Lim Joey Thay
Prof. dr. Lim Joey Thay alias dr. Arif Budianto (1 Desember 1926 – 11 Oktober 2011) adalah seorang dokter sekaligus lektor Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI), serta merupakan salah satu dari lima dokter yang melakukan visum terhadap Pahlawan Revolusi yang menjadi korban peristiwa Gerakan 30 September.[1][2][3] Lim Joe Thay belajar dari dua pakar forensik dunia di masa itu, yakni dr. Robert Houseman dari Texas, Amerika Serikat dan dr. Keith Simpson dari London, Inggris. Ia menyelesaikan pendidikannya di luar negeri pada tahun 1960. SejarahSetelah malapetaka Gerakan 30 September terjadi, otoritas yang berwenang pada saat itu membentuk tim yang dibentuk berdasarkan perintah Panglima Kostrad selaku Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban kepada Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta, tanggal 4 Oktober. Surat perintah bernomor PRIN-03/10-1965 itu ditandatangani Panglima Kostrad yang juga Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Mayjen Soeharto. Selanjutnya Kepala RSP-AD meneruskan perintah itu kepada kelima ahli forensik. Dokter dalam tim ini adalah dr. Brigjen Roebiono Kertopati, perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat; dr. Kolonel Frans Pattiasina, perwira kesehatan RSP Angkatan Darat; dr. Sutomo Tjokronegoro, ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman, juga profesor di FK-UI; serta dr. Liau Yan Siang, rekan Lim Joey Thay di Ilmu Kedokteran Kehakiman FK-UI. [note 1] Pada tanggal 4 Oktober 1965, pasukan yang dipimpin Pangkostrad Mayjen Soeharto menemukan tujuh mayat perwira Angkatan Darat yang diculik dan dibunuh saat Gerakan 30 September. Ketujuh perwira naas itu ialah Menteri Panglima Angkatan Darat, LetjenAhmad Yani; Deputi II Menpangad, Mayjen R. Soeprapto; Deputi III Menpangad, Mayjen Mas Tirtodarmo Harjono; Deputi IV Menpangad, Brigjen Donald Isaac Pandjaitan; Oditur Jenderal/Inspektur Kehakiman AD, Brigjen Sutoyo Siswomiharjo; Asisten I Menpangad, Mayjen Siswondo Parman; serta Lettu Pierre Tendean (Ajudan Menko Hankam/KASAB Jenderal Abdul Haris Nasution). Sesuai dengan mandat, kelima dokter tersebut berpacu dengan waktu dan proses pembusukan, mereka bekerja keras selama delapan jam, dari pukul 4.30 sore tanggal 4 Oktober, hingga pukul 12.30 tengah malam 5 Oktober, di kamar mayat RSP Angkatan Darat.
Beberapa hari kemudian pasca peristiwa Gerakan 30 September atau Gerakan 1 Oktober menjadi masa kritis politik dan stabilitas Republik Indonesia. Kabar simpang siur, suasana genting, pers yang sebelumnya liberal dan menjadi afiliasi orientasi politik tertentu ditutup pihak militer. Hanya beberapa yang diizinkan beredar. Mata Jenderal Ahmad Yani dicungkil, tulis Angkatan Bersendjata edisi 6 Oktober. Sehari kemudian, media ini mempublikasikan cerita tentang detail pembunuhan Brigjen Panjaitan di depan rumahnya. Setelah dihujani tembakan, mayat Brigjen Panjaitan dilemparkan ke dalam truk yang kemudian membawanya ke Lubang Buaya. Sebegitu mengerikannya kekuatan pasukan penculik Panjaitan ini, sampai-sampai deru mesin kendaraan yang mereka pakai saja seperti “suara harimau yang haus darah.” Berita Yudha, 8 Oktober, menegaskan kembali soal pencungkilan mata dan menambahkan bahwa para perwira Angkatan Darat ditemukan terbungkus kain hitam. Sementara, walaupun wajah Suprapto dan tengkoraknya dihantam oleh “penteror-penteror biadab” namun dia masih dapat dikenali, edisi 9 Oktober. Sehari kemudian koran yang sama menurunkan berita yang disebut bersumber dari saksi mata yang berada di lokasi pembantaian. Menurut pengakuan saksi ini, biji mata beberapa korban dicungkil keluar, sementara kemaluan beberapa lainnya dipotong. Edisi 11 Oktober Angkatan Bersendjata menuliskan laporan yang lebih detail tentang pembunuhan Lettu Tendean. Ajudan Jenderal Nasution ini disebutkan menjadi sasaran latihan tembak anggota Gerwani. Presiden Soekarno pada 13 Desember 1965 menyatakan, “Saya pada waktu itu memakai saya punya gezond verstand[note 2], Saudara-saudara. Dan dengan memakai saya punya gezond verstand, itu saya betwiffelen, ragukan kebenaran kabar ini. Tetapi saya melihat akibat daripada pembakaran yang sedemikian ini. Akibatnya ialah, masyarakat seperti dibakar. Kebencian menyala-nyala, sehingga di kalangan rakyat menjadi gontok-gontokkan, yang kemudian malahan menjadi sembelih-sembelihan.” “Nah, Saudara-saudara, waktu belakangan ini saya dapat bukti, bahwa memang benar sangkaan saya itu, bahwa jenderal-jenderal yang dimasukkan semua ke Lubang Buaya tidak ada satu orang pun yang kemaluannya dipotong. Saya dapat buktinya darimana? Visum repertum daripada team dokter-dokter yang menerima jenazah-jenazah daripada jenderal-jenderal yang dimasukkan ke dalam sumur Lubang Buaya itu.”
Akses komunikasi dan Informasi dekade 60-an masih terbatas. Paska kematian para perwira Pahlawan Revolusi menyebabkan gejolak di masyarakat. Perkembangan faksi militer pun bergulir, pemegang otoritas Pangkostrad Soeharto bergerak puncaknya legitimasi Surat Perintah Sebelas Maret melakukan manuver yang diklaimnya sebagai upaya stabilisasi keamanan, Sarwo Edhie Wibowo dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat menguasai Ibu Kota Negara termasuk Istana Negara [note 3], benturan massa basis ideologi agama dan politik memanas. Lihat jugaBacaan
Pranala luar
Catatan
Referensi
|