Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Dipati Ukur

Dipati Ukur (Wangsanata atau Wangsataruna) adalah seorang bangsawan penguasa Tatar Ukur pada abad ke-17 yang berasal dari Tanah Banyumas. Tatar dalam bahasa Sunda berarti tanah atau wilayah.[1][2] Sedangkan dipati (adipati) adalah gelar bupati sebelum zaman kemerdekaan.[3] Dipati Ukur adalah Bupati Wedana Priangan yang pernah menyerang VOC di Batavia atas perintah Sultan Agung dari Kesultanan Mataram pada tahun 1628. Serangan itu gagal, dan jabatan Dipati Ukur dicopot oleh Mataram. Untuk menghindari kejaran pasukan Mataram yang akan menangkapnya, Dipati Ukur dan pengikutnya hidup berpindah-pindah dan bersembunyi hingga akhirnya ditangkap dan dihukum mati di Mataram.

Sejarah yang mengisahkan tentang Dipati Ukur bersifat kontroversial. Sedikitnya terdapat delapan versi sejarah tentang Dipati Ukur (Cerita Dipati Ukur), yaitu versi Galuh, Sukapura, Sumedang, Bandung, Talaga, Batavia, Banten dan Mataram.[4] Di antara delapan versi naskah Cerita Dipati Ukur yang ada, hanya tiga versi bernada positif, dalam arti perjuangan Dipati Ukur mendapat dukungan moril dari kerabat pemimpin negeri lainnya dalam rangka menegakkan kedaulatan negeri Sunda yang terancam intervensi penjajahan Mataram maupun Belanda.[5]

Dari delapan versi itu juga terdapat kesamaan, yaitu setelah Dipati Ukur diangkat sebagai bupati wedana, ia menyerang Batavia. Karena kalah, ia memberontak terhadap Mataram. Namun karena tidak ada kesepakatan antara Dipati Ukur dengan keempat umbul (kepala daerah) bawahannya, keempat umbul tersebut melaporkan Dipati Ukur kepada Sultan Agung. Di tempat persembunyiannya, Dipati Ukur tertangkap oleh pasukan Mataram.[6]

Asal Usul dan Silsilah

Salah satu versi tentang asal usul Dipati Ukur adalah Ceritera Dipati Ukur versi Bandung yang ditemukan dalam naskah Sunda Mangle Arum, ditulis oleh Haji Harun Al Rasyid pada masa pendudukan militer Jepang.

Dalam naskah tersebut dikisahkan bahwa dahulu kala, di wilayah Karesidenan Banyumas terdapat Kerajaan Jambu Karang yang terletak di Purbalingga, dengan rajanya yang bernama Sunan Jambu Karang. Suatu ketika, di Jambu Karang datang seorang bangsawan Arab bernama Syarif Abdurahman al-Qadri untuk menyebarkan agama Islam di wilayah itu. Banyak rakyat yang memeluk agama Islam, tetapi Sunan Jambu Karang tidak merasa senang. Mereka sempat berduel sebelum akhirnya Syarif Abdurahman menjadi pemenang dan Sunan Jambu Karang memeluk Islam beserta rakyatnya.

Sebagai tanda terima kasih, Sunan Jambu Karang menikahkan putrinya dengan Syarif Abdurahman, yang kemudian berganti nama menjadi Pangeran Atas Angin. Nama tersebut diambil dari tanah asalnya (Arab) yang berada di atas khatulistiwa (Sugeng Priyadi, Perdikan Cahyana). Setelah Sunan Jambu Karang wafat, Pangeran Atas Angin menggantikan kedudukan mertuanya sebagai Raja di Kerajaan Jambu Karang.

Pernikahan antara Pangeran Atas Angin dengan putri Sunan Jambu Karang melahirkan putra bernama Pangeran Cahya Luhur yang nantinya menggantikan ayahnya bertahta di Jambu Karang. Putra Cahya Luhur bernama Pangeran Adipati Cahyana, tetapi Cahyana tidak sempat menjadi raja karena pada saat itu Jambu Karang ditundukkan oleh Mataram di bawah kepemimpinan Sutawijaya (Panembahan Senopati).

Wangsanata, putra Pangeran Adipati Cahyana yang masih kecil, oleh Mataram disingkirkan dan dititipkan kepada penguasa Tatar Ukur (wilayah Ukur) yang bernama Adipati Ukur Agung. Menurut naskah Sadjarah Bandung, Tatar Ukur adalah wilayah Kerajaan Timbanganten dengan ibu kota Tegalluar[7] (terletak di lereng Gunung Malabar, dahulu perbatasan antara Banjaran dan Cipeujeuh). Kerajaan ini berada di bawah dominasi Kerajaan Pajajaran. Di kemudian hari, Wangsanata akan menjadi penguasa Timbanganten yang disebut Dipati (Adipati) Ukur.

Menjadi Penguasa Tatar Ukur

Setelah Kerajaan Pajajaran runtuh (1579/1580) akibat gerakan pasukan Banten dalam usaha menyebarkan agama Islam di daerah Jawa Barat, Tatar Ukur menjadi wilayah kekuasaan Sumedang Larang, penerus Kerajaan Pajajaran. Kerajaan Sumedang Larang didirikan dan diperintah pertama kali oleh Prabu Geusan Ulun (1580-1608), dengan ibu kota di Kutamaya, suatu tempat yang terletak di sebelah barat kota Sumedang sekarang. Wilayah kekuasaan kerajaan itu meliputi bekas wilayah kerajaan Pajajaran, yaitu seluruh wilayah Jawa Barat kecuali Banten, Jayakarta dan Cirebon.[8]

Setelah dewasa, Wangsanata dinikahkan dengan putri Adipati Ukur Agung bernama Nyi Gedeng Ukur. Sepeninggal mertuanya, Wangsanata menggantikan kedudukan Adipati Ukur Agung sebagai penguasa Tatar Ukur (Timbanganten). Sejak itulah, Wangsanata dikenal dengan nama Dipati Ukur.

Pada masa pemerintahan Dipati Ukur, luas wilayah Ukur mencakup sebagian besar wilayah di Jawa Barat, yang terdiri dari sembilan daerah yang disebut Ukur Sasanga [7] antara lain:

Saat ini wilayah Ukur Sasanga meliputi Kota dan Kabupaten Bandung, Kota Cimahi, Kabupaten Subang selatan, Kabupaten Sumedang barat dan Kabupaten Karawang selatan.

Menjadi Bupati Wedana Priangan

Ketika Kerajaan Sumedang Larang diperintah oleh Raden Aria Suriadiwangsa atau Prabu Kusumadinata III, anak tiri Geusan Ulun dari Ratu Harisbaya, Sumedang Larang menyatakan bergabung menjadi daerah Kesultanan Mataram sejak tahun 1620. Sejak itu status Sumedang Larang turun dari kerajaan menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Mataram di bawah Sultan Agung (1613-1645) lalu menjadikan Parahyangan sebagai daerah pertahanannya di bagian barat terhadap kemungkinan serangan pasukan Banten atau VOC yang berkedudukan di Batavia, karena Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung bermusuhan dengan VOC dan berkonflik dengan Kesultanan Banten.

Untuk mengawasi daerah Parahyangan, Sultan Agung mengangkat Aria Suriadiwangsa menjadi bupati wedana (bupati kepala, setingkat Gubernur) di Parahyangan (1620-1624), dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata, lebih terkenal dengan sebutan Rangga Gempol I.

Tahun 1624 Sultan Agung memerintahkan Rangga Gempol I untuk menaklukkan daerah Sampang (Madura). Oleh karena itu, jabatan Bupati Wedana Priangan diwakilkan kepada adik Rangga Gempol I, yaitu Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah Pangeran Dipati Rangga Gede menjabat sebagai bupati wedana, Rangga Gempol I dieksekusi oleh Sultan Agung dikarenakan mengucapkan candaan yang dianggap meremehkan Mataram.[9][10]

Rangga Gede lalu menjadi bupati wedana tetap, dimana pada tahun 1627 Sumedang lalu diserang oleh pasukan Banten di bawah Sultan Abu al-Mafakhir dan anak sulung Rangga Gempol I yang bernama Kartajiwa. Oleh karena sebagian pasukan Sumedang yang berangkat ke Sampang tetap menetap di Mataram, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak dapat mengatasi serangan tersebut. Akibatnya, ia menerima sanksi politis dari Sultan Agung. Pangeran Dipati Rangga Gede ditahan di Mataram. Jabatan bupati wedana Parahyangan lalu diserahkan kepada Dipati Ukur, dimana ia berhasil mengusir pasukan Banten yang menyerang daerah Parahyangan.[11][12][13]

Setelah menggantikan Pangeran Rangga Gede (1627), Dipati Ukur lalu menikah dengan Nyi Ageng Alia atau Nyi Gedeng Ukur sebagai ahli waris Ukur. Wilayah yang ada dalam kekuasaan Dipati Ukur meliputi Sumedang Larang, Ukur, Karawang, Pamanukan, Ciasem (Subang), Indramayu, Sukapura (Tasikmalaya), Limbangan dan Timbanganten (Garut).[14]

Menyerbu VOC di Batavia

Ekspansi wilayah yang dilakukan oleh Sultan Agung adalah menyerang Banten. Akan tetapi untuk menyerang Banten telah terhalang oleh keberadaan VOC di Batavia yang sedang membuat benteng pertahanan. Untuk itu Sultan Mataram menghendaki Dipati Ukur yang telah diangkat oleh Sultan Mataram sebagai bupati wedana di Priangan sanggup membantu Sultan Mataram untuk mengusir VOC di Batavia. Guna menyerang VOC, Sultan Agung melakukan berbagai persiapan, disebabkan jalan dan hutan yang harus dilalui belum memadai.

Tahun 1628 Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso (Bupati Kendal), agar memimpin pasukan untuk menggempur VOC di Batavia. Setelah kedua pejabat itu berunding, mereka berangkat menuju Batavia. Dipati Ukur memakai jalan darat dan Bahurekso melalui laut, masing-masing membawa 10.000 prajurit. Mereka berjanji untuk bertemu di Karawang. Pasukan Dipati Ukur terdiri atas 9 umbul, yaitu umbul-umbul: Batulayang, Saunggatang, Taraju, Kahuripan, Medangsasigar, Malangbong, Mananggel, Sagaraherang dan Ukur, masing-masing selaku kepala pasukan di bawah komando Dipati Ukur. Pasukan itu berangkat dari Tatar Ukur, melewati Cikao (terletak di Purwakarta sekarang), dan berbelok ke arah utara sampai Karawang.

Penyerangan Batavia oleh Pasukan Mataram

Setelah tujuh malam menantikan Bahurekso di Karawang, tetapi tak kunjung datang, Dipati Ukur memutuskan untuk segera menyerang Batavia. VOC sempat terkejut atas serangan tersebut. Semula pasukan Dipati Ukur dapat menandingi perlawanan VOC, tetapi karena persenjataan yang tidak seimbang dan kekuatan benteng pertahanan VOC yang kokoh, pasukan Dipati Ukur menjadi kacau balau dan dapat dipukul mundur oleh VOC.

Pada tanggal 21 Oktober 1628, pasukan VOC dibawah komando Letnan Kolonel Jacques de Febvre melakukan serangan besar-besaran dari berbagai arah ke markas Dipati Ukur di Batavia. Pasukan VOC yang dilengkapi persenjataan modern jauh lebih unggul sehingga pasukan Dipati Ukur terdesak mundur dari Batavia. Dipati Ukur bersama sebagian pasukannya memutuskan untuk bersembunyi di Gunung Pongporang yang terletak di Bandung Utara, dekat Gunung Bukit Tunggul.

Sementara itu Bahurekso tiba di Karawang. Ia sangat marah karena Dipati Ukur tidak ada di sana. Ia segera menyusul ke Batavia dan melangsungkan serangan terhadap VOC. Namun Bahurekso mengalami kekalahan dan mundur sampai Karawang. Di Karawang, Bahurekso mencari tahu keberadaan Dipati Ukur. Setelah mendapatkan informasi, ia kembali ke Mataram.

Pemberontakan Dipati Ukur

Selama bersembunyi di Gunung Pongporang, Dipati Ukur membangun benteng dan bermusyawarah dengan para pengikutnya. Dipati Ukur menyadari bahwa sebagai konsekuensi dari kegagalan penyerangan VOC di Batavia, ia akan mendapat hukuman berat dari raja Mataram, seperti hukuman yang diterima oleh Pangeran Dipati Rangga Gede, atau hukuman yang lebih berat lagi. Oleh karena itu Dipati Ukur berniat membangkang terhadap Mataram. Dipati Ukur menghendaki mereka tetap bertahan di Gunung Pongporang sambil menyusun rencana penyerangan ke Mataram yang sedang berkonsentrasi menyerang Batavia. Namun rencana itu tidak disetujui oleh empat orang umbul pengikut Dipati Ukur, yaitu umbul-umbul Sukakerta, Sindangkasih, Cihaurbeti, dan Indihiang Galunggung. Keempat umbul itu tidak ingin berlama-lama di Gunung Pongporang. Karena tidak ada kesepakatan, keempat umbul itu akhirnya meninggalkan Gunung Pongporang dan melanjutkan perjalanannya ke Mataram.

Di Mataram, Bahurekso melaporkan kekalahannya kepada Sultan Agung, termasuk tindakan Dipati Ukur menyerang ke Batavia tanpa menunggu kedatangan pasukan Bahurekso. Bahurekso menilai, bahwa kekalahan Mataram disebabkan oleh terpecahnya kekuatan pasukan. Sultan Agung merasa kecewa mendengar laporan tersebut. Kekecewaan itu bertambah ketika keempat umbul pengikut Dipati Ukur telah sampai di Mataram. Mereka melaporkan tentang kekalahan pasukan Dipati Ukur terhadap VOC dan memberitahukan lokasi persembunyian Dipati Ukur di Gunung Pongporang. Kekalahan Dipati Ukur dan tidak kembalinya Dipati Ukur ke Mataram dianggap oleh Sultan Agung sebagai pemberontakan terhadap penguasa kerajaan Mataram.

Penangkapan Dipati Ukur

Mendengar bahwa Dipati Ukur gagal mengalahkan VOC di Batavia dan bersembunyi bersama pengikutnya, Sultan Agung mengutus Bahurekso untuk menangkap Dipati Ukur. Keempat umbul yang menentang Dipati Ukur dijadikan sebagai penunjuk jalan. Kabar tentang datangnya serbuan bala tentara Mataram yang dipimpin Bahurekso telah sampai kepada Dipati Ukur. Berita itu tidak mengagetkannya karena Dipati Ukur sudah menduga bahwa akan diperangi pasukan Mataram. Dipati Ukur memanggil para umbul pengikutnya agar mengatur pasukan masing-masing untuk menghadapi peperangan.

Bahurekso mengirimkan utusan kepada Dipati Ukur untuk menanyakan, apakah ia akan menyerah atau tidak. Dipati Ukur menjawab bahwa ia telah bertekad untuk melawan. Terjadilah perang antara pasukan Dipati Ukur melawan pasukan Bahurekso. Karena jumlah pasukan Bahurekso lebih banyak, pasukan Dipati Ukur terdesak. Dipati Ukur dan pengikutnya berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di Gunung Lumbung (terletak di kawasan Batulayang, Cililin, Bandung Barat). Di sana, mereka membangun perkampungan dan tinggal di sana bersama sekitar 1000 orang pengikut beserta keluarganya. Di sana mereka bercocok tanam, membuka sawah dan tegalan.

Setahun kemudian Dipati Ukur mendapat serangan lagi dari pasukan Mataram, dipimpin oleh Tumenggung Narapaksa dari Mataram. Pasukan Dipati Ukur melawan dan berhasil meloloskan diri. Berdasarkan catatan Belanda, Sekitar 100.000 pasukan dikerahkan untuk meratakan tanah Ukur dan Sumedang. Banyak dari penduduk Ukur ini yang mengungsi ke Banten dan Batavia. Pasukan Dipati Ukur yang bertahan di Gunung Lumbung berhasil menahan serangan pertama dari pasukan Mataram.

Pada serangan kedua, Tumenggung Narapaksa bertemu dengan seseorang yang menguasai wilayah Gunung Lumbung. Selain itu ia dibantu oleh pasukan yang berasal dari tanah Pasundan. Di dalam Naskah Leiden Oriental yang ditulis oleh R.A. Sukamandara disebutkan bahwa Dipati Ukur ditangkap oleh pasukan yang dipimpin Bagus Sutapura, Adipati Kawasen (sekarang terletak di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis). Serangan ini berhasil mematahkan pertahanan Dipati Ukur. Dipati Ukur tertangkap di Gunung Lumbung (wilayah Batulayang, sekitar 3 km sebelah barat alun-alun Cililin, Kabupaten Bandung Barat) pada tahun 1632[15] dan dihukum mati di Mataram.

Versi Lain Penangkapan Dipati Ukur

Terdapat beberapa versi kisah penangkapan Dipati Ukur, antara lain pendapat Karel Frederik Holle yang menyebutkan bahwa Dipati Ukur tertangkap di suatu tempat sekitar 7 km di sebelah barat Jakarta (sekarang bernama Cengkareng). Penangkapnya adalah tiga umbul dari Priangan Timur, yaitu Umbul Sukakerta (Ki Wirawangsa), Umbul Cihaurbeuti (Ki Astamanggala) dan Umbul Sindangkasih (Ki Somahita). Dipati Ukur kemudian dibawa ke Mataram dan oleh Sultan Agung dijatuhi hukuman mati pada tahun 1632.[16]

Peninggalan Dipati Ukur

Peninggalan Dipati Ukur sebagian besar ditemukan di tempat-tempat persembunyiannya selama bergerilya melawan Mataram (di Gunung Lumbung) dan di Kampung Pabuntelan, yang dahulu menjadi ibu kota Tatar Ukur. Tempat-tempat itu sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Bandung. Barang-barang peninggalan yang ditemukan berupa bekas perkampungan, makam, senjata, piagam, patung, batu dan lingga.

Beberapa peninggalan Dipati Ukur ditemukan di Kampung Pabuntelan, bekas ibu kota Tatar Ukur yang sekarang berada di Desa Mekarjaya (dulu bernama Desa Tenjonagara), yaitu di perbatasan antara Desa Cipeujeuh dan Kecamatan Banjaran (20 km arah tenggara Kota Bandung). Di sana ditemukan sebuah makam kecil, pohon beringin, sebidang tanah berbentuk persegi yang berpagar bambu, sebuah lingga batu, sebuah batu bundar, dan beberapa buah pohon paku haji. Konon di kampung Pabuntelan ini Dipati Ukur melepaskan pakaiannya, kemudian di-buntel karena dikejar-kejar oleh pasukan Mataram. Dari Pabuntelan, Dipati Ukur melarikan diri sampai ke Cisanti (Gunung Wayang) dan Gunung Puntang.[17]

Patung batu yang telah rusak di Gunung Lumbung, Cililin, Bandung Barat

Peninggalan Dipati Ukur lain ditemukan di Gunung Lumbung (Kecamatan Cililin). Di Gunung Lumbung ditemukan sejumlah peninggalan Dipati Ukur, yaitu patung yang berserakan, lingga dan patung batu yang telah rusak.[18]

Dalam disertasinya tentang naskah-naskah Dipati Ukur, Edi Suhardi Ekadjati menyebutkan bahwa catatan tertua tentang Dipati Ukur mungkin adalah yang ditulis oleh Salomon Müller dan Pieter Van Oort, yang diterbitkan dalam Jurnal Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1836.

Salomon Müller adalah zoolog dan ahli botani berkebangsaan Jerman, anggota Natuurkundige Commissie voor Nederlands-Indië (Komisi Pendidikan Fisika Hindia Belanda) yang bertugas untuk melakukan eksplorasi sumber-sumber mineral dan memetakan flora dan fauna di wilayah koloni Hindia Belanda. Pada tahun 1833, Müller bersama Pieter Van Oort, seorang juru gambar berkebangsaan Belanda, mendatangi puncak Gunung Lumbung. Di sana mereka mendapatkan cerita dari seorang tua tentang tokoh Dipati Ukur, tempat persembunyian dan benteng pertahanan terakhirnya. Catatan Muller dan Oort kemudian dimuat oleh NJ Krom dalam buku Laporan Dinas Kepurbakalaan (Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië, 1914) yang terbit pada tahun 1915.

Hingga kini tidak diketahui dengan pasti di mana Dipati Ukur dimakamkan. Namun ada beberapa lokasi yang disebut sebagai makam Dipati Ukur, yaitu Astana Luhur (Bojongmanggu), Puncak Gunung Geulis (Ciparay), Tepi Citarum (Desa Manggahang), Gunung Sadu (Soreang), kampung Cikatul/Pabuntelan (Pacet), Astana Handap (Banjaran), Gunung Tikukur (desa Manggahang) dan Pasir Luhur (Ujungberung Utara).[18]

Peninggalan Dipati Ukur banyak terdapat di Kecamatan Ciparay. Di tempat tersebut, Dipati Ukur membangun permukiman di sebuah bukit bernama Bukit Cula yang sekarang terletak di Desa Gunung Leutik. Di Ciparay, Dipati Ukur menyamar sebagai rakyat biasa, dan menyembunyikan pakaian kebesarannya, termasuk sebuah duhung (keris) pusaka, warisan dari Raja Pajajaran, yang disebut culanagara. Tempat penyimpanan culanagara kini dijadikan situs sejarah bernama Situs Culanagara atau Situs Bukit Cula. Pada tahun 2012, di area situs tersebut didirikan palagan bernama Palagan Culanagara.[17]

Catatan

  1. ^ Luthfiyani, p. 258.
  2. ^ Lasmiyati, p. 384.
  3. ^ Pusat Bahasa Depdiknas, p. 10.
  4. ^ Lubis, p. 213.
  5. ^ Hakim, p. 155.
  6. ^ Lasmiyati, p. 382.
  7. ^ a b Lubis, p. 112.
  8. ^ Zakaria (20-11-2008), p. 9.
  9. ^ Ensiklopedi Sunda: alam, manusia, dan budaya, termasuk budaya Cirebon dan Betawi. Pustaka Jaya. 2000. ISBN 9789794192597. 
  10. ^ KomunitasAleut! (2011-01-29). "Dipati Ukur, an Honourable Hero or a Legendary Loser". Dunia Aleut!. Diakses tanggal 2019-08-18. 
  11. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :22
  12. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :7
  13. ^ Lubis, Nina Herlina (2001). Konflik elite birokrasi: biografi politik Bupati R.A.A. Martanagara. Humaniora Utama Press. ISBN 9789799231529. 
  14. ^ Lasmiyati, p. 386.
  15. ^ Zakaria (12-08-2008), p. 7.
  16. ^ Lubis, p. 94.
  17. ^ a b Lasmiyati, p. 391.
  18. ^ a b Lasmiyati, p. 389.

Rujukan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya