Ibu Suri adalah gelar untuk ibu dari penguasa monarki. Gelar ini juga dapat diperuntukkan kepada permaisuri yang telah menjanda. Meskipun demikian, tidak setiap ibu dari penguasa monarki atau janda permaisuri mendapat gelar ibu suri secara otomatis. Hal ini dikarenakan perbedaan hukum dan adat yang berlaku di tiap daerah.
Penggunaan
Asia Timur
Kebudayaan Asia Timur memiliki gelar yang dapat disejajarkan dengan ibu suri. Dikarenakan kedudukan kaisar lebih tinggi dari raja, maka kedudukan ibu suri kaisar juga lebih tinggi dari ibu suri raja. Gelar ibu suri kaisar ditulis dalam huruf Tiongkok 皇太后 dan dibaca húangtàihòu dalam bahasa Tionghoa dan kōtaigō dalam bahasa Jepang. Gelar ini dapat disandang oleh ibu kandung kaisar dan permaisuri kaisar yang telah menjanda, menjadikannya dapat disandang oleh lebih dari satu orang dalam satu masa. Pada masa Kaisar Zaichun, gelar ini diberikan kepada Cixi (ibu kandung Kaisar Zaichun yang merupakan selir dari kaisar sebelumnya, Yi Zhu) dan Ci'an (permaisuri dari mendiang Kaisar Yi Zhu). Ibu Suri juga menjadi pihak yang paling berhak mengurus pemerintahan saat kaisar terlalu muda untuk memerintah.
Gelar lain yang terkait dengan ibu suri dalam kebudayaan Asia Timur adalah ibu suri tua atau ibu suri agung. Gelar ini ditulis 太皇太后 dan dibaca tàihuángtàihòu dalam bahasa Tionghoa dan taikōtaigō dalam bahasa Jepang. Gelar ini diperuntukkan untuk nenek kaisar atau wanita lain yang berada dalam satu generasi dengan nenek kaisar.
Pada masa dinasti Joseon (abad ke-13 - 1897), ibu suri raja diberi gelar daebi (hangeul: 대비, hanja,: 大妃), sedangkan untuk ibu suri agung diberi gelar daewang daebi (hangeul: 대왕대비, hanja: 大王大妃). Orang yang pernah mendapatkan gelar daewang daebi diantaranya Ibu Suri Jangryeol, (masa Raja Injo, Hyojong, dan Sukjong), Ibu Suri Inwon (masa Raja Sukjong, Gyeongjong, dan Yeongjo), dan Ibu Suri Jeongsun (masa Raja Yeongjo, Jeongjo, dan Sunjo). Ketika raja masih terlalu muda untuk memerintah, setiap keputusan raja selalu dipengaruhi oleh ibu suri dan ia memiliki kekuatan politik yang cukup besar. Kemudian pada saat raja meninggal tanpa meninggalkan pewaris, ibu suri adalah pihak yang paling berhak untuk menunjuk raja pengganti yang baru, hal ini terjadi pada masa setelah meninggalnya Raja Heonjong. Ibu suri mempunyai pengaruh yang dominan sampai akhir hayatnya.
Pada masa Kekaisaran Korea Raya (1897-1910), ibu suri kaisar diberi gelar hwangtaehu (hangeul: 황태후, hanja: 皇太后), sedangkan untuk ibu suri agung diberi gelar taehwangtaehu (hangeul: 태황태후, hanja: 太皇太后).
Utsmani
Ibu Suri dari Kesultanan Utsmani bergelar valide sultan (bahasa Utsmani: والده سلطان) dan gelar ini digunakan pertama kali oleh Hafsa Sultan, ibu dari Sultan Suleiman.[1] Valide Sultan adalah pemimpin dan pengambil keputusan dari urusan harem atau rumah tangga istana dan menjadi penasihat sultan dalam urusan pemerintahan. Saat sultan dirasa mengeluarkan pendapat yang kurang tepat, para wazir dapat menghadap valide sultan dan meminta agar memberi nasihat kepada sultan agar dapat mengambil keputusan yang lebih tepat. Pada masa yang sering disebut sebagai Kesultanan Wanita, beberapa ibu suri bahkan memiliki pengaruh yang teramat besar dalam urusan pemerintahan melebihi sultan sendiri.[2]
Eropa
Gelar yang setara dengan ibu suri setidaknya telah digunakan di Inggris sejak tahun 1557.[3] Sebelumnya, tidak ada gelar khusus di Eropa yang dapat disejajarkan dengan ibu suri dalam bahasa Indonesia. Hal ini karena setelah permaisuri menjanda, biasanya dia akan diharapkan mundur teratur dari kehidupan istana, kecuali dalam beberapa keadaan khusus, seperti putranya yang menjadi raja berikutnya terlalu belia untuk berkuasa. Di Eropa, saat seorang permaisuri menjanda, dia masih memegang gelar yang sama seperti saat menjadi permaisuri.
Saat George VI, Raja Inggris Raya, mangkat pada 6 Februari 1952, putri tertuanya naik tahta sebagai Elizabeth II. Sesuai dengan gelar yang biasa digunakan lingkungan istana, janda George yang juga bernama Elizabeth akan disapa dengan sebutan "Queen Elizabeth", mirip dengan putri mereka yang menjadi ratu yang bergelar "Queen Elizabeth II." Untuk menghindarkan dari kebingungan, janda George sekaligus ibu Elizabeth II disapa dengan sebutan "The Queen Mother," gelar yang dapat disejajarkan dengan ibu suri dalam bahasa Indonesia.
Gelar ibu suri hanya terbatas diperuntukkan kepada ibu dari penguasa monarki yang sedang memerintah sekaligus permaisuri dari penguasa sebelumnya.[4] Ibu dari penguasa monarki yang tidak pernah menjadi permaisuri, tidak akan menerima gelar ibu suri. Sebagai contoh, Duchess Kent menjadi "Ibu dari Ratu" ketika putrinya, Victoria, menjadi ratu, tetapi tidak mendapatkan gelar "ibu suri" karena ibu Ratu Victoria sendiri tidak pernah menjadi permaisuri sebelumnya.
Afrika
Di Swaziland, yang terletak di Afrika bagian selatan, ibu suri, atau Ndlovukati, memerintah bersama anaknya. Dia berfungsi sebagai tokoh ritual, sementara anaknya berfungsi sebagai kepala administrasi negara. Dia memiliki kekuasaan mutlak. Dia adalah tokoh yang penting di festival seperti upacara tari buluh tahunan.
Di dalam banyak masyarakat matrilineal di Afrika Barat, seperti Ashanti, ibu suri adalah salah satu orang yang penting karena melaluinya keturunan kerajaan diperhitungkan dan dengan demikian dia memiliki kekuasaan yang cukup besar. Salah satu pemimpin terbesar Ashanti adalah Ibu Suri Yaa Asantewaa (1840-1921), yang memimpin rakyatnya melawan Britania Raya selama Perang Mata-mata Emas pada tahun 1900.
Daftar ibu suri terkemuka
- Gayatri Rajapatni, menjadi Ibu Suri Majapahit (1309–1350) pada masa Raja Jayanagara dan Ratu Tribhuwanotunggadewi. Ia adalah istri Raden Wijaya, Raja pertama kerajaan Majapahit. Gayatri menjadi salah satu tokoh yang berpengaruh di istana dalam, dan kemungkinan juga menjadi pendukung Gajah Mada, yang kemudian menjadi patih paling cakap dalam sejarah Majapahit. Saat putra tirinya, Jayanagara mangkat dibunuh tanpa meninggalkan keturunan, Gayatri merupakan pihak yang paling berhak duduk di tahta lantaran ia satu-satunya istri Raden Wijaya yang masih hidup. Namun karena saat itu dia sudah menjadi bhikkuni, putrinya, Tribhuwanatunggadewi, naik tahta sebagai ratu.
- Kösem Sultan, menjadi Ibu Suri Utsmani (1623–1651) pada masa pemerintahan dua putranya, Murad IV dan Ibrahim, dan cucunya, Mehmed IV. Dia menjadi salah satu wanita paling berpengaruh dalam sejarah Utsmani, dan mengatur kesultanan sebagai wali sultan saat Murad dan Mehmed dipandang terlalu muda untuk memerintah.
- Cixi, menjadi Ibu Suri Dinasti Qing (1861–1908) pada masa kekuasaan putra dan keponakannya, Zaichun (Tongzhi) dan Zaitian (Guangxu). Menjadi penguasa kekaisaran secara de facto selama sekitar 40 tahun.
- Jeongsun, (정순왕후) (1745-1805) menjadi ibu suri dinasti Joseon pada masa Raja Jeongjo, dan menjadi ibu suri agung sekaligus wali raja pada masa Raja Sunjo, ketika ia masih sangat muda untuk memerintah. Ia adalah ketua faksi Noron dan berusaha untuk membunuh cucunya, Raja Jeongjo walaupun akhirnya gagal dan menjadi bagian terkecil dari istana. Jeongsun bertanggungjawab atas penganiayaan Katolik tahun 1801
- Elizabeth Bowes-Lyon (1900-2002), istri Raja George VI, serta ibu dari Ratu Elizabeth II dan Putri Margaret. Ia menjadi Permaisuri Kerajaan dan Segenap Daulat Inggris Raya semenjak suaminya naik takhta pada tahun 1936 sampai tahun 1952. Sepeninggal suaminya, ia dikenal dengan sebutan Queen Mother atau Ibu Suri Elizabeth,[5] agar tidak keliru disangka sebagai putrinya, Ratu Elizabeth.
Catatan dan referensi
Lihat pula