Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Leg before wicket

Leg before wicket (lbw)

Leg before wicket (lbw) (Indonesia: Aturan Kaki Sebelum Gawang) adalah salah satu aturan yang dapat mengeluarkan seorang pemukul dalam olahraga kriket. Setelah banding oleh pihak lapangan, wasit memerintahkan pemukul ke luar lbw jika bola akan mengenai gawang, tetapi malah dicegah oleh bagian tubuh pemukul mana pun (kecuali tangan yang memegang tongkat pemukul). Keputusan wasit akan tergantung pada sejumlah kriteria, antara lain: di mana bola dilempar, apakah bola mengenai garis gawang, lintasan bola yang diharapkan setelah mengenai pemukul, dan apakah pemukul berusaha memukul bola.

Lbw pertama kali muncul dalam hukum kriket pada tahun 1774. Saat itu, pemukul mulai memainkan bantalan kaki (pad-play) mereka untuk mencegah bola mengenai gawang. Beberapa tahun berikutnya, dilakukan penyempurnaan aturan lbw guna memperjelas lokasi sah pelemparan bola dan menghilangkan asumsi wasit terkait intensi pemukul terhadap perkenaan bola. Undang-Undang kriket tahun 1839 tetap menggunakan aturan lbw yang sama selama hampir 1 abad lamanya. Namun, di akhir abad ke-19, pemukul menjadi semakin mahir melakukan pad-play untuk mengurangi risiko mereka dikeluarkan dalam permainan. Gagalnya UU baru dalam memperbaiki pola permainan kriket kemudian mendorong revisi UU di tahun 1935. Revisi tersebut menyatakan bahwa pemukul dapat dikeluarkan berdasarkan aturan lbw, bahkan jika bola dilempar di luar garis off stump. Kritikus menilai perubahan ini membuat kriket menjadi permainan yang kurang menarik terkait dengan berkurangnya lemparan putaran kaki..

Setelah berbagai perdebatan dan perubahan peraturan, UU kriket kembali diubah pada 1972. Dalam upaya untuk mengurangi pad-play, aturan terbaru memungkinkan pemukul untuk ke luar secara lbw apabila ia tidak mencoba untuk memukul bola dengan tongkat pemukul mereka. Adanya tayangan ulang televisi dan teknologi pelacakan bola sejak tahun 1990-an nyatanya membantu wasit dalam mengidentifikasi peningkatan kejadian lbw dalam pertandingan besar. Namun, keakuratan teknologi dan konsekuensi penggunaannya masih menjadi sebuah kontroversi.

Gerald Brodribb dalam surveinya tahun 1995 tentang UU kriket menyatakan bahwa lbw adalah aturan pengusiran pemain yang menimbulkan beragam argumen dan menyebabkan masalah sedari awal.[1] UU ini banyak disalahpahami di kalangan masyarakat terkait kompleksitasnya dan juga menimbulkan kontroversi di berbagai pihak. Sejak diperkenalkannya UU kriket terbaru, proporsi pemain yang dikeluarkan karena lbw telah meningkat setiap tahunnya.[2]

Definisi

Area yang diarsir dengan warna biru pada diagram lapangan kriket di atas sejajar dengan gawang.

Aturan kaki sebelum gawang (Inggris: leg before wicket, disingkat: lbw) atau yang saat ini disebut dengan Law 36 dalam Hukum Kriket, ditulis oleh Klub Kriket Marylebone (Inggris: Marylebone Cricket Club, disingkat: MCC).[3] Sebelum pemukul dapat dikeluarkan karena lbw, tim jaga harus mengajukan banding ke wasit.[4] Jika pelempar memberikan no ball (sebutan untuk bola yang dikirimkan secara ilegal), pemukul tidak bisa ke luar lbw dalam keadaan apa pun.[3] Dalam hal ini, pemukul dapat dinilai lbw apabila bola memantul karena lemparan sejajar dengan atau di sisi luar gawang. Kemudian bola harus mengenai bagian tubuh pemukul tanpa terlebih dahulu menyentuh pemukulnya, arahnya sejajar dengan gawang, dan terus mengenai stump. Pemukul juga bisa dinyatakan ke luar lbw apabila tidak berusaha memukul bola dengan tongkat pemukul, di mana pemukul terkena bola yang akan menuju gawang di luar garis off stump. Wasit perlu berasumsi bahwa bola akan terus melaju di lintasan yang sama setelah mengenai pemukul, bahkan jika bola itu akan memantul sebelum mengenai stump.

Pemukul bisa dinyatakan ke luar lbw bahkan jika bola tidak mengenai kaki mereka. Misalnya saja, pemukul yang dikenai di bagian kepala bisa jadi lbw, meskipun situasi ini sangat jarang terjadi. Namun, pemukul tidak bisa menjadi lbw apabila bola meleset di sisi tunggul kaki atau di saat bola akan membentur gawang.[5] Demikian pula, seorang pemukul yang telah mencoba untuk memukul bola dengan tongkat pemukulnya tidak dapat menjadi lbw jika bola mengenai mereka di luar garis off stump.[6] Namun, beberapa pukulan dalam kriket, seperti pukulan beralih tekan (switch hit) atau sapuan mundur (reverse sweep), melibatkan peralihan pemukul antara posisi tangan kanan dan tangan kiri. Hal ini mempengaruhi letak sisi mati dan sisi kaki. Secara eksplisit, hukum kriket menyatakan bahwa offside ditentukan dari sikap pemukul ketika pelempar memulai run-up (persiapan pelempar sebelum mengirim bola ke pemukul).[3][7][8]

Menurut pedoman MCC untuk wasit, faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan lbw antara lain ialah sudut di mana bola bergerak, apakah bola berayun di udara, ketinggian bola saat tumbukan, dan seberapa jauh jarak antara gawang dengan pemukul yang sedang berdiri. Berdasarkan informasi tersebut, wasit perlu menentukan apakah bola akan melewati stump atau mengenai pemukul.[9] Panduan MCC menyatakan bahwa lebih mudah untuk membuat keputusan ketika bola mengenai pemukul tanpa sebuah lemparan. Namun, jika bola memantul maupun terdapat waktu yang lebih singkat antara pelemparan bola dan perkenaan pada pemukul, maka hal ini menjadi sulit untuk diputuskan.[9]

Perkembangan hukum

Asal-usul

Hukum Kriket paling awal dibuat tahun 1744[10] dan tidak memuat aturan lbw. Pemukul dalam kriket Inggris pada masa itu menggunakan tongkat pemukul melengkung yang tidak memungkinkan pemukul tersebut untuk berdiri langsung di depan gawang. Namun, adanya ketentuan khusus dalam UU kriket tahun 1744 telah memberi wasit kekuatan untuk mengambil tindakan jika pemukul "berdiri tidak adil saat ingin menyerang".[1] Seiring berjalannya waktu, tongkat pemukul kriket kemudian dimodifikasi menjadi lebih lurus, sehingga memungkinkan pemukul berdiri lebih dekat ke gawang. Karena hal tersebut, beberapa pemain dengan sengaja mulai menghalangi bola agar tidak mengenai gawang. Taktik semacam itu menuai banyak kritik.

Revisi UU kriket tahun 1774 memutuskan bahwa pemukul akan dikeluarkan, jika ia secara sengaja terbukti menghentikan bola agar tidak mengenai gawang dengan kakinya. Namun, kritikus menilai bahwa wasit dibebankan tugas yang sulit terkait penafsiran intensi pemukul dalam permainan.[1] UU kriket tahun 1788 kemudian tidak lagi mengharuskan wasit untuk memperhitungkan intensi pemukul, mengingat pemukul akan dijatuhi lbw jika ia menghentikan bola yang "dilempar lurus". Aturan ini selanjutnya mendapatkan penjelasan mendalam di tahun 1823 terkait kondisi:"bola harus dilempar dalam garis lurus ke gawang".[1] Ambiguitas aturan lbw terlihat ketika dua wasit terkemuka saling berselisih paham terkait lemparan bola harus melesat lurus dari pelempar ke gawang akhir ataukah di antara gawang di kedua ujung lapangan. Pada tahun 1839, MCC selaku pihak yang bertanggung jawab dalam perancangan Hukum Kriket, mendukung interpretasi yang terakhir dan menjatuhi pemukul ke luar lbw, jika bola terlempar di antara gawang dan akan mengenai stump.[1]

Kontroversi dan upaya reformasi

a cricketer standing in front of some stumps, preparing to hit the ball
Arthur Shrewsbury, salah satu pemukul pertama yang menggunakan bantalan kakinya untuk mencegah bola mengenai gawang.

Baik UU tahun 1839 maupun 1937 berisikan aturan lbw yang sama, meski beberapa perubahan telah diusulkan. Usulan tahun 1863 menyatakan bahwa pemukul akan dijatuhi lbw jika bola mengenai tubuhnya pada titik mana pun di antara gawang, terlepas dari letak bola dilempar, dan ketika bola akan atau tidak sama sekali mengenai gawang.[1] Banyak keluhan akan usulan tersebut hingga akhirnya terjadi peningkatan kasus lbw di kriket county semenjak 1880-an. Sampai saat itu, pemukul menggunakan bantalan kaki untuk melindungi kaki mereka; di mana penggunaan untuk tujuan lain akan dianggap sebagai tindakan yang tidak sportif, dan beberapa pemain kriket amatir (pemain kriket paruh waktu) bahkan tak menggunakannya sama sekali.[1]

Saat kriket menjadi lebih terorganisir dan kompetitif, beberapa pemukul mulai menggunakan bantalan kaki mereka sebagai garis pertahanan kedua. Mereka akan berdiri sejajar dengan bola, sehingga jika bola tersebut meleset dari tongkat pemukul mereka, maka bola akan mengenai bantalan kaki dan bukannya gawang. Arthur Shrewsbury menjadi pemain kriket tersohor pertama yang menggunakan metode ini. Kritik terhadap praktik ini kemudian meningkat seiring semakin handalnya lemparan kriket yang membuat pukulan menjadi lebih mudah, menghasilkan skor yang lebih tinggi, dan menciptakan ketidakseimbangan dalam permainan.[1]

Beberapa usulan telah dibuat untuk mencegah pad-play. Pada pertemuan perwakilan klub kriket county tahun 1888, salah satu perwakilan menyatakan pendapatnya bahwa "pemukul yang mempertahankan gawangnya dengan tubuhnya alih-alih dengan tongkat pemukulnya harus dihukum".[11] Perwakilan kemudian mendukung mosi untuk mengubah UU yang menyatakan bahwa pemukul akan ke luar lbw, jika ia menghentikan bola yang akan mengenai gawang. Aturan ini cukup berbeda dengan versi sebelumnya, karena tidak lagi memperhitungkan di mana bola dilempar relatif terhadap gawang.[11] Usulan lebih lanjut membahas tentang intensi pemukul yang perlu diperhitungkan. Usulan tersebut nyatanya tak menghasilkan perubahan UU dan MCC hanya mengeluarkan kecaman atas praktik pad-play. Dalam periode singkat, tindakan pad-play memang berkurang. Namun, ketika pad-play meningkat kembali, keputusan kedua MCC tidaklah berpengaruh secara signifikan.[1]

Diskusi lebih lanjut tentang perubahan UU terjadi pada tahun 1899, ketika beberapa pemain kriket terkemuka mendukung amandemen yang mirip dengan usulan tahun 1888. Usulan tahun 1888 sendiri menyatakan bahwa pemukul akan ke luar jika bola mengenai gawang, di tempat yang tidak relevan.[12] Pada Rapat Umum Khusus MCC tahun 1902, Alfred Lyttelton secara resmi mengusulkan amandemen ini. Mosi itu didukung oleh 259 suara berbanding 188, tetapi gagal memenangkan 2/3 suara mayoritas yang diperlukan untuk mengubah UU.[13] AG Steel selaku penentang utama perubahan tersebut meyakini bahwa adanya amandemen UU kriket akan membuat tugas wasit menjadi sangat sulit. Namun, kemudian Steel malah menyesali pendiriannya itu. Robert yang merupakan saudara laki-laki Lyttelton, mendukung perubahan UU kriket dan berkampanye selama sisa hidupnya untuk mengubah hukum lbw. Sebagai bukti bahwa pad-play meningkat dan perlu dibatasi dapat dilihat melalui peningkatan proporsi lbw dari 2% pada tahun 1870 menjadi 6% pada tahun 1890, dan 12% pada tahun 1923.[14] Pada tahun 1902, UU baru yang diusulkan dilakukan uji coba di Kejuaraan Nasional Kriket (Minor Counties Championship), tetapi kemudian dianggap gagal. Peningkatan ukuran stump ialah satu dari banyak usulan lain yang ditolak guna mengurangi dominasi pemukul atas pelempar.[15]

Perubahan UU

Antara tahun 1900 dan 1930-an, jumlah skor run (angka) oleh pemukul dan dikeluarkannya pemukul akibat lbw terus meningkat.[1] Para pelempar menjadi semakin frustrasi terhadap pad-play dan tindakan pemukul yang membiarkan bola lewat dalam rangka menghindari lemparan langsung yang diarahkan menuju off stump. Pelempar cepat Inggris bernama Harold Larwood merespons hal tersebut dengan jalan menargetkan stump di area kaki. Hal tersebut lantas berkembang menjadi sebuah taktik "bodyline" kontroversial yang ia gunakan di turnamen Australia pada tahun 1932–1933.[16] Lebih jauh lagi, beberapa pemukul memilih untuk menendang bola yang dilempar ke luar dari sisi off stump demi menghindari hukuman lbw akibat perkenaan di bagian bantalan kaki. Pihak berwenang meyakini bahwa maraknya taktik ini menjadikan permainan kriket sebagai sebuah hiburan yang bernilai buruk.[17] Pada puncak kontroversi bodyline di tahun 1933, Donald Bradman, selaku pemukul kriket terkemuka asal Australia, menulis kepada MCC agar merekomendasikan perubahan UU lbw untuk menciptakan permainan yang lebih menarik.[16]

A head shot of a man in a blazer.
Bob Wyatt menentang revisi undang-undang lbw pada tahun 1935 dan berkampanye menentangnya sampai kematiannya.

Beberapa perubahan pada UU dibuat oleh MCC dengan tujuan untuk mengatasi masalah yang timbul akibat lbw dan memulihkan keberimbangan permainan bagi pelempar kriket. Perubahan tersebut melingkupi pengurangan ukuran bola pada tahun 1927 dan peningkatan ukuran stump pada tahun 1931.[15] Walau begitu, nyatanya perubahan tersebut tidak banyak berpengaruh.[1] Antara tahun 1929 dan 1933, otoritas daerah melakukan uji coba di mana seorang pemukul bisa menjadi lbw jika ia memukul bola ke bantalan kakinya.[1] Kemudian, pada tahun 1935, sebuah hukum eksperimental diperkenalkan. Hukum tersebut menyebut bahwa pemukul dapat dikeluarkan karena lbw bahkan jika bola kriket dilempar ke luar garis off stump. Dengan kata lain, bola yang berputar atau diayunkan ke pemukul, tetapi tidak melenggang menuju gawang. Wasit akan memberi isyarat kepada pencetak skor ketika ia menganggap pemukul ke luar lbw sesuai aturan baru.[1]

Beberapa pemukul profesional seperti Herbert Sutcliffe (pemukul dengan teknik pad-play) dan pemukul amatir (pemain kriket paruh waktu), yakni Errol Holmes dan Bob Wyatt, menentang UU baru tersebut. Almanack Wisden Cricketers menilai bahwa ketiganya meningkatkan rekor pukulan mereka selama musim 1935, tetapi sebagian besar pemukul lainnya kurang berhasil akan hal tersebut. Atas hal itu pula, terdapat lebih sedikit pertandingan imbang.[15] Peningkatan jumlah lbw juga terjadi,[1] yakni 1.560 lbw dalam pertandingan kelas satu di tahun 1935 dan 483 lbw ketika UU telah diamandemen. Wisden menilai eksperimen itu sukses dan beberapa penentang berubah pikiran di akhir musim[18] dan pemukul kriket mulai beradaptasi dengan hal tersebut. Meskipun otoritas Australia kurang yakin dan tidak segera memperkenalkan revisi ke dalam kriket kelas satu domestik,[19] pada tahun 1937 aturan baru menjadi bagian dari Hukum Kriket.[1]

Dalam survei dan sejarahnya tentang Hukum Kriket, Gerald Brodribb menyatakan bahwa perubahan tersebut menghasilkan kriket yang lebih "menantang", menarik tetapi sayangnya perubahan tersebut segera terhenti akibat Perang Dunia II. Ketika olahraga dilanjutkan pada tahun 1946, pemukul menjadi kurang mahir dan amandemen UU lbw telah memihak pada pelempar off spin (tidak berputar) dan inswing (ayunan), di mana pola ini yang mendominasi kriket county.[1] Sejarawan kriket bernama Derek Birley menilai bahwa banyak pelempar kriket meniru gaya lemparan Alec Bedser, seorang pelempar inswing yang bermain pasca perang; tetapi hal tersebut membuat permainan kriket menjadi membosankan. Revisi hukum lbw yang cukup memihak pelempar nyatanya mendorong pola lemparan tersebut.[15] UU baru terus memicu perdebatan di antara pembuat UU dan pemain kriket. Banyak mantan pemain mengklaim bahwa perubahan tersebut telah menyebabkan penurunan pukulan dan jumlah tembakan yang dimainkan dalam offside.[17] Tulisan yang dimuat The Times tahun 1963 menyalahkan perubahan UU karena dirasa akan mengurangi variasi gaya lemparan dan menyebabkan permainan kriket kurang menarik untuk ditonton daripada sebelumnya. Beberapa kritikus, termasuk Bob Wyatt, menyatakan bahwa UU lbw harus dikembalikan ke usulan sebelum tahun 1935.[12] Ia berkampanye untuk hal tersebut hingga kematiannya di tahun 1995.[20] Di sisi lain, Bradman, pada 1950-an, mengusulkan perpanjangan UU sehingga pemukul bisa dijatuhi lbw bahkan jika mereka terkena di luar garis off stump.[21] Sebuah studi MCC tahun 1956 dan 1957, meneliti taktik yang lazim dan tidak populer dalam kriket yang melibatkan pelempar off spin dan inswing yang membidik tunggul kaki dengan pemain jaga (fielder) terkonsentrasi di sisi kaki. Alih-alih mengubah hukum lbw untuk mengatasi masalah tersebut, MCC hanya mengurangi jumlah fielder yang diizinkan berada di sisi kaki.[6]

Bermain tanpa tembakan

Lebih sulit dan tidak terduganya sebuah lemparan menyebabkan peningkatan jumlah pad-play di era 1950-an dan 1960-an. Kritikus memandang hal ini sebagai sesuatu yang "negatif dan tidak adil".[22] Dalam rangka mencegah pad-play dan mendorong lemparan putaran kaki, pembaruan hukum lbw kemudian diperkenalkan. Hukum itu awalnya diperkenalkan di Australia dan Hindia Barat pada turnamen 1969-1970, kemudian menyebar ke Inggris pada tahun 1970. Revisi hukum tersebut menyatakan bahwa seorang pemukul akan dianggap lbw jika bola mengarah ke stump yang sejajar dengan gawang atau berada di luar off stump pemukul berdasarkan pendapat wasit; yang menyatakan pemukul tersebut tak memiliki intensi untuk memukul bola dengan tongkat pemukulnya.[22] Revisi ini menghapus persyaratan bahwa tumbukan harus sejajar dengan gawang.[22] Hal ini berarti bahwa setiap pemukul yang melakukan tembakan, maka ia tidak bisa ke luar lbw, jika bola telah dilempar ke luar dari stump. Sehingga, peraturan ini jelas berbeda dengan hukum kriket tahun 1935.[14] Editor Wisden meyakini bahwa perubahan tersebut akan mendorong pemukul untuk dapat mengambil lebih banyak risiko dan selanjutnya menghasilkan permainan kriket yang lebih menarik.[23] Bagaimanapun, proporsi gawang yang terkena lbw menurun secara drastis[2] dan kekhawatiran itu telah diungkapkan di Australia.[23] Pihak berwenang Australia mengusulkan pengembalian ke UU sebelumnya. Seorang pemukul bisa saja berada diluar jangkauan bola ketika bola yang dilempar ke luar off-stump, tetapi ketentuan ditambahkan bahwa "Jika tidak ada pukulan yang diberikan pada bola yang dilempar di luar off-stump dan menurut pendapat wasit bola tersebut akan mengenai stump, tetapi malah mengenai pemukul pada bagian mana pun selain tangan, maka pemukul dinyatakan ke luar, bahkan jika bagian dari orang yang dipukul itu tidak sejajar antara gawang dan gawang.".[23] Perbedaan dengan aturan 1935 ialah bahwa pemukul menurut aturan baru bisa dinyatakan ke luar lbw bahkan jika bola mengenai di luar garis off-stump.[23] Penjelasan tambahan itu kemudian diadopsi di seluruh dunia sejak tahun 1972, meskipun aturan tersebut belum menjadi bagian dari hukum resmi. Setelah itu, persentase lbw pun meningkat tajam dan melampaui perubahan UU tahun 1970. Revisi aturan lbw oleh MCC ini kemudian dimasukkan dalam Hukum Kriket di tahun 1980[24] dan masih digunakan sejak tahun 2013.[3]

Efek teknologi

Peningkatan lbw di setiap musim olahraga Inggris telah berlangsung sejak tahun 1993. Menurut sejarawan kriket, Douglas Miller, persentase keluarnya pemain terkait lbw meningkat setelah penyiar memasukkan teknologi pelacakan bola. Sebagai contoh, teknologi Hawk-Eye yang masuk ke dalam liputan pertandingan di televisi. Miller menulis bahwa adopsi Hawk Eye dalam olahraga menunjukkan keakuratannya, di mana tayangan ulang memperlihatkan potensi lbw dibandingkan apa yang diperkirakan sebelumnya.[2] Ia juga menunjukkan bahwa wasit telah dipengaruhi oleh bukti tersebut terkait kemungkinan mereka untuk menghukum ke luar bagi pemukul yang berdiri lebih jauh dari stump.[2] Tren ini kemudian diterapkan juga dalam kriket internasional. Pelempar spin secara khusus memenangkan lebih banyak banding untuk lbw.[25] Namun, penggunaan teknologi ini di lapangan terbukti kontroversial. Beberapa kritikus menganggap teknologi ini lebih dapat diandalkan daripada penilaian manusia, sementara yang lain percaya bahwa wasit lebih baik untuk membuat keputusan.[26]

Dewan Kriket Internasional (Inggris: International Cricket Council, disingkat: ICC) melakukan uji coba pada tahun 2002 dan menyatakan bahwa banding lbw dapat dirujuk ke wasit ketiga guna meninjau tayangan ulang televisi.[27] Wasit ketiga hanya dapat menggunakan teknologi untuk menentukan di mana bola telah dilempar dan apakah pemukul telah memukul bola dengan tongkat pemukulnya.[26] ICC menilai eksperimen ini tidak berhasil, sehingga tidak lagi dilanjutkan.[27] Percobaan selanjutnya baru dilakukan pada tahun 2006, meskipun teknologi pelacakan bola tetap tidak dapat menandingi peran petugas lapangan.[28] Setelah serangkaian percobaan pada tahun 2009, Sistem Peninjauan Keputusan Wasit (Inggris: Umpire Decision Review System, disingkat: DRS) dibawa ke kriket internasional.[29] Dave Richardson selaku manajer umum ICC mengatakan bahwa DRS meningkatkan frekuensi wasit dalam menentukan keputusan lbw. Dalam sebuah wawancara tahun 2012, ia mengatakan bahwa DRS mampu memperbaiki keputusan keliru lbw yang dijatuhkan wasit, sehingga wasit akan memiliki keberanian lebih dalam pengambilan keputusan. Ia menambahkan bahwa DRS telah mempengaruhi permainan kriket lebih dari yang diduga.[28]

Penggunaan DRS dikritik karena dianggap telah menciptakan inkonsistensi keputusan lbw.[30] Dalam hal ini, para penentang meragukan keandalan teknologi pelacakan bola dalam menentukan potensi lbw. Namun, ICC menyatakan bahwa uji coba sebelumnya telah menunjukan akurasi sistem tersebut sebesar seratus persen.[31] Dewan Kontrol Kriket di India (Inggris: Board of Control for Cricket in India, disingkat: BCCI) secara konsisten menolak penggunaan DRS di seluruh pertandingan yang melibatkan India. Hal ini disebabkan karena BCCI masih merasa khawatir terhadap teknologi tersebut. Uji coba awal DRS pada pertandingan kriket India misalnya, telah memunculkan beragam masalah dalam memutuskan lbw, yang secara khusus terkait dengan kurang canggihnya peralatan.[32] BCCI meyakini bahwa teknologi ini tidak dapat diandalkan dan dapat memanipulasi permainan.[33] Walau begitu, nyatanya BCCI kemudian mengadopsi teknologi ini di tahun 2016.[34]

Tren dan persepsi

Studi yang dilakukan Douglas Miller tahun 2011 menunjukkan bahwa sejak Perang Dunia I, proporsi gawang yang dijatuhi lbw dalam kriket county Inggris telah meningkat secara terus-menerus. Peningkatan lbw terlihat dari 11% di tahun 1920-an dan meningkat menjadi 14% di tahun 1930-an. Proporsi lbw berada di angka 11% selama rentang 1946-1970, dan kemudian mencapai hampir 19% selama satu dekade sebelum 2010.[2] Melalui tulisannya, Miller juga menyatakan bahwa kapten dari tim county secara statistik lebih mendapat peruntungan akan keputusan lbw. Hal ini terkait karena kemungkinan kecil untuk dinyatakan ke luar lbw saat memukul dan sebaliknya, besar kemungkinannya bagi tim pemukul untuk diatuhi lbw saat pelemparan berlangsung.[2] Selama bertahun-tahun, kapten county mengajukan banding di akhir pertandingan kepada wasit dan mendapatkan kelonggaran saat memukul atau melempar. Sebelum tahun 1963, ketika status kriket county dihapuskan, wasit juga lebih toleran terhadap pemain kriket amatir. Amatir mengelola kriket Inggris dan menyinggung bahwa seseorang dapat mengakhiri karir wasit.[14] Secara statistik, lbw lebih mungkin terjadi dalam pertandingan di sub benua India. Namun, pemukul dari sub benua faktanya menyumbang sedikit lbw di mana pun mereka bermain di dunia.[35]

Tim yang melakukan perjalanan ke negara lain seringkali menjadi frustrasi akibat hukuman lbw.[36] Hal ini terkait adanya asumsi bias nasional yang dilakukan oleh wasit tuan rumah terhadap tim tamu.[26] Beberapa penelitian yang menyelidiki asumsi ini menyatakan bahwa terkadang pemukul dari tim tuan rumah dijatuhi lbw lebih sedikit dibandingkan pemukul dari tim tamu.[26][35][37] Bagaimanapun, data tersebut didasarkan pada keputusan lbw yang diberikan dan bukan dari banding ke wasit.[37] Fraser menunjukkan bahwa studi ini tak mungkin dapat menentukan potensi lbw, jika terdapat keputusan yang salah. Khususnya yang terkait bahwa hukum lbw dapat memiliki interpretasi yang berbeda, atau jika terdapat faktor lain, seperti: kondisi pitch dan teknik yang digunakan.[26] Sebuah studi tahun 2006 meneliti efek netralitas wasit terhadap tingkat lbw. Meskipun alasannya juga ambigu,[35] ditemukan bahwa terdapat sedikit peningkatan lbw di bawah komando wasit yang netral, terlepas dari faktor tim atau lokasi pertandingan kriket.[35]

Gerald Brodribb dalam survei UU kriket menyatakan bahwa lbw adalah aturan pengusiran pemain yang menimbulkan beragam argumen dan menyebabkan masalah sedari awal. Bagi mereka yang tidak menggemari kriket, UU tersebut sangat sulit dipahami terkait kompleksitasnya yang setara dengan aturan offside pada sepak bola.[38] Karena kesulitan interpretasinya, kritikus memandang lbw sebagai UU yang paling kontroversial, tetapi juga menjadi tolak ukur kemampuan analisa wasit.[36] Dalam bukunya yang berjudul "Cricket and the Law: The Man in White Is Always Right", David Fraser menulis bahwa keputusan lbw wasit sering dikritik, argumennya dianggap bias, dan penyelesaian yang dirasa kurang kompeten.[26] Masalah timbul karena wasit berperan tidak hanya memutuskan apa yang telah terjadi, melainkan juga perannya dalam berspekulasi mengenai apa yang mungkin terjadi. Aspek kontroversial dalam keputusan lbw ialah ketika wasit menentukan apakah bola dilempar ke luar tunggul kaki ataupun memutuskan intensi pemukul terhadap bola.[26] Baik pemain, komentator, dan penonton sering mengkritik keputusan lbw yang diputuskan oleh wasit.[26] Secara historis, keputusan lbw memunculkan beragam masalah, mulai dari protes dan adu argumen hingga demonstrasi massa. Sebagai contoh, ketika Mohammad Azharuddin dijatuhi lbw selama One Day International 1996 di India, menyebabkan munculnya kerumunan panjang, di mana mereka melempar barang-barang ke dalam lapangan dan menyebabkan tertundanya pertandingan.[39]

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p Brodribb, Gerald (1995). Next Man In: A Survey of Cricket Laws and Customs. London: Souvenir Press. hlm. 1–288. ISBN 9780285632943. 
  2. ^ a b c d e f Miller, Douglas (2011). "Leg Before Wicket" (PDF). Association of Cricket Statisticians and Historians. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  3. ^ a b c d MCC (2013). "Law 36 – Leg before wicket". Lords Organization. MCC. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  4. ^ MCC (2013). "Law 31 – Appeals". Lords Organization. MCC. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  5. ^ BBC Sport (2005). "Ways of getting out: Leg before wicket". BBC Sport. BBC Sport. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  6. ^ a b BBC UK (2006). "Not out LBW: Outside line of off stump". BBC Sport. BBC Sport. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  7. ^ Bull, Andy (2008). "MCC endorses Pietersen's switch-hitting". The Guardian. London. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  8. ^ MCC (2012). "MCC looking at switch hit options". Lords Organization. MCC. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  9. ^ a b MCC (2010). "Law 36 in Action". Lords Organization. Marylebone Cricket Club. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  10. ^ ESPN Cricket (2013). "A brief history of cricket". ESPN. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  11. ^ a b ESPN Cricket (1889). "The leg before wicket question: Meeting of the County Cricket Council, 1889". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  12. ^ a b Pardon, Sydney H (1899). "High scoring and the law of leg-before wicket". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  13. ^ Stephen, Moss (2006). Wisden Anthology 1978-2006: Crickets Age of Revolution. London: John Wisden. hlm. 1–240. ISBN 9781905625062.  [pranala nonaktif permanen]
  14. ^ a b c Marshall, Michael (1987 (1987). Gentlemen and Players: Conversations with Cricketers. London: Grafton Books. hlm. 1–424. ISBN 9780246118745. 
  15. ^ a b c d Birley, Derek (2003). A Social History of English Cricket. London: Aurum Press. hlm. 1–420. ISBN 9781854106223. 
  16. ^ a b Frith, David (2003). Bodyline Autopsy. The full story of the most sensational Test cricket series: Australia v England 1932–33. London: Aurum Press. hlm. 1–480. ISBN 9781854109316.  [pranala nonaktif permanen]
  17. ^ a b Ross, Gordon (1975). "200 years of laws: And lbw still the most controversial". Wisden Cricketers' Almanack. John Wisden & Co., reproduced by ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  18. ^ ESPN Cricket (1936). "Success of the L. B. W. experiment". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  19. ^ Brookes, Wilfrid (1936). "Notes by the Editor". Wisden Cricketers' Almanack. John Wisden & Co., reproduced by ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  20. ^ ESPN Cricket (1996). "Bob Wyatt (Obituary)". Wisden Cricketers' Almanack. John Wisden & Co., reproduced by ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  21. ^ Preston, Norman (1952). "Notes by the Editor". Wisden Cricketers' Almanack. John Wisden & Co., reproduced by ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  22. ^ a b c Preston, Norman (1970). "Notes by the Editor". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  23. ^ a b c d Preston, Norman (1971). "Notes by the Editor". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  24. ^ Preston, Norman (1980). "Notes by the Editor". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  25. ^ Dobell, George (2012). "DRS has affected the game more than we thought it would". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  26. ^ a b c d e f g h Fraser, David (2003). Cricket and the Law: The Man in White is Always Right. London: Routledge. hlm. 1–422. ISBN 9780714653471.  [pranala nonaktif permanen]
  27. ^ a b BBC UK (2005). "Cricket for beginners". BBC. BBC Sport. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  28. ^ a b Tribune India (2006). "Players can appeal to third umpire". Tribune India. Chandigarh. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  29. ^ ESPN Cricket (2009). "Official debut for enhanced review system". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  30. ^ Selvey, Mike (2012). "DRS is a friend to nobody—for the good of the game it needs a rethink". The Guardian. London. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  31. ^ Wilson, Andy (2012). "India refuse to accept umpire decision review system despite new pressure". The Guardian. London. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  32. ^ ESPN Cricket (2013). "BCCI a 'long way' from accepting DRS – Richardson". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  33. ^ Gollapudi, Nagraj (2013). "India threaten pull-out over DRS". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  34. ^ The Hindu (2016). "BCCI finally relents on DRS". The Hindu. Diakses tanggal 22 Februari 2022 – via www.thehindu.com. 
  35. ^ a b c d Ringrose, Trevor J (2006). "Neutral umpires and leg before wicket decisions in test cricket". Journal of the Royal Statistical Society. 169 (4): 903–911. doi:10.1111/j.1467-985X.2006.00433.x. 
  36. ^ a b Nasim, Rafi (2000). "LBW – The cause of crisis in cricket". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  37. ^ a b Crowe dkk (1996). "A Comparison of Leg Before Wicket Rates Between Australians and Their Visiting Teams for Test Cricket Series Played in Australia, 1977-94". Journal of the Royal Statistical Society. 45 (2): 255. doi:10.2307/2988414. 
  38. ^ BBC UK (2006). "LBW explained". BBC. BBC Sport. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
  39. ^ "Titan Cup: Third Qualifying Match. India v Australia". Wisden Cricketers' Almanack. ESPNCricinfo. 1998. Diakses tanggal 22 Februari 2022. 
Kembali kehalaman sebelumnya