Kebudayaan TamboraTambora adalah desa dan kebudayaan yang hilang di pulau Sumbawa yang terkubur oleh abu vulkanik dan aliran piroklastik akibat dari letusan gunung Tambora tahun 1815. Desa ini memiliki sekitar 10.000 penduduk. Peneliti menggali kembali situs ini dan menemukan jambangan keramik, mangkuk perunggu dan botol gelas, dan rumah dan penduduk desa terkubur oleh abu yang mirip dengan Pompeii. Peneliti percaya bahasa dan kebudayaan telah hilang. Kebudayaan tersebut dikunjungi oleh orang Barat sebelum kehancurannya. Dipercaya kebudayaan ini telah berdagang dengan orang di Indochina, tembikar mereka dapat ditemukan di Vietnam, dan bahasa mereka dipercaya merupakan sebuah bahasa Papua dan bukan bahasa Austronesia. Penelitian tahun 2004Pada musim panas 2004, tim dari Universitas Rhode Island, Universitas North Carolina di Wilmington, Direktorat Vulkanologi Indonesia, yang dipimpin oleh Haraldur Sigurðsson, memulai penggalian di Gunung Tambora.[1] Selama enam minggu, tim menemukan bukti pertama budaya yang hilang, yang telah dilenyapkan oleh letusan Tambora 1815. Situs ini terletak sekitar 25 kilometer dari barat kaldera, jauh di dalam hutan, 5 kilometer dari garis pantai. Tim harus memotong deposit batu apung vulkanik dan abu setebal 3 meter. Tim menggunakan radar penembus tanah untuk menemukan rumah kecil yang terkubur. Mereka menggali rumah, di mana mereka menemukan sisa-sisa dua orang dewasa, serta mangkuk perunggu, pot keramik, perkakas besi, dan artefak lainnya. Desain dan dekorasi artefak memiliki kemiripan dengan artefak dari Vietnam dan Kamboja.[1] Pengujian yang dilakukan dengan menggunakan teknik karbonisasi mengungkapkan bahwa benda-benda tersebut terdiri dari arang yang dibentuk oleh panas magma. Orang-orang dan rumahnya diawetkan seperti pada tahun 1815. Sigurðsson menjulukinya "Pompeii dari Timur".[2][3]Berdasarkan artefak yang ditemukan, yang sebagian besar berupa benda perunggu, tim menyimpulkan bahwa orang-orang tersebut tidak miskin. Bukti sejarah menunjukkan bahwa orang-orang di pulau Sumbawa dikenal di Hindia Belanda karena madu, kuda,[4] kayu secang untuk menghasilkan pewarna merah,[5] dan cendana yang digunakan untuk dupa dan obat-obatan.[1] Daerah tersebut dianggap sangat produktif secara pertanian. Temuan arkeologi menunjukkan bahwa ada budaya di Sumbawa yang musnah akibat letusan tahun 1815. Judul Kerajaan Tambora yang hilang diciptakan oleh media massa.[6][7] Dengan penemuan ini, Sigurðsson berencana untuk kembali ke Tambora pada tahun 2007 untuk mencari sisa desa, dan berharap menemukan istana.[1] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |