Sekitar tahun 1230, kakek dari Muhammad III, Muhammad I, mendirikan Keamiran Granada, yang menjadi benteng kekuasaan Muslim terakhir di semenanjung Iberia. Melalui gabungan manuver diplomatik dan militer, Granada berhasil mempertahankan kemerdekaannya, meskipun dikelilingi oleh tetangga-tetangga yang lebih besar, yaitu Kerajaan Kastila di utara dan daulat Banu Marin di selatan (Maroko). Di bawah pemerintahan Muhammad I dan penggantinya Muhammad II, Granada berselang-seling menjadi sekutu dan musuh bagi kedua kekuatan ini, bahkan terkadang mendorong mereka untuk melawan satu sama lain, untuk menghindari dominasi absolut dari keduanya.[1]
Pemerintahan
Kenaikan takhta
Sebelum kematiannya, Muhammad II—ayah dari Muhammad III—masih sempat menyaksikan suksesnya ekspedisi militer melawan Kastila, memanfaatkan kesempatan di tengah perang antara Aragon dan Kastila (yang rajanya masih kanak-kanak). Pada bulan September 1301 Muhammad II memperoleh kesepakatan damai dengan Kastila, yang mencakup, antara lain, pengembalian Tarifa—pelabuhan penting di Selat Gibraltar[2]—kepada Granada. Perjanjian ini disahkan pada Januari 1302, tetapi tidak sempat diberlakukan karena Muhammad II meninggal tak lama setelahnya.[3]
Muhammad II meninggal pada bulan April 1302 setelah 29 tahun memimpin. Ada dugaan, seperti dikutip oleh Ibnu al-Khatib, bahwa Muhammad III, mungkin tak sabar untuk berkuasa, membunuh ayahnya dengan racun, meskipun kebenarannya belum bisa dipastikan.[4][5][a] Sebuah anekdot mengatakan bahwa saat proses penobatannya, ketika seorang penyair membacakan: Untuk siapakah panji dibentangkan hari ini? Untuk siapakah pasukan di bawah pataka berbaris, ia menjawab: "Untuk si bodoh ini, yang bisa dilihat di depan kalian semua".[6]
Perdamaian dengan Kastila dan Aragon
Karena perjanjian Muhammad II dengan Kastila batal berlaku, perang pun berlanjut. Memasuki pekan kedua Muhammad III berkuasa, tentara Granada mengambil alih Bedmar, di dekat Jaén. Muhammad III kemudian memulai negosiasi kembali. Pada tahun 1303, Kastila mengirim delegasi yang dipimpin oleh kanselir kerajaan Fernando Gómez de Toledo ke Granada. Kastila menawarkan untuk memenuhi hampir seluruh tuntutan wilayah Granada, termasuk Bedmar, Alcaudete, Quesada. Namun Tarifa—yang telah ditawarkan kepada Muhammad II sebelum kematiannya—tetap menjadi milik Kastila. Sebagai gantinya, Muhammad setuju untuk menjadi raja bawahan Ferdinand dan membayar parias (upeti), khas pengaturan perdamaian antara dua kerajaan. Perjanjian ini akan berlaku selama tiga tahun. Pada tahun 1304, Aragon berhenti berperang melawan Kastila (Perjanjian Torrellas), serta mengakui perjanjian Granada-Kastila, sehingga menciptakan perdamaian antara tiga kerajaan, meninggalkan Banu Marin terisolasi.[7]
Perjanjian ini, beserta aliansi yang dibentuk bersama Kastila dan Aragon, memberi Granada perdamaian serta posisi dominan di Selat Gibraltar. Namun hal ini bukannya tanpa masalah. Di dalam negeri, banyak yang tidak senang rajanya bersekutu dengan orang-orang Kristen, terutama para "relawan kepercayaan", sebuah kelompok militer yang datang ke Granada untuk berjihad. Selain itu, daulat Mariniyyah juga merasa tersinggung persekutuan tiga pihak ini.[8] Aragon, meski menjadi bagian dari aliansi, khawatir bahwa hubungan dekat Kastila-Granada akan memonopoli kegiatan ekonomi di Selat dan menghancurkan perdagangan Aragon. Raja Chaime II dari Aragon pun mengirim utusan, Bernat de Sarria kepada Sultan Mariniyyah Abu Yaqub Yusuf, untuk bernegosiasi—walaupun tidak berhasil.[9]
Kemunduran
Meski wazir Granada al-Dani telah berusaha untuk meyakinkan Aragon, Chaime tetap melanjutkan upaya-upaya diplomatik melawan Granada. Ini memuncak pada 1308, ketika Aragon dan Kastila menandatangani Perjanjian Alcalá de Henares. Kerajaan-kerajaan Kristen ini bersepakat untuk menghabisi Granada, tidak menandatangani perdamaian terpisah, dan kemudian membagi-bagi tanahnya. Aragon akan mendapat seperenam wilayah Granada, sementara Kastila mendapat sisanya.[10]
Sementara itu, Granada bergerak melawan Banu Marin, mencoba untuk mengambil alih Ceuta di seberang Selat. Pada 1304, penduduk Ceuta menyatakan kemerdekaan dari Banu Marin. Agen Granada seperti Abu Said Faraj, gubernur Malaga, punya andil dalam mendorong pemberontakan. Namun setelahnya, pasukan Granada memerangi para pemberontak ini dan pada 1307 Muhammad III menyatakan dirinya sebagai penguasa Ceuta. Sebelum 1307, Banu Marin berada dalam perang dengan Kerajaan Tlemcen dan dengan demikian tidak mampu untuk mengambil tindakan kuat di Ceuta. Namun pada tahun 1307, Abu Yaqub Yusuf dibunuh dan kemudian digantikan oleh Abu Tsabit Amir. Abu Tsabit mengakhiri perang melawan Tlemcen, dan membawa Banu Marin ke dalam aliansi dengan Kastila dan Aragon melawan Granada, meninggalkan Granada terisolasi.[11]
Penggulingan kekuasaan
Dengan bersatunya tiga negara tetangga untuk melawan Granada, Muhammad III menjadi sangat tidak populer di negerinya. Pada 14 Maret 1309 kudeta istana menggulingkan Muhammad dan mengeksekusi wazirnya, Ibn al-Hakim al-Rundi. Ibnu al-Hakim, yang sejak 1303 digelari dhu al-wizaratayn ("pemegang dua wazirah"), dipandang sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya dalam negara dan merupakan target utama dari kemarahan rakyat. Ia dikenal karena kekayaan dan gaya hidupnya yang boros. Rakyat Granada menjarah istananya, dan saingan politiknya Atiq bin al-Mawl membunuhnya secara pribadi. Adapun Muhammad III, ia dipaksa untuk turun takhta, tetapi diizinkan untuk tinggal di Almuñécar, tanpa gangguan yang berarti hingga kematiannya. Ia digantikan oleh saudaranya Nasr.[12]
Kepribadian
Muhammad III memiliki reputasi kekejaman dan kebrutalan. Sejarawan Ibn al-Khatib, aktif pada pertengahan abad keempat belas Granada, menulis bahwa pada awal pemerintahannya, ia mengurung prajurit pengawal ayahnya dan menolak untuk memberi mereka makan. Hal ini berlangsung berhari-hari sampai beberapa tahanan harus memakan rekan-rekan mereka yang telah mati karena rasa lapar yang luar biasa. Ketika seorang penjaga memberi mereka sisa-sisa makanan karena rasa kasihan, Muhammad mengeksekusinya sedemikian rupa sehingga darah mengalir ke dalam sel di mana para tahanan ditahan. Ibnu al-Khatib juga menuduh Muhammad membunuh ayahnya, walau hal ini tidak bisa dibuktikan. Selain karena kekejamannya, Muhammad juga dikenal suka membaca hingga tengah malam, yang mungkin saja merupakan penyebab dari penglihatannya yang buruk.[5][13]
Warisan
Berbeda dengan Muhammad I dan II yang pemerintahannya lama dan stabil, Muhammad III digulingkan setelah tujuh tahun memerintah. Sejarawan secara khusus memberinya julukan al-makhlu' ("yang digulingkan"), meskipun banyak penerusnya yang juga digulingkan.[14]
^Harvey 1992, hlm. 163, mengutip Ibn al-Khatib: "A story was put about that [Muhammad II] had been poisoned by a sweetmeat administered by his heir." Kennedy 2014, hlm. 285: "It was alleged that [Muhammad III] had in fact poisoned his father."