Imam Syafei
Letnan Kolonel Imam Syafei (27 September 1918 – 9 September 1982), sering dieja Imam Sjafe'i, Imam Sapi'ie, Imam Syafi'ie, Imam Sjafei, dan populer dengan sebutan Bang Pi'ie, adalah seorang tokoh militer Betawi dan mantan Menteri Negara diperbantukan pada Presiden Urusan Pengamanan Khusus dalam Kabinet Dwikora II. Syafei mendapatkan julukan Robin Hood daerah Senen.[1] Selama menjadi perwira TNI, ia dekat dengan Abdul Haris Nasution.[2] Lahir dari ayahnya yang jawara, Syafei menjadi anak yatim saat berusia 4 tahun. Selanjutnya, ia dititipkan kepada seorang ulama dan kemudian kepada bibinya. Selama tinggal bersama bibinya, ia mulai mendirikan kelompok seumurannya dan nantinya ia dipenjara. Seusai bebas dari penjara, Syafei belajar ilmu bela diri dan ilmu yang ia peroleh digunakan untuk menjadi jawara Pasar Senen. Selama masa Revolusi Nasional (1945-1949), Syafei berjuang melawan Belanda dan juga terlibat dalam Operasi Penumpasan Pemberontakan PKI di Madiun. Seusai penyerahan kedaulatan, ia ditempatkan di Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya dengan pangkat kapten. Sebagai anggota TNI, ia mendirikan organisasi Cobra untuk menampung rekan-rekannya yang dikeluarkan dari dinas tentara karena buta huruf. Pada tahun 1958, pangkatnya naik menjadi letnan kolonel. Soekarno mengangkat Syafei sebagai anggota DPR-GR pada tanggal 15 Agustus 1960 dan kemudian menjadi Menteri Negara diperbantukan pada Presiden Urusan Pengamanan Khusus dan menjabat sebagai menteri ini sampai tanggal 20 Maret 1966. Kemudian, ia dipenjara bersama dengan 14 menteri dan baru dibebaskan pada tahun 1975. Ia meninggal dunia pada tanggal 9 September 1982. Riwayat HidupKehidupan awal dan karierSyafei lahir di daerah Bangka, Batavia pada tanggal 27 September 1918. Ayahnya, Mugeni, adalah seorang jawara di kawasan Pasar Senen. Saat berusia 4 tahun, ia menjadi anak yatim setelah ayahnya tewas ditusuk dengan golok ketika ingin menguasai Pasar Senen. Seusai kematian ayahnya, ia dititipkan kepada seorang ulama terkemuka yang bernama Habib Qodir Al-Hadad. Selama berada dalam bimbingan Habib Qodir, ia mendapatkan pelajaran di ilmu agama dan bela diri.[3] Syafei kemudian tinggal bersama dengan bibinya, Zaenab, yang berprofesi sebagai pedagang di Pasar Senen. Ia juga mulai mendirikan geng yang anggotanya terdiri dari anak-anak seusianya. Dalam geng tersebut, ia menugaskan mereka untuk mengumpulkan beras dan sayur-sayuran di Pasar Senen yang nantinya akan diberikan kepada ibu dan kedua adiknya untuk dikonsumsi. Aksinya dianggap sebagai tindakan pencurian sehingga ia dijebloskan ke penjara tahanan khusus anak di Tangerang. Selama di penjara, ia berhasil mengalahkan penguasa penjara dengan perkelahian yang berlangsung beberapa menit. Dari situlah, ia menjadi sosok terpandang di penjara. Kemudian, ia dibebaskan dan kembali ke Pasar Senen.[3] Saat berusia 16 tahun, Syafei bepergian ke berbagai tempat, bahkan Kalimantan, untuk mempelajari ilmu bela diri dari berbagai guru. Ia juga belajar di Pesantren Tebuireng selama tiga tahun di bawah bimbingan K.H Hasyim Asy'ari. Seusai mempelajari ilmu bela diri, ia kembali ke Pasar Senen. Dengan keahlian bela diri yang ia dapatkan, Syafei berhasil mengalahkan jagoan Pasar Senen, Muhayar. Dengan mengalahkan Muhayar, ia menjadi jawara Pasar Senen.[3][4] Sebagai seorang jawara Pasar Senen, ia mendirikan organisasi yang bernama Kumpulan 4 Sen. Dalam perkumpulan ini, ia memerintah para pedagang sayur, asongan, kaki lima, hingga pekerja bangunan untuk mengumpulkan iuran sebesar 4 sen gulden kepada para preman pasar agar mereka tidak melakukan keonaran.[3] Orang setempat menyebut pasukan ini sebagai Pasukan Sebenggol.[5] Karier militerMasa Revolusi Nasional (1945-1949)Dengan masuknya pasukan sekutu dan NICA di Jakarta pada bulan September 1945, Syafei bergabung dengan laskar bersenjata yang bernama Oesaha Pemoeda Indonesia (OPI) setelah diajak oleh Abdul Rachman Zakir dan Daan Anwar dan diangkat sebagai komandan. Sebagai komandan, ia memobilisasi para pemuda, pelajar, bekas Heiho dan polisi, dan pencopet untuk mengusir pasukan sekutu dan NICA dari Jakarta.[3][6] Selain itu juga, ia berperan dalam memobilisasi massa untuk menghadiri Rapat Ikada.[7] Ia juga memimpin perlawanan terhadap pasukan NICA dan Inggris di Tanah Tinggi.[8] Pada tanggal 11 Oktober 1945, Syafei memimpin perlawanan OPI terhadap pasukan sekutu yang sedang beroperasi di wilayah Pasar Senen walaupun sedang dalam keadaan sakit. Meskipun begitu, pasukannya berhasil mengalahkan pasukan sekutu. Dalam pertempuran berikutnya, ia ditangkap oleh pasukan NICA, namun berhasil melarikan diri dari mobil tahanan.[3] Selama dalam pertempuran, ia selalu berada di barisan paling depan.[9] Seusai melarikan diri, Syafei bersama pasukannya tetap melawan Belanda. Kemudian, ia mendirikan markasnya di Kampung Rawa, Gang Sentiong, dan Utan Panjang. Kemudian bergabung dengan Laskar Rakyat Djakarta Raya (LRDR). Pada tanggal 22 November 1945, ia ditunjuk sebagai komandan pertempuran untuk wilayah Jakarta. Dalam pertempuran melawan tentara sekutu, ia beraliansi dengan Haji Darip, K.H Noer Alie, dan Mat Depok. Pada tanggal yang tidak diketahui, ia beserta pasukannya pindah ke Karawang setelah Sutan Sjahrir menyuruh para pejuang untuk mengosongkan Jakarta karena akan dilaksanakan diplomasi antara Indonesia dan sekutu.[3] Meskipun begitu, ia bersumpah akan kembali ke Jakarta.[10] Saat bermarkas di Karawang, Syafei ditunjuk sebagai Wakil Ketua Markas Pertempuran Pusat. Pada bulan Februari 1946, terjadi pemberontakan di wilayah Karawang yang dipimpin oleh Pa' Gelung dan Syafei bersama pasukannya berhasil menumpas pemberontakan tersebut.[3] Ia bersama pasukannya keluar dari LRDR pada bulan April 1946 karena tidak setuju dengan sikap radikalnya.[11] Kesatuan LRDR pimpinan Syafei belakangan menjadi pasukan khusus Divisi II Sunan Gunung Jati, kemudian dijadikan kesatuan Resimen V Brigade III Kiansantang Divisi I Batalyon Siliwangi.[3] Ia juga terlibat dalam operasi penumpasan Pemberontakan PKI 1948 di Madiun. Berkat keterlibatannya, ia mendapatkan pangkat mayor.[12][6] Masa pasca penyerahan kedaulatanSeusai penyerahan kedaulatan, Syafei bergabung dengan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya walaupun ia buta huruf dan pangkatnya diturunkan menjadi kapten.[3] Akan tetapi banyak rekan-rekannya yang di demobilisasi karena buta huruf dari dinas TNI. Oleh karenanya, ia mendirikan organisasi bernama Corps Bambung Runcing (Cobra) untuk menampung rekan-rekannya yang dikeluarkan dari TNI dan mengendalikan bandit-bandit di wilayah Jakarta, khususnya di Pasar Senen.[13][12][14] Dalam memimpin organisasi Cobra, Syafei mengeluarkan berbagai kebijakan untuk anggotanya. Bagi para anggotanya yang melakukan kejahatan, tetapi tidak memiliki uang, Syafei memberikan modal usaha kepada mereka. Namun, jika oknum anggota Cobra melakukan kejahatan walaupun sudah mendapatkan modal usaha, ia memberikan hukuman cambukan dengan cambuk yang terbuat dari buntut ikan pari kepada mereka.[15] Organisasi Cobra dibubarkan pada tahun 1959 atas permintaan komando militer Jakarta.[14] Memanfaatkan pekerjaannya di Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya, Syafei mengorganisir masa untuk hadir dalam demonstrasi 17 Oktober 1952.[16] Pada tahun 1958, ia lulus dari Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat dan mendapatkan pangkat letnan kolonel.[17] Ia sempat ditawarkan untuk menjadi komandan pasukan pengawal Soekarno, Cakrabirawa. Akan tetapi, ia menolak tawaran tersebut.[18] Pada tanggal 15 Agustus 1960, ia diangkat sebagai anggota DPR-GR.[19] Sebagai anggota DPR, ia menjadi anggota Badan Urusan Rumah Tangga DPR-GR pada tanggal 17 November 1960.[20] Setahun kemudian, ia menjadi pengurus Front Nasional Jakarta Raya.[21] Menteri Negara diperbantukan pada Presiden Urusan Pengamanan KhususPengaruhnya yang besar di Jakarta serta keahliannya dalam mengendalikan pergerakan bandit membuat Soekarno mengangkat Syafei sebagai Menteri Negara diperbantukan pada Presiden Urusan Pengamanan Khusus pada tanggal 24 Februari 1966. Ia diharapkan dapat meredam aksi demonstrasi mahasiswa yang sedang bergejolak setiap hari.[3] Pengangkatan Syafei menjadi menteri mengundang kontroversi di kalangan demonstran mahasiswa. Mereka menuding Syafei menggunakan anak buah dan pengaruhnya di dunia bawah Jakara untuk meredam demonstrasi. Keberadaan ia ini membuat Kabinet Dwikora II dijuluki sebagai Kabinet Kriminal.[22] Di samping itu juga, ia mendapatkan julukan menteri copet.[23] Ia menjabat sebagai menteri sampai dengan tanggal 20 Maret 1966.[24] Menjadi tahananSetelah diberlakukannya Supersemar, Soeharto pada tanggal 18 Maret 1966 mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap 15 menteri, termasuk Syafei[a], yang dituding terlibat dalam gerakan komunis. Ia ditangkap pada tanggal 20 Maret dan ditahan di kawasan perumahan atlet di Senayan.[24] Pada tanggal 18 April 1966, ia bersama 14 menteri lainnya dipindahkan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Jl Budi Utomo. Selama ditahan di RTM, ia dikenal sebagai muazin.[26] Kemudian, Syafei bersama empat orang bekas menteri lainnya dipindahkan ke Instalasi Rehabilitasi (Inrehab) Nirbaya di Lubang Buaya pada tanggal 29 Juni 1966.[26] Selama di Inrehab Nirbaya, ia tinggal di satu sel bersama dengan Oei Tjoe Tat dan dihormati oleh para penghuni penjara. Ia juga akrab berteman dengan Omar Dhani. Penjaga tahanan juga mematuhinya karena statusnya sebagai jagoan di Senen. Pada tahun 1975, ia dibebaskan dari tahanan.[27][28] Akhir hidupSeusai dibebaskan dari tahanan, Kostrad menawarkan Syafei dua pekerjaan yaitu: kembali ke TNI dengan jaminan pangkat dinaikkan atau menjadi duta besar. Namun ia menolak tawaran tersebut dan lebih memilih menghabiskan masa pensiunnya di rumah.[3] Syafei meninggal dunia pada tanggal 9 September 1982 di Jalan Wijaya 9, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.[3] Untuk mengenang jasanya, Syafei dijadikan sebagai nama jalan di kawasan Pasar Senen. Sebelumnya, jalan tersebut bernama Jalan Senen Raya.[5] Kehidupan pribadiSyafei dikabarkan memiliki lima istri, salah satunya adalah Ellya Rosa. Ia dikaruniai 16 orang anak.[29] Ia juga dekat dengan ulama-ulama di Kwitang dan menghadiri pengajian setiap Minggu pagi di Majelis Taklim Kwitang.[30] Catatan kaki
Referensi
Daftar pustaka
|