Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Bicara pelo

Bicara pelo atau yang dikenal dalam istilah medis sebagai disartria adalah gangguan bicara akibat kelemahan pada fungsi otot untuk berbicara. Menurut Tamplin (2008)[1], disartria merupakan gangguan bicara motorik neurologis akibat kelemahan fungsi otot-otot bicara. Istilah disartria berasal dari bahasa Latin Baru, yaitu dys yang berarti 'disfungsional atau gangguan' dan arthr berarti 'sendi atau artikulasi vokal'[2].

Disartria biasanya dipicu oleh sistem saraf yang terganggu sehingga mempengaruhi gerak bibir, lidah, pita suara, dan diafragma berfungsi normal. Gangguan ini biasanya ditandai dengan kelemahan otot-otot lidah, rahang, bibir, tenggorokan yang berpengaruh pada kontrol pernapasan. Sehingga, akan terjadi gangguan artikulatoris dan resonansi yang berakibat pada kesulitan dalam berbicara. Disartria menyebabkan penderitanya sulit untuk mengucapkan kata-kata. Meskipun demikian, bukan berarti penderita disartria mengalami pemahaman bahasa, seperti disfasia atau afasia. Selain itu, penderita disartria juga tidak mengalami penurunan kecerdasan meskipun dalam beberapa kasus penderita disartria dapat mengalami gangguan dalam memahami sesuatu.

Penyebab disartria

Penyebab disartria[3] kebanyakan merupakan dampak dari adanya penyakit lain dalam tubuh, seperti cedera kepala atau neurologis karena kerusakan pada sistem saraf pusat (perifer) yang mengakibatkan kelemahan, kelumpuhan, dan/atau kurangnya koordinasi sistem motorik-bicara. Selain itu, ada pula penyebab lainnya, seperti infeksi otak, radang otak (ensefalitis), tumor otak, stroke, penyakit huntington, penyakit wilson, penyakit parkinson, penyakit lyme, sindrom guillain-barre, amytrophic lateral sclereosis (ALS) atau penyakit lou gehrig, lemah otot, mysthenia gravis, multiple sclereosis, lumpuh otak (celebral palsy), bell's palsy, cedera lidah, dan penyalahgunaan NAPZA.

Meskipun demikian, disartria lebih banyak disebabkan oleh stroke. Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Wede (1986), disartria mempengaruhi 30-40% penderita stroke dengan persentase sekitar 12% yang selamat dari afasia dan 57% mengalami gangguan berbicara. Di sisi lain, Geddes (1996)[4], gangguan disartria juga disebabkan oleh penurunan usia. Sebanyak 51% orang tua yang mengalami stroke menderita disartria dan 27% meningkat pada fase kronis.

Gejala disartria

Gejala yang paling tampak pada penderita disartria adalah perubahan pada cara berbicara. Di sisi lain, ada pula beberapa gejala yang harus diwaspadai sebagai tanda-tanda mengidap disartria, seperti kecepatan berbicara yang berubah-ubah tanpa disadari; penucapan saat berbicara yang tidak terdengar jelas, seperti bergumam atau terputus-putus; sulit menggerakkan bibir, rahang, lidah, atau otot-otot wajah; suara menjadi serak, sering terengah-engah ketika berbicara, dan/atau sengau; menjadi cadel; nada bicara menjadi monoton; irama bicara tidak biasa; kesulitan berbicara keras; dan kesulitan menelan (disfagia) sehingga air liur dapat keluar secara terus-menerus.

Klasifikasi disartria

Berdasarkan gejala yang muncul, disartria diklasifikasikan menjadi beberapa jenis sebagai berikut:

  1. disatria spesifik, yaitu gejala yang disebabkan oleh kerusakan bilateral pada neuron motorik atas;
  2. disartria lembek, yaitu gejala yang disebabkan oleh kerusakan bilateral atau unilateral pada neuron motorik bawah;
  3. disartria ataksik, yaitu gejala yang disebabkan oleh kerusakan otak kecil;
  4. disartria neuron motorik atas unilateral, yaitu gejala disartria yang ditunjukkan lebih ringan dari kerusakan bilateral;
  5. disartria hiperkinetik dan hipokinetik, yaitu gejala yang disebabkan oleh kerusakan bagian ganglia basal, seperti pada penyakit huntington atau parkinosisme;
  6. disartria campuran, yaitu gejala yang disebabkan oleh lebih dari satu jenis disartria.

Mayoritas penderita disartria dikategorikan sebagai penderita disartria campuran. Sebab, kerusakan saraf yang secara spesifik menyebabkan disartria jarang terjadi pada satu bagian saraf saja. Biasanya disartria campuran ini diakibatkan oleh stroke berulang, cedera otak traumatis, dan beberapa jenis penyakit degeneratif (seperti amytrophic lateral sclerosis) yang merusak beberapa sistem saraf.

Diagnosis dan pengobatan disartria

Beberapa hal yang dapat dilakukan sebelum mendiagnosis penderita disartria[3] adalah menggigit bibir bawah, meniup lilin, menghitung angka, membuat beragam suara, bernyanyi, menjulurkan lidah, dan membaca tulisan. Lalu, akan dilanjutkan dengan tes neuropsikologis sebagai bentuk pengecekan kemampuan berpikir (kognitif) dan pemahaman terhadap bacaan dan perkataan. Baru setelahnya akan dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagai penunjang data, seperti:

  1. pindai MRI atau CT scan, sebagai upaya pemeriksaan otak, kepala, dan leher;
  2. pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk mengukur aktivitas listrik pada otak dan saraf;
  3. tes darah dan urine untuk pengecekan infeksi atau peradangan;
  4. pungsi lumbal, yaitu pengambilan sempel cairan otak untuk diteliti di laboratorium;
  5. biopsi otak, yaitu pengambilan sampel jaringan otak untuk mendeteksi tumor otak.


Setelah dipastikan mengidap disartria, penderita dapat menjalankan beberapa terapi, seperti latihan memperkuat otot-otot mulut, terapi berbicara, dan terapi mengunyah serta menelan. Meskipun demikian, disartria bukanlah penyakit menurun sehingga setiap orang memiliki potensi yang sama. Oleh karena itu, perlu upaya pencegahan agar terhindar dari penyakit ini. Beberapa tips agar terhindar dari disartria adalah berolahraga dengan rutin; menjaga berat badan; mengonsumsi buah dan sayur lebih sering; membatasi makanan berkolestrol tinggi, berlemak, dan mengandung garam berlebih; menghindari mengonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter; menghindari konsumsi minuman beralkohol; tidak merokok; dan melakukan pemeriksaan rutin bagi penderita diabetes atau darah tinggi (hipertensi).

Referensi

  1. ^ Tamplin, J. (2008). "A Pilot Study into The Effect of Vocal Exercises and Singing on Dysarthric Speech". Neuro Rehabilitation. 23: 207. 
  2. ^ Wede DT, Hewer RL; et al. (1986). "Aphasia After Sroke: Natural Hystory and Associated Deficts". Int J Speech Neurosurg Psychiatry. 49: 11. 
  3. ^ a b dr. Pittara (2021-12-06). "Disartria". Alodokter. Diakses tanggal 2023-04-12. 
  4. ^ Geddes JM; et al. (1996). "Prevelenceof Self Reported Stroke in A Population in Northern England". J Epidemol Community Health. 50: 140. 
Kembali kehalaman sebelumnya