Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Delanggu sempat dikenal sebagai penghasil gula tebu. Perkebunan tebu sudah ada di Delanggu sejak 1871 tetapi baru memiliki pabrik gula pada 1917. Pabrik gula ini sempat menjadi penopang perekonomian Delanggu. Produksinya tumbuh dengan signifikan. Pada 1923 mencatat produksi sebesar 164.978 pikul, puncaknya pada 1928 yang mencapai 204.000 pikul. Namun kejayaan ini tak berlangsung lama, pada 1933 pabrik gula Delanggu harus tutup imbas dari malaise.[1]
Pada 1934, Delanggu mulai dilakukan penanaman rosela unruk kebutuhan karung goni. Pabrik gula Delanggu kemudia dialihfungsikan sebagai pabrik karung goni.[1] Pada masa awal kemerdekaan, Delanggu sempat dikenal sebagai tempat produksi karng goni dan perkebunan rosela.
Selain itu, Delanggu juga dikenal sebagai penghasil beras. Delanggu memiliki varietas padi lokal yang dikenal sebagai beras Rojolele.[1]
Pendidikan
Kota Delanggu dikenal sebagai pusat pendidikan lokal, karena terletak di tempat strategis. Sebagian siswa sekolah menengah pertama (SMP) dan SMU berasal dari beberapa kecamatan sekitarnya seperti Polanharjo, Ceper, Juwiring, bahkan Sawit (Boyolali).
Ada sekolah favorit, SMPN 1 Delanggu. Di periode awal '80-an s.d. awal 2000, sekolah ini mempunyai prestasi DANEM rata-rata tertinggi di level Klaten ataupun bahkan pernah level No. 5 nasional.