Mohd Asri Zainul Abidin
Sahibus Samahah Prof. Dato' Arif Perkasa Dr. Mohd Asri bin Zainul Abidin (Jawi: محمد عصري بن زين العابدين; lahir 1 Januari 1971), lebih dikenal dengan MAZA, adalah seorang ulama, pendakwah, penulis dan dosen Islam dari Malaysia. Ia saat ini menjalani masa jabatan keduanya sebagai Mufti Perlis sejak 2 Februari 2015.[1] Masa jabatan pertamanya adalah dari 1 November 2006 hingga 11 November 2008.[2] PendidikanMohd Asri dididik di sekolah menengah agama Al-Irsyad di Seberang Perai, Penang, dan melanjutkan studinya di Islamic College Klang. Dia menerima gelar sarjana dalam bahasa Arab dan Syariah, dengan pujian dari Universitas Yordania; master dalam studi Islam dari Universitas Sains Malaysia (USM), dan PhD dalam Islamic Revealed Knowledge and Heritage (Qurʾan and Sunnah studies) dari Universitas Islam Internasional Malaysia. Ia juga menerima lima gelar dalam Hadis dari India. Dia juga seorang Fellowship di Oxford Centre for Islamic Studies, Universitas Oxford, Inggris.[3] KarierMohd Asri adalah seorang penulis dan komentator aktif tentang Islam dan isu-isu keagamaan. Dia adalah seorang kolumnis untuk dua surat kabar Melayu lokal bernama Mingguan Malaysia dan Sinar Harian. Dia juga seorang penulis produktif yang telah menerbitkan banyak buku sejak tahun 2003. Dia tetap menjadi profesor tetap di Universiti Sains Malaysia saat bekerja di Kantor Perlis Mufti. Dikenal oleh masyarakat sebagai Dr. Maza (singkatan dari namanya sendiri, Mohd Asri Zainul Abidin), ia populer di kalangan anak muda yang mengikuti blognya, Minda Tajdid dan kolom di surat kabar Melayu. Buku-buku Mohd Asri mencerminkan keprihatinannya tentang apa yang dia anggap sebagai fanatisme dalam mazhab (aliran fikih), kritik terhadap pemalsuan Hadis, dan celaan terhadap Syi'ah dan beberapa praktik Sufi. Dia menganggap fenomena ini tidak sejalan dengan Islam yang “murni”, dan dia mendesak umat Islam untuk kembali ke apa yang dia yakini sebagai ajaran Islam yang benar. Ia sering mengutip sumber-sumber yang sering dirujuk oleh orang-orang yang mengikuti mazhab Salafi, seperti Ibnu Taimiyyah (w. 1328), khususnya dalam masalah kehidupan manusia dan hak asasi manusia, dan menerima ide-ide moderat dari mazhab Salafi. Berbeda dengan persepsi yang mengasosiasikan Salafisme dengan kekakuan, konservatisme, dan ekstremisme di Timur Tengah, khususnya di Arab Saudi, Asri percaya pada merek Salafi “Sunnah Perlis”, yang menekankan kebebasan dari kekakuan madhhab yang menyerukan umat Islam untuk kembali langsung ke dua sumber utama Islam dalam menangani masalah-masalah agama, yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sementara Mohd Asri mungkin konservatif dalam banyak aspek ritual keagamaan, beberapa pandangannya tentang hak-hak perempuan,[4] kebebasan beragama,[5][6] dan ibadah keagamaan sebagian besar diakui sebagai progresif. Dia juga mendesak Muslim Malaysia untuk tidak menerima Mazhab Syafi'i sebagai satu-satunya sumber hukum, tetapi untuk lebih menerima mazhab fikih lainnya.[7] Posisi ini berangkat dari apa yang diusung oleh para ulama di wilayah Nusantara yang sebagian besar menganut mazhab Syafi'i. Meski sengaja mempertahankan sikap apolitis, partai politik seperti Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) dan Partai Keadilan Rakyat (PKR) tertarik padanya. Sebagai Mufti Perlis, ia menyebarkan ajaran “Sunnah Perlis”, versi Salafi dari agenda kebangkitan dan reformasi (islah dan tajdid), dan seruannya untuk versi Islam yang “murni” dengan mengacu langsung pada Al-Qur'an dan Sunnah dan dengan menggantikan tafsir madzhab. KritikismeMeskipun beberapa orang menuduhnya menganut Wahabisme[oleh siapa?], ia tidak menerima Muhammad bin Abdul Wahhab (wafat 1793) sebagai ulama besar atau menganggapnya sebagai ulama moderat dan progresif. Asri dapat dicirikan sebagai seorang ulama moderat yang menganjurkan umat Islam untuk mengamalkan lebih dari satu mazhab secara bersamaan di dalam aliran Islam Sunni, yakni mazhab Hanbali, Syafi'i, Maliki, dan Hanafi. Ia sangat vokal dalam konteks politik dan agama Malaysia,[8] dan dalam mengkritik pelabelan partai non-Muslim tertentu dan upaya untuk mengamandemen Undang-Undang Pengadilan (Yurisdiksi Pidana) Syariah tahun 1965 untuk mengizinkan hukuman Hudud tertentu diterapkan di negara bagian tertentu di Malaysia. Pada isu-isu seperti lingkungan, dia menentang polusi. Dia menganjurkan kesopanan dalam fashion, khususnya pakaian yang pantas untuk wanita Muslim, dan Muslim dapat mengenakan pakaian tradisional non-Muslim. Kehidupan pribadiMohd Asri menikah dan dikaruniai lima orang anak, yaitu Talhah, Intisor, Ibtihal, Dihyah dan Irwa'. PenghargaanGelar kebesaranAnugerah ketokohan
Buku-buku
Referensi
|