Diệm lahir pada 1901 di Quảng Bình, sebuah provinsi tengah Vietnam. Keluarganya berasal dari distrik Phú Cam, yang awalnya merupakan sebuah distrik beragama Katolik di kota Huế. Klannya merupakan salah satu dari orang-orang yang berpindah ke agama Katolik paling awal di Vietnam pada abad ke-17.[3] Diệm diberi nama santo pada saat lahir, Gioan Baotixita (sebuah bentuk yang di-Vietnamisasi-kan dari Jean Baptiste), mengikuti kebiasaan Gereja Katolik.[4] Keluarga Ngô-Đình, bersama dengan umat Katolik Vietnam lainnya, selamat dari penganiayaan anti-Katolik dari Kaisar Minh Mạng dan Tự Đức. Pada 1880, ketika ayah Diệm, Ngô Đình Khả (1850-1925), belajar di Malaya, sebuah kerusuhan anti-Katolik yang dipimpin oleh para biksu Buddha hampir membersihkan seluruh keluarga Ngô-Đình. Lebih dari seratus klan Ngô dibakar hidup-hidup di sebuah gereja termasuk orang tua, saudara dan saudari Khả.[5]
Keluarga Ngô adalah pemeluk Katolik. Ia adalah salah satu pejabat dengan peringkat tertinggi dari Dinasti Nguyễn di bawah Kaisar Bảo Đại sebelum Perang Dunia II tetapi mengundurkan diri setelah ia menuduh Kaisar sebagai "alat" Prancis. Diệm adalah seorang yang nasionalistik, pemeluk Katolik yang taat, seorang anti-Komunis dan menganut filsafat keagamaan personalisme; abangnya, Ngô Đình Thuc, adalah uskup agung di Huế.
Pada 1945 ia dipenjarakan dan diasingkan ke Tiongkok setelah terjadinya konflik dengan kekuatan Komunis anti-Prancis yang semakin berkuasa di Vietnam. Setelah dilepaskan, ia menolak untuk bergabung dalam pemerintahan pasca-perang yang berumur pendek, di bawah pimpinan Hồ Chí Minh dan mengasingkan dirinya ke Amerika Serikat. Ia kembali ketika diangkat menjadi Perdana Menteri Vietnam Selatan oleh Kepala Negara (bekas kaisar) Bảo Đại pada 1954, setelah Prancis dikalahkan di Dien Bien Phu dan siap untuk menarik diri dari Indochina. Banyak orang Amerika dan Eropa yang menaruh sedikit harapan untuk masa depan Vietnam Selatan di bawah kepemimpinan Diem. Seorang pejabat Amerika Serikat menggambarkan bahwa pemerintahan Diệm dipersatukan dengan "pita Scotch, sedikit tali dan dempul."[6] Pada saat yang sama, pemerintah AS berusaha membangkitkan kesadaran masyarakat di Amerika Serikat tentang 'penderitaan' Vietnam Selatan' dan pemimpinnya 'yang mengalami tekanan' - Diệm.
Ketika referendum diadakan pada 22 Oktober 1955, tentang apakah Vietnam Selatan harus dijadikan republik, pasukan-pasukan Diệm mengawal tempat-tempat pemungutan suara dan mereka yang berusaha memberikan suara untuk Kaisar diserang. Para pengamat mengatakan bahwa kecurangan yang terjadi sangat jelas. Di Saigon, misalnya, Diệm mengklaim bahwa terdapat pemilih terdaftar di seluruh wilayah itu. (Bekas Kaisar) Kepala negara Bảo Đại dipaksa untuk mengundurkan diri ketimbang membagi negara itu lebih jauh dan menerbitkan sebuah permohonan terakhir yaitu agar negara itu bersatu di bawah suatu pemerintahan yang demokratis. Semua ini membuat para penasihat Amerika Diệm merasa frustrasi, karena tak seorangpun percaya bahwa bekas kaisar yang telah lama absen dapat menjadi ancaman dari vilanya di Prancis.
Pemerintahan
Pemerintahan Diệm bersifat otoriter dan nepotistik. Pejabat yang paling dipercayainya adalah adiknya, Ngô Đình Nhu, pemimpin partai politik pro-Diệm yang paling utama. Ngô Đình Cẩn, abangnya, diberinya tanggung jawab atas bekas Kota Kerajaan Huế. Saudara lelakinya yang lain, Ngô Đình Luyện, ditunjuk sebagai Duta Besar di Britania Raya dan juga diberinya tanggung jawab atas suku Cham Cham yang minoritas di Dataran Tengah Vietnam.
Madame Ngo Dinh Nhu, istri abangnya Nhu, adalah Ibu Negara Vietnam Selatan. Ia memimpin program-program Diệm untuk memperbarui masyarakat Saigon sesuai dengan nilai-nilai Katolik mereka. Bordil-bordil dan tempat-tempat mengisap opium ditutup, perceraian dan aborsi dijadikan ilegal, dan undang-undang perzinahan diperkuat. Diệm juga memenangi sebuah perang jalanan melawan pasukan-pasukan gangster Le Van Vien, penguasa terkenal dari bordil-bordil Cholon dan tempat-tempat perjudian yang sebelumnya menikmati perlindungan khusus di bawah Prancis dan Bảo Đại. Diệm juga sangat anti-komunis. Penyiksaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dicurigai komunis dilakukan setiap hari.
Sebagai bagian dari minoritas Katolik Vietnam, usaha Diệm untuk mengembangkan kebijakan pro-Katolik membangkitkan amarah orang-orang Buddhis Vietnam. Polisi negara sering kali dituduh menyerang orang-orang Buddhis (agama mayoritas negara itu). Para aktivis Buddhis melakukan protes-protes massal dan bahkan penyiksaan diri yang berpuncak dalam beberapa upaya kudeta, dan yang terakhir mengakibatkan kematian Diệm sendiri.
Ikatan-ikatan AS
Diệm membina hubungan dengan Amerika Serikat untuk mendapatkan dukungan, sementara pada saat yang sama mempertahankan kebijakan-kebijakan yang independen dari Amerika Serikat.
Kudeta dan pembunuhan
Ketika rezim ini membangkitkan sebuah protes yang dilakukan oleh para biarawan Buddhis pada Mei 1963, AS menghentikan bantuannya.
Sejumlah biarawan secara terbuka membakar diri mereka sebagai protes, dan AS semakin merasa terganggu oleh citra publik Diệm yang tidak populer. Diệm dan Madame Nhu mengklaim bahwa pihak Komunis telah menyusup ke dalam kelompok-kelompok Buddhis. Tindakan mereka untuk menghancurkan protes-protes ini sesuai dengan kebijakan anti-komunis yang telah disetujui sebelumnya. Madame Nhu konon merujuk kejadian ini sebagai "barbecue" ("memanggang daging").
Ketika Madame Nhu, mengunjungi Amerika Serikat pada waktu itu, setelah mengetahui tentang kudeta tersebut, ia segera menyebut Amerika Serikat sebagai pelakunya. Ia belakangan mengatakan, "Barangsiapa menjadi sekutu Amerika tidak membutuhkan musuh." Madame Nhu lalu meramalkan masa depan yang gelap untuk Vietnam dan bahwa, karena keterlibatannya dalam kudeta itu, masalah-masalah AS di Vietnam baru saja dimulai.
Setelah dibunuhnya Ngô Đình Diệm, AS dapat tetap memengaruhi pemerintahan Vietnam Selatan, membantu pemilihan para pejabat yang mendukung kebijakan-kebijakan AS. Di antara banyak orang yang tahu tentang situasi politik di sekitar kematiannya (1963), pembunuhan Ngô Đình Diệm dianggap sebagai momen politik yang menentukan, yang menurut sebagian orang, pelan-pelan menyebabkan kekalahan Perang Vietnam 12 tahun kemudian (1975), namun, menurut yang lainnya lagi, mencegah Vietnam Selatan direbut pihak komunis 10 tahun lebih awal karena Diệm telah memutuskan untuk menyerah kepada ambisi-ambisi invasi Ho Chi Minh. Akibat dari kuatnya kehadiran Amerika setelah pembunuhan Diệm, terjadilah pergolakan intern di antara para pemimpin Vietnam Selatan, sementara tentara menemukan diri mereka dipaksa untuk memilih antara kepentingan-kepentingan komunis dan kepentingan-kepentingan Amerika. Pembunuhan ini juga memperkuat upaya-upaya Vietnam Utara untuk melukiskan Vietnam Selatan sebagai pendukung kolonisasi.
^Jacobs, Seth (2006). Cold War Mandarin: Ngo Dinh Diem and the Origins of America's War
in Vietnam, 1950–1963. Lanham, Maryland: Rowman & Littlefield, p.18.