Kawin CaiKawin Cai adalah salah satu upacara adat masyarakat di Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Upacara Kawin Cai harus dilaksanakan di sumber mata air Telaga Balong Dalem Tirta Yatra kawasan Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC). Kegiatan ini dihadiri oleh masyarakat yang berasal dari delapan desa tetangga, yakni Desa Manis Kidul, Desa Sadamantra, Desa Nanggerang, Desa Gara Tengah, Desa Padangenan, Desa Ciniru, Desa Jalaksana dan Desa Japara. Daerah-daerah tersebut lahan pertaniannya menggunakan air yang berasal dari sumber mata air Telaga Balong Dalem Tirta Yatra. Upacara ini dihadiri oleh demang dari kecamatan dan para pejabat dari kabupaten. Kata Demang masih populer dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan di Desa Babakanmulya.[1] Tujuan upacara adat ini adalah memohon air hujan supaya lahan pertanian lebih subur serta kebutuhan hidup lainnya yang membutuhkan air dapat terpenuhi. Upacara ini wajib dilakukan saat terjadi musim kemarau panjang atau kondisi sangat sulit untuk mendapatkan air. Upacara ini harus dilaksanakan pada tanggal 30 rewah pada sistem penanggalan Islam. Namun seiring dengan cuaca yang sudah tidak kenal waktu, upacara ini tidak memiliki ketetapan tanggal lagi tetapi harus mengikuti datangnya musim penghujan. Hanya saja harus bertepatan dengan hari jum'at kliwon.[2] Asal-usulAsal-usul adanya Upacara Adat Kawin Cai adalah ada seorang petapa bernama Resi Makandria yang terkenal juga dengan nama Sang Kebowulan (Sang Tari Wulan). Beliau berasal dari Cikembulan (Cibulan) yang bertapa di Talaga Balong Dalem Tirta Yatra. Ketika sedang bertapa Resi Makandria merasa malu karena diejek oleh sepasang burung yang bernama si Uwur-Uwur dan si Naragati. Burung tersebut bersarang di tempat pertapaannya. Resi Makandria diejek karena tidak memiliki istri dan keturunan, akhirnya Resi Makandria memohon calon istri kepada Resi Guru Manikmaya dari Kerajaan Kendan. Setelah itu Resi Guru Manikmaya mengabulkan permohonannya dan merestui putrinya yang bernama Pwah Aksari Jabung untuk menjadi calon istri. Pwah Aksari Jabung yang berparas yang cantik bagaikan bidadari, tapi begawan Resi Makandria tidak bersedia menerima sebagai calon istri karena Pwah Aksari Jabung memiliki paras yang dianggap terlalu cantik. Sebagai jalan keluar, Pwah Aksari Jabung menjelma menjadi kidang (kijang) betina dan Resi Makandria menjelma menjadi kerbau bule. Setelah itu, pasangan ini memiliki keturunan dan diberi nama Pwah Bungatak Mangalengale. Setelah Pwah Bungatak Mangalengale menginjak dewasa dipersunting oleh Sang Wreti Kandayun yang mendirikan Kerajaan Galuh. Upacara Adat Kawin Cai ini merupakan bentuk penghormatan dan pemuliaan masyarakat untuk memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ini terjadi di Telaga Balong Dalem Tirta Yatra yang menjadi mata air bagi masyarakat Desa Babakanmulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan.[3] PelaksanaanDalam Upacara Adat Kawin Cai terdapat 3 acara pokok. Pertama adalah pengambilan air dari Balong Dalem. Air yang diambil tersebut dianggap sebagai pengantin laki-laki. Kedua adalah pengambilan air dari Sumur Tujuh. Air yang diambil dianggap sebagai pengantin perempuan. Ketiga adalah proses kawin cai, yaitu mencampurkan air yang diambil dari Balong Dalem dan air yang tadi diambil dari Sumur Tujuh. Ketika tiba di Balong Dalem, rombongan masyarakat juga disambut upacara adat penyambutan tamu, yang dilengkapi lengser, dan kelompok penari perempuan jelita yang diiringi irama musik dan lagu-lagu degung. Proses Kawin Cai dilakukan seperti proses perkawinan manusia pada umumnya. Campuran air tersebut kemudian dituangkan ke mata air Tirta Yatra. Selanjutnya adalah proses pengambilan air dari mata air Tirta Yatra yang diperuntukan memandikan aparat desa yang dianggap terkait dengan permasalahan air dan irigasi. Setelah upacara selesai, masyarakat Desa Babakan Mulya dan Desa Manis Kidul, juga masyarakat enam desa lainnya secara bergantian mengambil air dengan lodong atau bekong untuk dibawa pulang ke rumah masing-masing sebagai benih air dan akan dimanfaatkan untuk menyiram lahan pertanian yang mereka miliki.[3] Referensi
|