Dr. Ernst Utrecht (30 Oktober 1922 – 4 September 1987) adalah seorang ilmuwan sekaligus pakar hukum yang juga dikenal sebagai politikus Indo-Belanda yang berhaluan nasionalis. Ia pernah menjadi Anggota Konstituante RI mewakili golongan Indo-Belanda dan PNI. Salah satu karya akademis yang ia tulis berjudul "Pengantar Dalam Hukum Indonesia" yang ia tulis bersama dengan M.Saleh Djindang.[1] Selain itu, Ia juga menulis beberapa karya ilmiah seperti Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, dan Ringkasan Sari Kuliah Hukum Pidana.[1]
Kemudian, ia menjadi dosen tamu di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan yang pada saat itu merupakan cabang dari Universitas Indonesia (1954-1956). Kemudian, dari tahun 1956 sampai 1958, ia menjadi dosen kepala Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang sudah resmi terbentuk.[3] Konon, ketika aktif mengajar di Makassar, Ia termasuk akrab dengan Baharuddin Lopa yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia cabang Makassar.[5] Menurut Djokomoelyo, tampilannya santai dan sering pakai sandal dan suka bergurau dengan contoh kasus yang aktual yang mudah dicerna.[5]
Sebagai akibat kurangnya tenaga pengajar pada saat itu, Utrecht juga memiliki jadwal mengajar di kota lain dan berperan sebagai pendiri universitas di kota Ambon bersama Yayasan Perguruan Tinggi Maluku (yang menjadi bakal Universitas Pattimura) dan Cirebon (Universitas Sunan Gunung Jati). Dibandingkan memilih menjadi dosen tetap di Universitas IndonesiaJakarta, Ia memilih pindah ke Bandung pada tahun 1957 untuk mengajar di Universitas Padjadjaran. Selama waktu itulah ia aktif mengajar di berbagai kota seperti Makassar, Ambon, dan Jember. Selain mengajar hukum administrasi negara, di Perguruan Tinggi lain Ia juga mengajar hukum pidana dan menulis buku hukum pidana yang menjadi buku wajib di fakultas hukum.
Dekan Universitas Baperki
Ia mencapai jabatan tertinggi pertamanya sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum Universitas Baperki (sekarang Universitas Trisakti) pada tahun 1960.[3][4] Di Universitas Baperki tersebut, ia mengajar mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
Menurut beberapa mahasiswa di Universitas Baperki, Prof. Utrecht adalah seorang yang sangat sederhana. Ia disebut bertubuh besar dengan kulit hitam layaknya orang Indonesia bagian timur. Ia sering memakai kemeja putih keabu-abuan dan kumal. Celananya pun kedombrongan dan selalu memakai sepatu sandal yang tidak pernah disemir. Kuliah yang diberikannya dibawakan dengan sangat menarik hanya saja jadwal kuliahnya tidak menentu. Bisa satu minggu berturut-turut, kemudian dua bulan tidak ada kuliah. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kesibukan dirinya yang memberikan kuliah di beberapa Universitas dan juga menjadi Rektor di Universitas Negeri Brawijaya di Jawa Timur. Pernah pada suatu waktu perkuliahan beliau menawarkan kepada mahasiswa Universitas Res Publica (Baperki) apabila ada yang mau ikut pindah bersama dirinya untuk kuliah ke Universitas Negeri Brawijaya, beliau akan menerimanya.[6][7]
Pindah ke Bandung
Alasan lain Utrecht pindah ke Bandung dan meninggalkan Fakultas Hukum Universitas Indonesia disebabkan oleh perselisihan antara dirinya dengan penguasa militer lokal di Ambon, Herman Pieters, yang juga menjabat sebagai dewan pengurus universitas tersebut. Sebagai akibatnya, Utrecht dikeluarkan pada 30 Juli 1960.[3][4]
Meraih Gelar Doktor
Kemudian pada tahun 1962 Ia meraih gelar doktor untuk studi banding mengenai penerapan hukum internasional di Bali dan Lombok.[8] Selain itu, ia juga pernah menjadi dosen sekaligus sekretaris Fakultas Hukum Universitas Jember (saat itu bernama Universitas Tawang Alun yang menjadi universitas filial (jarak jauh) dari Universitas Brawijaya) pada dekade 1960-an.[3][9]
Kehidupan politik
Utrecht adalah seorang politikus yang aktif. Ia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) dan duduk di DPR dan Konstituante.[10] Selain itu, Ia pernah menjadi penasehat Soekarno. Selain itu, menurut Pusat Sejarah TNI AD (1995), ia termasuk ke dalam anggota Himpunan Sarjana Indonesia (HSI).[11]
Utrecht Affair
Salah satu keputusan berani yang pernah ia buat adalah keputusan untuk melarang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sebagai organisasi di Fakultas Hukum Universitas Jember (ketika menjabat sebagai sekretaris fakultas) yang dikuatkan dalam Surat Keputusan No. 2/64.[12] Sebelum mengeluarkan keputusan melarang HMI, dalam kuliahnya Utrecht melarang mahasiswanya masuk HMI. Yang sudah terlanjur masuk diminta segera keluar. Jika tidak keluar, mahasiswa anggota HMI tidak akan diluluskan dalam mata kuliahnya. Kebijakan ini diambil karena HMI merupakan organisasi yang terkait partai terlarang saat itu, Masyumi.[9] Konflik lain yang pernah terjadi selama di Jember adalah kalimatnya mengenai pemisahan negara dan agama serta pemisahan hukum dan kewajiban akan menjalankan perintah agama.[4] Kelak, kasus ini akan dikenal sebagai "Utrecht Affair".[12]
Keputusan Utrecht tersebut mendapat protes keras dari para mahasiswa yang diwakili oleh Dewan Mahasiswa Universitas Brawijaya (DM-UB). DM-UB menilai kuliah dan tindakan Utrecht telah merusak ketenangan, keutuhan, persatuan mahasiswa, dan sivitas akademika umumnya yang selama ini telah terbina dengan baik. Tetap dengan sikap tersebut, Utrecht mengeluarkan surat terbuka kepada DM-UB seraya mengatakan tidak lagi mengakui wewenang DM-UB terhadap mahasiswa FH Universitas Brawijaya Cabang Jember. Utrecht juga memprovokasi Senat Mahasiswa FH untuk segera merombak DM-UB.[12]
Merespons sikap tersebut, pada 16 November 1963 DM-UB mengeluarkan resolusi menuntut agar Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) melarang Utrecht mengajar di Universitas Brawijaya Cabang Jember. Tentu saja Utrecht menolak resolusi DM-UB sehingga penyelesaian dicari. Pimpinan Universitas, Dewan Penyantun, dan Pimpinan Yayasan berkumpul. Sayangnya, pertemuan para pimpinan yang tidak dihadiri unsur lembaga kemahasiswaan itu cenderung menyalahkan DM-UB.[12]
Di tengah perdebatan, masih ada dua orang pimpinan fakultas yang memiliki opini berbeda. Keduanya adalah Dekan dan Pembantu Dekan I Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Drs. Sudarpo Mas'udi dan Drs. Amir Hamzah Wirjosukarto. Sudarpo dan Amir Hamzah pernah menjadi aktivis HMI Cabang Yogyakarta. Amir Hamzah tercatat pernah menjadi Ketua Umum Pengurus Besar PII. Dalam rapat, Sudarpo dan Wirjosukarto meminta penilaian pimpinan universitas diberikan setelah mendengar keterangan DM-UB. Karena usulnya itu, bersama dengan Utrecht, Sudarpo dan Wirjosukarto dikeluarkan dari Universitas Brawijaya Cabang Jember.[12]
Pasca Utrecht Affair, Gerakan 30 September dan Eksodus ke Belanda
Akibat konflik dengan militer/TNI (dalam hal ini Herman Pieters) dan kelompok agama (dalam hal ini HMI/Masyumi), ia mengalami akibat berat setelah peristiwa G30S dimana ia ditangkap dan dipenjara pada tahun 1965. Ia dikeluarkan dari penjara pada tahun 1966 kemudian pergi ke negeri Belanda pada tahun 1969 (melalui Singapura, Australia, dan Amerika Serikat) hingga meninggal di sana serta tidak pernah kembali ke Indonesia.[4][11]
Tanggapan Terkait Penumpasan PKI di Bali
Terkait peristiwa Gerakan 30 September dan pembasmian pihak-pihak yang terlibat setelahnya, ia sempat berkomentar mengenai pembantaian simpatisan PKI di Bali (Ia pernah menjadi pengurus PNI di Bali). Ia menganggap bahwa peristiwa pembasmian simpatisan PKI di Bali dianggap sebagai "perang suci". Pembantaian itu sendiri menurutnya dianggap tidak berdosa bagi para pelakunya yang, menurutnya, terdiri atas masyarakat biasa dan buruh pertanian yang juga diikuti dengan simpatisan PNI di Bali.[13][14][15] Bahkan, terkait peristiwa pembasmian ini, ia berasumsi bahwa pihak-pihak yang ikut serta dalam pembasmian (atau penumpasan) simpatisan PKI ini mencapai 50.000 jiwa.[16] Selain itu, ia juga mencatat terkait pembuangan para tahanan politik (tapol) ke Pulau Buru, Maluku. Jumlah tahanan tersebut (sebelum dibuang ke Pulau Buru) mencapai 250.000 jiwa.[17]
Terkait Peristiwa Purwodadi
Salah satu kritiknya yang tajam pada awal Pemerintahan Orde Baru ialah terkait Peristiwa Purwodadi. Ia mengkritik pemerintahan Suharto di awal periodenya dengan mengatakan “Repelita is onzin” (Repelita adalah omong kosong). Ia mengatakan bahwa bantuan ekonomi barat kepada Indonesia adalah sama dengan imperialisme ekonomi yang membawa Indonesia memasuki Kapitalisme Barat.[18] Selain itu, pada dekade 1970-an ia pernah menganggap Indonesia pada masa Orde Baru merupakan Indonesia yang memasuki era pemerintahan "Kasta Militer".[19]
Setelah tidak lagi tinggal di Indonesia dan menjadi eksil di Belanda, ia sering menulis buku dan jurnal terkait kondisi terkini di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara dan sekitarnya (terutama Australia, Papua Nugini, dan Fiji) baik dalam bidang politik, ekonomi, pertahanan, dan sosial hingga wafat pada tahun 1987.
Opini dan Pemikiran
Dalam bukunya mengenai Ambon (1972), ia menulis mengenai masyarakat Maluku sebagai berikut: “Berbicara mengenai dunia politik, pada umumnya masih asing bagi masyarakat Maluku dan belum membudaya. Orang Ambon baru sibuk bilamana ia sendiri, keluarganya, atau teman-temannya terancam dan bersikap spontan tanpa memahami permasalahannya dahulu dalam mengambil keputusan. Sikap dan pembawaan ini hingga ia mudah menjadi korban politik praktis. Padahal mereka sangat setia dalam unsur-unsur keagamaan, rajin kerja di kantor, dan pembawaannya dalam pergaulan sangat ceria dengan siapapun yang disenanginya.” [20][21]
Karya Tulis
Buku:
Pengantar Dalam Hukum Indonesia (1957).
Hukum Pidana (1958)
Pengantar dalam Hukum Indonesia. (1962)
Hukum Pidana Volume II (1962)
Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (1962)
Sedjarah hukum internasional di Bali dan Lombok, pertjobaan sebuah studi hukum internasional regional di Indonesia (1962) (sebuah disertasi doktor hukum).[8]
Indonesië's nieuwe orde, Ontbinding en neokolonisatie (1970).[22]
Ambon. Kolonisatie, dekolonisatie en neo-kolonisatie. Opgetekend door F. Jaspers (1972).[21]
Land Reform and Bimas in Indonesia (1973).[23][24]
De onderbroken revolutie in het Indonesische dorp (1974).[25]
Vijf jaar strijd in de Filippijnen : het Marcos-regime 1969-1975 (1975).[26]
Industrial estates and Australian companies in Singapore (1976).[27]
Transnational corporations in the developing world (1976).
Papua New Guinea : an Australian neo-colony (1977).[28]
Transnational corporations in South East Asia and the Pacific (1978).[29]
The Indonesian army : a socio-political study of an armed, privileged group in the developing countries (1978).[30]
Papoeas in Opstand (De tweede kwestie Nieuw Guinea): Het verzet van de Papoes tegen het Indonesiese bewind in West Irian (1978).[31]
^"Gelora45". gelora45.com. Diakses tanggal 2019-08-27.
^Tiong Djin, Siauw (2014). URECA: Berperan Dalam Pembangunan Bangsa. Jakarta: Perkumpulan Res Publica Indonesia,.line feed character di |title= pada posisi 34 (bantuan)
^Utrecht, Ernst, 1922-1987.; Transnational Corporations Research Project (University of Sydney) (1984). Fiji, client state of Australasia?. Sydney: Transnational Corporations Research Project, University of Sydney. ISBN0908470355. OCLC12695697.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)