HisbahHisbah (bahasa Arab: حسبة ḥisbah) secara bahasa artinya mengharap ganjaran, mengingkari, prasangka atau dugaan.[1] Sedangkan secara istilah ialah menyuruh kepada kebaikan jika telah tampak kebaikan itu ditinggalkan dan melarang dari kemungkaran jika telah tampak kemungkaran itu dilakukan.[1] Hisbah adalah kewajiban individu atau bersama (tergantung pandangan masing-masing mazhab) untuk melakukan campur tangan dan amar makruf nahi mungkar ("menegakkan yang benar dan melarang yang mungkar") sesuai dengan norma syariah.[2] Doktrin yang secara harfiah berarti "pertanggungjawaban" ini[3] didasarkan dari kalimat di dalam Al-Quran (Surah Ali 'Imran 3: 104 dan 110). Para pakar hukum Islam memperdebatkan hakikat dari kewajiban ini. Seringkali perdebatan ini terkait dengan "tiga cara" yang dapat digunakan, yaitu yang menggunakan "hati" (qalb), "lidah" (lisān), atau "tangan" (yad). Terdapat beberapa pandangan yang meyakini bahwa para alim wajib melaksanakan hisbah dengan "lidah" dan para pejabat harus menggunakan "tangan".[3][4] Dalam sejarah Islam, seorang muhtasib diangkat oleh khalifah dengan tugas menjalankan hisbah. Di Arab Saudi, lembaga yang bertanggung jawab melaksanakan hisbah adalah Komite Penegakan yang Benar dan Pelarangan yang Mungkar atau hay'a.[5] Sementara itu, polisi syariah di Aceh, Indonesia, disebut "Wilayatul Hisbah". Doktrin hisbah telah digunakan oleh jaksa penuntut Islam di Mesir untuk membenarkan pemrosesan aduan dari Muslim bahwa seorang Muslim lain telah murtad atau melakukan penistaan agama. Sebagai contoh, di Mesir, cendekiawan Nasr Abu Zayd yang kritis terhadap pemikiran-pemikiran Islam didakwa dengan menggunakan doktrin hisbah karena karya-karyanya dianggap sebagai bukti bahwa ia telah murtad.[6][7] Referensi
|