tenggang itu, penuntutan dilakukan atas pengaduan orang tuanya, anaknya, atau suaminya (istrinya) yang masih hidup kecuali kalau ternyata bahwa yang meninggal tidak menghendaki penuntutan.
3. Pasal 74
(1) Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu enam bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu sembilan bulan jika bertempat tinggal di luar Indonesia. (2) Jika yang terkena kejahatan berhak mengadu pada saat tenggang waktu tersebut dalam ayat 1 belum habis, maka setelah saat itu, pengaduan masih boleh diajukan hanya selama sisa yang masih kurang pada tenggang waktu tersebut.
4. Pasal 75
Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
Pencabulan terhadap anak-anak
Hukum pencabulan terhadap anak-anak diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.[24] BAB IX. Penyelenggaraan Perlindungan (Bagian Kelima: Perlindungan Khusus)
1. Pasal 59
Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Bab XII. Ketentuan Pidana
1. Pasal 78
Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
2. Pasal 81
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
3. Pasal 82
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
4. Pasal 88
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
^Abrar, A. N. 1998. "Pelecehan dan Kekerasan Seksual, Analisis Isi Surat Kabar Indonesia". Yogyakarta: Kerjasama Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
^A.Z. Abar dan Tulus Subardjono. 1998. "Perkosaan dalam Wacana Pers National". Yogyakarta: Kerjasama PPK & Ford Foundation.