Film ini adalah hasil kerja sama Denmark-Britania Raya-Norwegia yang dipersembahkan oleh Final Cut for Real di Denmark, diproduseri Signe Byrge Sørensen, diko-sutradarai Anonim dan Christine Cynn, dan diproduseri eksekutif oleh Werner Herzog, Errol Morris, Joram ten Brink, dan André Singer. Ini adalah proyek Docwest dari Universitas Westminster.
Pemerintah Indonesia pun menanggapi negatif film tersebut. Juru bicara kepresidenan untuk urusan luar negeri, Teuku Faizasyah, mengklaim bahwa film tersebut menyesatkan sehubungan dengan penggambaran Indonesia.[6]
Sementara itu, film pendukung dari Jagal, berjudul Senyap (The Look of Silence) diluncurkan pada 2014.[7]
Latar belakang
Setelah PKI dituduh oleh TNI sebagai pelaku G30S pada tahun 1965, Anwar Congo dan kawan-kawan "naik pangkat" dari preman kelas teri pencatut karcis bioskop menjadi pemimpin pasukan pembunuh. Mereka membantu tentara membunuh lebih dari satu juta orang yang dituduh komunis, etnis Tionghoa, dan intelektual, dalam waktu kurang dari satu tahun. Sebagai seorang algojo dalam pasukan pembunuh yang paling terkenal kekejamannya di Medan, Anwar telah membunuh ratusan orang dengan tangannya sendiri.[8]
Hari ini, Anwar dihormati sebagai pendiri organisasi paramiliter sayap kanan Pemuda Pancasila (PP) yang berawal dari pasukan pembunuh itu. Organisasi ini begitu kuat pengaruhnya sehingga pemimpinnya bisa menjadi menteri, dan dengan santai menyombongkan segala macam hal, dari korupsi dan mengakali pemilu sampai melaksanakan genosida.[9]
Dalam Jagal, para pembunuh bercerita tentang pembunuhan yang mereka lakukan, dan cara yang mereka gunakan untuk membunuh. Tidak seperti para pelaku genosida Jerman Nazi atau Rwanda yang menua, Anwar dan kawan-kawannya tidak pernah sekalipun dipaksa oleh sejarah untuk mengakui bahwa mereka ikut serta dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Mereka justru menuliskan sendiri sejarahnya yang penuh kemenangan dan menjadi panutan bagi jutaan anggota PP. Jagal adalah sebuah perjalanan menembus ingatan dan imajinasi para pelaku pembunuhan dan menyampaikan pengamatan mendalam dari dalam pikiran para pembunuh massal. Jagal adalah sebuah mimpi buruk kebudayaan banal yang tumbuh di sekitar impunitas ketika seorang pembunuh dapat berkelakar tentang kejahatan terhadap kemanusiaan di acara bincang-bincang televisi, dan merayakan bencana moral dengan kesantaian dan keanggunan tap-dance.
Pada masa mudanya, Anwar dan kawan-kawan menghabiskan hari-harinya di bioskop karena mereka adalah preman bioskop: mereka menguasai pasar gelap karcis, dan pada saat yang sama menggunakan bioskop sebagai markas operasi untuk kejahatan yang lebih serius. Pada tahun 1965, tentara merekrut mereka untuk membentuk pasukan pembunuh dengan pertimbangan bahwa mereka telah terbukti memiliki kemampuan melakukan kekerasan, dan mereka membenci komunis yang berusaha memboikot pemutaran film Amerika—film-film yang paling populer (dan menguntungkan). Anwar dan kawan-kawan adalah pengagum berat James Dean, John Wayne, dan Victor Mature. Mereka secara terang-terangan mengikuti gaya berpakaian dan cara membunuh dari idola mereka dalam film-film Hollywood. Keluar dari pertunjukan midnight, mereka merasa “seperti gangster yang keluar dari layar.” Masih terpengaruh suasana, mereka menyeberang jalan ke kantor dan membunuh tahanan yang menjadi jatah harian setiap malam. Meminjam teknik dari film mafia, Anwar lebih menyukai menjerat korban-korbannya dengan kawat.
Dalam Jagal, Anwar dan kawan-kawan bersepakat untuk menyampaikan cerita pembunuhan tersebut kepada sutradara. Tetapi idenya bukanlah direkam dalam film dan menyampaikan testimoni untuk sebuah film dokumenter: mereka ingin menjadi bintang dalam ragam film yang sangat mereka gemari pada masa mereka masih menjadi pencatut karcis bioskop. Sutradara menangkap kesempatan ini untuk mengungkap bagaimana sebuah rezim yang didirikan di atas kejahatan terhadap kemanusiaan, yang belum pernah dinyatakan bertanggung jawab, memproyeksikan dirinya dalam sejarah.
Kemudian sutradara film menantang Anwar dan kawan-kawannya untuk mengembangkan adegan-adegan fiksi mengenai pengalaman mereka membunuh dengan mengadaptasi genre film favorit mereka—gangster, koboi, musikal. Mereka menulis naskahnya. Mereka memerankan diri sendiri. Juga memerankan korban mereka sendiri.
Proses pembuatan film fiksi menyediakan sebuah alur dramatis, dan set film menjadi ruang aman untuk menggugat mereka mengenai apa yang mereka lakukan pada masa lalu. Beberapa teman Anwar menyadari bahwa pembunuhan itu salah. Yang lain khawatir akan konsekuensi kisah yang mereka sampaikan terhadap citra mereka di mata publik. Generasi muda PP berpendapat bahwa mereka selayaknya membualkan horor pembantaian tersebut karena kengerian dan daya ancamnya adalah basis bagi kekuasaan PP hari ini. Saat pendapat berselisih, suasana di set berkembang menjadi tegang. Bangunan genosida sebagai “perjuangan patriotik”, dengan Anwar dan kawan-kawan sebagai pahlawannya, mulai berguncang dan retak.
Yang paling dramatis, proses pembuatan film fiksi ini menjadi katalis bagi perjalanan emosi Anwar, dari jumawa menjadi sesal ketika ia menghadapi, untuk pertama kali dalam hidupnya, segenap konsekuensi dari semua yang pernah dilakukannya. Saat nurani Anwar yang rapuh mulai terdesak oleh hasrat untuk tetap menjadi pahlawan, Jagal menyajikan sebuah konflik yang mencekam antara bayangan tentang moral dengan bencana moral.[10]
Produksi
Film ini sebagian besar gambarnya diambil di sekitar Medan, Sumatera Utara, Indonesia antara 2005 sampai 2011. Pada rentang waktu yang sama, awak film juga mengambil gambar untuk film Senyap yang dirilis sebagai sekuel dua tahun setelah Jagal. Pengambilan gambar dan wawancara selama tujuh tahun ini menghasilkan kurang lebih 1.000 jam rekaman. Diperlukan banyak editor dan waktu dua tahun di London dan Copenhagen untuk menyunting rekaman tersebut menjadi film ini. Penyuntingan suara dan koreksi warna dilakukan di Norwegia. Sutradara Errol Morris dan Werner Herzog menjadi produser eksekutif film ini setelah menonton sebagian footage dalam proses pengeditan.
Film ini diputar perdana secara internasional di Toronto International Film Festival pada bulan September 2012.
Di Indonesia film ini diputar perdana di Jakarta pada 1 November 2012. Film Jagal lewat pemutaran berbasis inisiatif masyarakat, sampai bulan Agustus 2013, telah diputar pada lebih dari 1.000 pemutaran di 118 kota/kabupaten di seluruh Indonesia. Sebagian besar pemutaran diselenggarakan secara tertutup hanya untuk undangan terbatas, dan hanya 25 pemutaran diselenggarakan secara terbuka. Diperkirakan antara 15.000 sampai 25.000 orang Indonesia telah menontonnya. Di Indonesia film ini tidak diperdagangkan sehingga setiap orang bisa mengadakan pemutaran tanpa harus membayar biaya lisensi, royalti, ataupun biaya pemutaran (screening fee).
Mulai 30 September 2013, film Jagal dapat diunduh gratis dari Indonesia lewat situs resminya. Pada 16 Januari 2014, bersamaan dengan diumumkannya film Jagal sebagai nomini piala Oscar (Academy Awards), pembuat film mengunggah filmnya ke YouTube.
Tanggapan
The Act of Killing disambut pujian di seluruh dunia. Situs agregator ulasanRotten Tomatoes memberikan penilaian positif 97% dengan nilai rata-rata 8.8/10 berdasarkan 104 ulasan. Konsensusnya adalah, "Keras, mengerikan, dan sangat sulit untuk ditonton. The Act of Killing adalah bukti menakutkan dari kekuatan film dokumenter yang mendidik dan frontal."[11] Di Metacritic, film ini mendapatkan skor rata-rata 88 dari 100 berdasarkan 19 ulasan yang artinya "pujian universal".[12]
Kritik menyebut film ini "mahakarya".[13] Jurnalis pemenang Pulitzer Prize Chris Hedges menyebut film ini "eksplorasi penting terhadap psikologi para pembunuh massal yang cukup rumit" dan "gambaran pembunuh massal yang kejam tidak mengganggu kita. Justru sifat manusia itu sendiri yang mengganggu kita."[14]
Anwar Congo, sebagai tokoh utama film Jagal, mengaku merasa ditipu oleh Oppenheimer karena judul yang diberitahukan kepadanya pada awalnya adalah Arsan dan Aminah.[15][16] Namun Oppenheimer menyangkal bahwa dirinya telah menipu siapapun karena semua ia lakukan atas sepengetahuan dan izin Anwar.[17] Oppenheimer sendiri mengatakan bahwa dirinya dekat dengan Anwar, dan pernah melakukan telewicara lewat Skype sebelum filmnya dirilis di Indonesia.[18]