Kritik terhadap hak cipta, atau juga disebut sentimen antihak cipta, adalah pandangan tidak setuju terhadap peraturan perundang-undangan ataupun konsep mengenai hak cipta. Kaum kritikus banyak membahas dari segi filosofis, ekonomi, atau dampak sosial dari undang-undang tersebut serta implementasinya, yang diklaim luarannya tidak memberikan manfaat berarti bagi masyarakat. Banyak yang menganjurkan untuk mengubah sistem tersebut, meski ada kelompok lain dengan gagasan yang berbeda. Bahkan ada yang menyerukan remisi kebijakan ke keadaan sebelumnya—hak cipta dahulu hanya mencakup ciptaan tertentu dan memiliki batas jangka waktu yang lebih pendek—atau alternatifnya adalah meluaskan konsep seperti penggunaan wajar yang mengizinkan pengumuman dan penggandaan tanpa izin. Bahkan ada yang mengabolisi aturan hak cipta.
Tentangan terhadap kebijakan hak cipta seringkali dilakukan oleh gerakan-gerakan reformasi sosial. Misalnya, Lawrence Lessig, salah satu penggagas budaya bebas, mengajukan untuk melonggarkan undang-undang hak cipta sebagai cara mempermudah penyampaian informasi dan juga menangani ciptaan yatim.[1] Partai Bajak Laut Swedia juga menganjurkan suatu pembatasan hak cipta dalam jangka waktu lima tahun agar melegalkan pengunduhan mayoritas ciptaan modern oleh kalangan anggotanya.[2]
Pirate Cinema dan kelompok seperti The League of Noble Peers membuat argumen yang cukup radikal, menentang kebijakan hak cipta. Banyak organisasi antihak cipta muncul dalam perdebatan tentang pembagian berkas secara peer-to-peer, kebebasan digital, dan kebebasan informasi; misalnya Association des Audionautes[3][4] dan Gereja Kopimisme.[5][6]
Pada tahun 2003, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Columbia Eben Moglen, menerbitkan The DotCommunist Manifesto, yang menafsirkan ulang Manifesto Komunis karya Karl Marx dalam konteks berkembangnya teknologi komputer dan internet; banyak dari konten yang ditafsirkan ulang membahas hukum hak cipta dan hak eksklusif lainnya dengan pendekatan istilah Marxis.[7]
Berkembangnya BitTorrent dan berbagi berkas secara peer-to-peer disebut para komentator media sebagai "perang melawan hak cipta", dengan The Pirate Bay disebut sebagai "pentolan dari masyarakat antihak cipta internasional yang terus berkembang — atau gerakan pro-pembajakan".[8][9] Salah satu contoh pembangkangan sipil elektronik dalam bentuk pembajakan besar-besaran terjadi pada 24 Februari 2004, dalam peristiwa Selasa Kelabu. Banyak aktivis yang melanggar hak cipta EMI atas The White Album karya The Beatles dengan mendistribusikan berkas MP3 dari album mashup The Grey Album, dalam rangka menarik perhatian publik terhadap reformasi hak cipta dan tujuan antihak cipta. Lebih dari 400 situs web dilaporkan berpartisipasi termasuk 170 yang menyediakan album tersebut bersama para pendemo yang menyatakan bahwa hadirnya The Grey Album menunjukkan perlunya revisi undang-undang hak cipta untuk memungkinkan sampling sesuai dengan ketentuan penggunaan wajar materi berhak cipta, atau mengusulkan kompensasi yang wajar terkait sampling.[10][11]
Kelompok yang memilih mengubah UU hak cipta
Association des audionautes, organisasi Prancis, bukanlah gerakan yang antihak cipta, melainkan lebih mengusulkan adanya reformasi dalam rangka penegakan hak cipta dan kompensasi. Salah satu pendiri grup, Aziz Ridouan, mengajukan agar Prancis mengizinkan berbagi berkas secara peer-to-peer dan memberi kompensasi kepad artis seperti biaya penyedia jasa Internet (sebagai kompensasi alternatif). Majalah Wired melaporkan bahwa perusahaan musik besar menyambat proposal Ridouan dengan melegalkan pembajakan.[3] Pada Januari 2008, tujuh anggota fraksi Partai Moderat (yang merupakan koalisi propemerintah), menulis dalam sebuah tabloid yang menyerukan dekriminalisasi yang utuh dari berbagi berkas; "Dekriminalisasi berbagi semua berkas nonkomersial dan mengajak pasar untuk beradaptasi bukan sekadar solusi terbaik. Inilah satu-satunya solusi, kecuali kita ingin mengontrol apa yang dilakukan warganet secara luas." [12]
Pada 2015, artikel WIPO berjudul "Remix culture and Amateur Creativity: A Copyright Dilemma"[13] mengakui "era mencampur" dan perlunya reformasi hak cipta, merujuk pada kasus Lenz v.Universal Music Corp. dan Undang-Undang Modernisasi Hak Cipta Kanada.
Kelompok yang memilih menggunakan UU hak cipta yang ada
Kelompok yang memilih menggunakan kerangka hukum hak cipta yang ada dengan lisensi khusus untuk mencapai tujuan misalnya copyleft[14] dan Creative Commons.[15] Creative Commons dasarnya bukanlah antihak cipta, melainkan mengusulkan dan mendukung penggunaan lisensi hak cipta secara fleksibel dan terbuka sesuai dengan peraturan hak cipta yang berlaku.[16] Creative Commons berposisi bahwa ada permintaan yang tidak terpenuhi atas fleksibilitas yang mengizinkan pemegang hak ciptanya untuk melepaskan ciptaannya hanya dengan "sebagian hak cipta dilindungi undang-undang" atau bahkan "tidak ada hak cipta". Menurut Creative Commons, orang-orang tidak menganggap hak cipta konvensional membantu mereka memaparkan dan menyebarluaskan ciptaan. Creative Commons mengaku bahwa lisensi mereka memudahkan para pengusaha dan seniman untuk menggunakan model bisnis inovatif alih-alih hak cipta konvensional untuk melindungi investasi kreatif mereka.[17]
Para akademisi dan komentator
Sejumlah akademisi yang pernah menyinggung hal ini adalah Lawrence Liang,[18] Jorge Cortell,[19] Rasmus Fleischer,[20] Stephan Kinsella, dan Siva Vaidhyanathan .
Ada pendapat bahwa hak cipta tidak sah karena, tak seperti kekayaan fisik, kekayaan intelektual tidaklah selangka itu dan dianggap sebuah fiksi hukum yang dibuat oleh negara. Klaimnya, pelanggaran hak cipta, tidaklah seperti pencurian, karena tak menghilangkan korban atas barang aslinya.[22][23][24]
Perbandingan historis
Tidak ada bukti yang jelas bahwa UU hak cipta dapat menstimulasi hak ekonomi bagi penciptanya, dan biasanya tidak lazim untuk dievaluasi terkait kajian empiris atas dampaknya.[25][26][27]
Terhadap teknologi informasi
Salah satu pendiri Piratbyrån, Rasmus Fleischer, berpendapat bahwa UU hak cipta tak dapat mengakomodasi dunia Internet, dan dianggap sudah usang. Menurutnya, Internet, dan khususnya Web 2.0 telah memberikan status tak tetap dari gagasan "mencuri" itu sendiri. Ia berpendapat bahwa untuk mengawasi Web 2.0, UU hak cipta abad ke-21 terus memperhatikan kriminalisasi teknologi, yang mengarah pada aduan terhadap mesin pencari, semata-mata karena memberikan pranala kepada dokumen elektronik berhak cipta. Fleischer menjelaskan baha Google, meski tak terbantahkan, sebagian besar beroperasi di zona kelabu hak cipta (misalnya model bisnis Google Buku dalam menampilkan jutaan buku-buku berhak cipta dan bebas hak cipta cipta sebagai bagian dari rencana bisnis yang menarik pendapatannya dari iklan). Sebagian lainnya berpendapat bahwa Google Buku membatasi banyak halaman atau porsi halaman lainnya dari buku-buku yang sama, dan mereka mengaku tidak akan merugikan martabat kewajaran dari pemegang hak ciptanya.[28]
Fleischer berargumen bahwa hak cipta dianggap usang sehubungan dengan berkembangnya Internet; biaya penegakan hukumnya tidak masuk akal, dan model bisnisnya perlu beradaptasi dengan Darknet.[29]
Argumen budaya
Kebebasan pengetahuan
Hipatia dan kelompok-kelompok lainnya mengusulkan argumen antihak cipta atas nama "kebebasan pengetahuan" dan pengetahuan harus "dibagikan secara solid". Pandangan "pengetahuan bebas" disebutnya sebagai sebuah hak, dan/atau dasar hak atas pendidikan, sebagai bagian dari hak asasi manusia yang diakui secara internasional, serta hak atas budaya dan komunikasi bebas. Menurut mereka, undang-undang hak cipta saat ini masih menghalangi realisasi hak-hak ini dalam masyarakat yang akhir-akhir ini sudah menggunakan teknologi komunikasi baru dan menganggap UU hak cipta masih mencegah atau memperlambat kemajuan manusia.[30]
Kepengarangan dan kreativitas
Lawrence Liang, pendiri Alternative Law Forum, menganggap bahwa hak cipta saat ini masih didasarkan pada pengertian yang terlalu sempit tentang "pencipta", yang dianggap jelas dan tak dipersoalkan lagi. Liang mengamati bahwa konsep "pencipta" diasumsikan memiliki makna universal di berbagai lintas budaya dan waktu. Sebaliknya, Liang berpendapat bahwa gagasan pencipta sebagai makhluk yang khas dan transenden, memiliki keaslian jiwa, lahir di Eropa setelah Revolusi Industri, untuk membedakan kepribadian pencipta dari ranah barang produksi massal yang berkembang. Artinya ciptaan yang dibuat oleh "pencipta" dianggap orisinal, dan bersatu dengan doktrin properti (kekayaan) yang lazim pada saat itu.[31]
Liang berpendapat bahwa konsep "pencipta" berkaitan dengan gagasan hak cipta dan muncul untuk mendefiniskan hubungan sosial yang baru – cara masyarakat memandang kepemilikan pengetahuan. Dengan demikian, konsep "pencipta" menaturalisasi proses produksi pengetahuan tertentu yaitu lebih mengutamakan "kepengarangan/kepemilikan individu" daripada konsep "pengetahuan komunitas".[31] Bergantung pada konsep pengarang dan kepengarangan (authorship), hak cipta tercipta berdasarkan asumsi bahwa jika tak ada kekayaan intelektual, pencipta tidak akan tergerak untuk terus berkarya, dan seniman tidak dapat menciptakan suatu karya baru tanpa adanya insentif ekonomi. Sekali lagi Liang menantang logika ini, dengan menyebut "banyak pencipta yang memiliki sangat sedikit harapan untuk menemukan pasar untuk ciptaan mereka serta hak ciptanya, sehingga seringkali hampir tidak berharga di masa lalu, sehingga mereka terus berkarya."[31] Liang menunjukkan bahwa orang menciptakan suatu karya untuk kepuasan pribadi, atau agar dipuji orang-orang di sekitarnya. Liang berpendapat bahwa pada abad ke-19, kepengarangan karya sastra terus berkembang tanpa diikuti hak cipta yang dapat menguntungkan penulisnya. Liang berpendapat, pelindungan hak cipta lebih menguntungkan perusahaan penerbit, dan jarang memberikan royalti pada penulis.[31]
Pelestarian karya bersejarah
Pusat Studi Domain Publik mengkhawatirkan panjangnya masa berlaku pelindungan karya cipta, khususnya di Amerika Serikat, menyebabkan film dan karya seni budaya musnah atau dimusnahkan sebelum digitalisasi.[32] Pusat studi tersebut sudah menegaskan bahwa panjangnya masa berlaku hak cipta "sangat edan" dengan manfaat ekonomi yang sedikit kepada pemegang hak dan mencegah upaya masyarakat dan pemerintah untuk melestarikan benda-benda bersejarah.[32] Sang direktur pusat studi Jennifer Jenkins mengingatkan bahwa begitu masa berlaku pelindungan hak cipta atas karya tersebut adalah 95 tahun pascapengumuman di Amerika Serikat, banyak karya seni budaya Amerika Serikat seperti film dan lagu-lagu jadul menghilang sebelum pelindungannya berakhir.[33]
Masalah etika
Ada lembaga hak cipta yang mengangkat masalah etika. Selmer Bringsjord menganggap bahwa segala penggandaan diizinkan (asal tidak komersial), karena beberapa bentuk-bentuk penyalinan diperbolehkan dan tidak ada perbedaan logis.[34]
Edwin Hettinger berpendapat bahwa argumen hak kekayaan intelektual yang hadir secara otomatis itu lemah dan adanya tradisi filosofis yang membenarkan kekayaan tak dapat membantu kita berpikir tentang kekayaan intelektual.[35][36]
Shelly Warwick yakin bahwa undang-undang hak cipta yang saat ini berlaku tak tampak memiliki landasan etis yang konsisten.[37]
Sejak tahun 2022 hingga 2023, banyak orang mengkhawatirkan gambar-gambar yang dibuat oleh AI ("seni AI"). Hal ini menyebabkan apakah etis menggunakan materi berhak cipta sebagai sebuah penggunaan wajar, atau apakah luaran gambar/model AI tersebut juga berhak cipta.[38]
^Rostama, Guilda (June 1, 2015). "Remix Culture and Amateur Creativity: A Copyright Dilemma". WIPO. Diakses tanggal 2016-03-14. in 2013 a district court ruled that copyright owners do not have the right to simply take down content before undertaking a legal analysis to determine whether the remixed work could fall under fair use, a concept in US copyright law which permits limited use of copyrighted material without the need to obtain the right holder's permission (US District Court, Stephanie Lenz v. Universal Music Corp., Universal Music Publishing Inc., and Universal Music Publishing Group, Case No. 5:07-cv-03783-JF, January 24, 2013).[...] Given the emergence of today's "remix" culture, and the legal uncertainty surrounding remixes and mash-ups, the time would appear to be ripe for policy makers to take a new look at copyright law.
^"What is Copyleft?". Diarsipkan dari versi asli tanggal July 29, 2008. Diakses tanggal 2008-07-29.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Heald, Paul J. (2007). "Property Rights and the Efficient Exploitation of Copyrighted Works: An Empirical Analysis of Public Domain and Copyrighted Fiction Best Sellers". 2nd Annual Conference on Empirical Legal Studies (dalam bahasa Inggris). doi:10.2139/ssrn.955954. SSRN955954.
^Fleischer, Rasmus (June 2008). "The Future of Copyright". CATO Unbound. “We conclude that the snippet function does not give searchers access to effectively competing substitutes. Snippet view, at best and after a large commitment of manpower, produces discontinuous, tiny fragments, amounting in the aggregate to no more than 16% of a book. This does not threaten the rights holders with any significant harm to the value of their copyrights or diminish their harvest of copyright revenue,” wrote the court.
^"Second Manifesto". Hipatia. Diarsipkan dari versi asli tanggal December 1, 2008. Diakses tanggal 2008-07-25.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Alfino, Mark, "Intellectual Property and Copyright Ethics", Business and Professional Ethics Journal, 10.2 (1991): 85–109. Reprinted in Robert A. Larmer (Ed.), Ethics in the Workplace, Minneapolis, MN: West Publishing Company, 1996, 278–293.
Culture vs. Copyright – ebook by Anatoly Volynets. The book is composed of dialogues of first graders and their teacher contemplations on cultural, psychological, economical and other aspects of "Intellectual Property."