Kejahatan perang di ManchukuoKejahatan perang di Manchukuo adalah kejahatan perang yang dilakukan selama pemerintahan Kekaisaran Jepang di Tiongkok Timur Laut, baik secara langsung ataupun melalui negara boneka Manchukuo, sejak tahun 1931 hingga 1945. Diduga berbagai kejahatan perang telah dilakukan, tetapi relatif sedikit yang mendapat perhatian sejarah. Dasar hukumMeskipun Kekaisaran Jepang tidak menandatangani Konvensi Jenewa, yang memberikan definisi standar kejahatan perang sejak tahun 1864, kejahatan-kejahatan yang dilakukan termasuk dalam aspek-aspek lain dari hukum internasional dan hukum Jepang. Sebagai contoh, banyak dugaan kejahatan yang dilakukan oleh personel Jepang melanggar hukum militer Jepang dan tidak tunduk pada pengadilan militer, seperti yang dipersyaratkan oleh hukum itu.[1] Jepang juga melanggar perjanjian-perjanjian internasional yang ditandatangani, termasuk ketentuan-ketentuan Perjanjian Versailles, seperti larangan penggunaan senjata kimia, dan Konvensi den Haag (1899 dan 1907), yang melindungi tahanan perang. Pemerintah Jepang juga menandatangani Pakta Kellogg-Briand (1929), sehingga tindakan-tindakannya dalam kurun waktu 1937-1945 dapat dikenakan tuduhan kejahatan terhadap perdamaian, suatu tuduhan yang diperkenalkan dalam Pengadilan Tokyo untuk mengadili penjahat perang "Kelas A". Penjahat perang "Kelas B" adalah mereka yang ditemukan bersalah atas kejahatan perang per se, dan "Kelas C" adalah mereka yang bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Pemerintah Jepang juga menerima syarat-syarat yang ditetapkan oleh Deklarasi Potsdam (1945) setelah perang berakhir. Deklarasi itu menyinggung, dalam Pasal 10, dua jenis kejahatan perang, yaitu pelanggaran hukum internasional, seperti penyiksaan tahanan perang dan menghambat "tendensi demokrasi di antara orang-orang Jepang" dan kebebasan sipil di Jepang. Di Jepang, istilah "kejahatan perang Jepang" umumnya hanya mengacu pada kasus-kasus yang diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh, juga dikenal sebagai Pengadilan Tokyo, setelah Perang Pasifik berakhir. Tetapi, pengadilan itu tidak mengadili tuduhan-tuduhan kejahatan perang yang melibatkan perwira menengah atau personel di bawahnya. Mereka yang diatur secara tersendiri diadili terpisah di Tiongkok dan Uni Soviet setelah Jepang menyerah. Sejarawan revisionis telah menentang bahwa kejahatan-kejahatan tersebut terjadi. Kelompok nasionalis sayap kanan di Jepang telah menyatakan kejahatan perang sebagai "propaganda anti-Jepang" untuk menempatkan Jepang modern dalam sorotan negatif untuk tujuan politik. Kejahatan-kejahatan perangEksperimen manusiaUnit-unit khusus militer Jepang telah melakukan eksperimen terhadap warga sipil dan tahanan perang di Manchukuo. Salah satu yang paling terkenal adalah Unit 731. Para korban mengalami pembedahan hidup-hidup tanpa anestesi dan digunakan untuk menguji senjata biologis, selain eksperimen-eksperimen lain.[2] Antara 3.000 hingga 12.000 orang laki-laki, perempuan, dan anak-anak meninggal dalam eksperimen manusia yang dilakukan oleh Unit 731.[3][4] Senjata kimia dan biologisMenurut sejarawan Yoshiaki Yoshimi dan Seiya Matsuno, Kaisar Hirohito mengizinkan penggunaan senjata kimia di Tiongkok.[5] Akibatnya, "puluhan ribu, dan mungkin 200.000 orang Tionghoa meninggal karena penyakit pes, kolera, antraks, dan penyakit lainnya...", yang dihasilkan dari penggunaan senjata biologis itu. Meskipun karena pemusnahan arsip secara sistematis oleh Jepang, tidak ada catatan mengenai senjata kimia atau biologis di Manchukuo itu sendiri, senjata-senjata pemusnah massal itu secara parsial diteliti, diproduksi, dan disimpan di Manchukuo oleh Tentara Kwantung. Kerja paksaPenggunaan tenaga kerja paksa oleh militer Jepang juga menyebabkan banyak kematian. Menurut sebuah studi bersama oleh sejarawan Zhifen Ju, Mitsuyochi Himeta, Toru Kubo, dan Mark Peattie, lebih dari 10 juta warga sipil Tionghoa dikerahkan untuk kerja paksa di Manchukuo di bawah pengawasan Kōa-in.[6] Para pekerja paksa sering ditugaskan bekerja dalam kondisi berbahaya tanpa tindakan pencegahan keamanan yang memadai. Bencana tambang paling mematikan di dunia, di Tambang Batu Bara Benxihu, terjadi di Manchukuo. Pelanggaran hak asasi manusia
Perdagangan obatPada tahun 2007, sebuah artikel oleh Reiji Yoshida di Japan Times membuktikan bahwa investasi Jepang di Manchukuo sebagian dibiayai oleh penjualan obat-obatan. Menurut artikel itu, sebuah dokumen yang diklaim telah ditemukan oleh Yoshida melibatkan Kōa-in secara langsung dalam penyediaan dana untuk pengedar obat-obatan di Tiongkok untuk kepentingan pemerintah boneka Manchukuo, Nanjing, dan Mongolia.[7] Dokumen Ini menguatkan bukti-bukti yang dianalisis sebelumnya oleh Pengadilan Tokyo yang menyatakan bahwa
Pengadilan kejahatan perangPengadilan Kejahatan Perang KhabarovskPada akhir tahun 1949, banyak mantan anggota Tentara Kwantung, yang ditangkap dalam invasi Soviet ke Manchuria, dihukum sehubungan dengan kegiatan Unit 731 dan unit-unit terkait yang menghubungkan mereka dengan kejahatan terhadap kemanusiaan dan penggunaan senjata kimia dan biologis. Pengadilan TokyoPengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh telah menjatuhkan vonis hukuman kepada sejumlah petinggi Jepang sehubungan dengan invasi Manchuria, pembentukan Manchukuo, dan dengan konspirasi untuk melancarkan perang agresif terhadap Tiongkok. Yang dijatuhi hukuman mati adalah mereka yang berhubungan kuat dengan Manchukuo, termasuk perwira senior dalam Tentara Kwantung, yaitu Hideki Tojo, Akira Muto, Seishirō Itagaki, dan Kenji Doihara. Lihat pulaReferensi
Web
Catatan
|