Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LL.M. (22 Mei 1948 – 28 Februari 2021) adalah seorang pengacara, hakim, dan akademisi hukumIndonesia. Ia pernah menjabat sebagai Hakim Agung dan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung RI, di mana ia terkenal karena vonisnya yang cenderung memperberat hukuman terhadap terpidana kasus korupsi[1] dan dissenting opinion yang ia keluarkan dalam beberapa perkara besar. Pada akhir hayatnya, ia menjabat sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi periode 2019-2023.[2]
Karier Artidjo Alkostar di bidang hukum dimulai pada tahun 1976. Awalnya, ia menjadi tenaga pengajar di FH UIIYogyakarta. Pada tahun 1981, ia menjadi bagian dari Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, masing-masing menjadi wakil direktur (1981-1983) dan direktur (1983-1989).[3] Pada saat yang sama, ia bekerja selama dua tahun di Human Right Watch divisi Asia di New York. Sepulang dari Amerika, ia mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates hingga tahun 2000. Selanjutnya, pada tahun 2000 ia terpilih sebagai Hakim Agung Republik Indonesia.
Artidjo Alkostar mengawali kariernya sebagai hakim agung pada tahun 2000, dan pensiun pada 22 Mei 2018. Sepanjang 18 tahun mengabdi, ia telah menyelesaikan sebanyak 19.708 berkas perkara di Mahkamah Agung.[8] Berbagai kasus besar telah ia tangani, seperti kasus proyek pusat olahraga Hambalang, suap impor daging, dan suap ketua Mahkamah Konstitusi.[9]
Kiprah Artidjo sebagai hakim agung terkemuka sebab ia berani berbeda pendapat dengan majelis hakim lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Djoko Soegiarto Tjandra. Pada kasus Djoko Tjandra, ia menyimpulkan terdakwa bersalah dan dihukum 20 tahun meski dua hakim agung lain membebaskannya. Putusan kasus ini memperkenalkan dissenting opinion dari Artidjo yang membuat namanya kian mencuat. Menurutnya, melalui dissenting opinion tersebut ia berharap orang tidak menganggapnya sebagai pecundang, karena adanya dukungan kepada pendapatnya.[7] Sembari berkelakar, ia menambahkan adanya kemajuan dari dirinya, sebab ketika jadi pengacara ia kerap kalah dalam menangani kasus karena tidak mau memberi suap kepada hakim dan jaksa.[7]
Sebagai Hakim Agung, ia kerap memberi putusan kasasi dengan tambahan masa hukuman dalam kasus korupsi. Oleh karena itu, koruptor rajin mencabut perkaranya ketika mengetahui Artidjo yang akan menangani perkaranya.[10]
Kehidupan pribadi
Artidjo menikah dengan Sri Widyaningsih pada 1998 atau 1999.[11]
Pada awalnya, Artidjo tidak pernah berniat untuk berkarir di dunia hukum dan justru bermaksud mengambil jurusan eksakta dan masuk Fakultas Pertanian. Sayangnya, pendaftaran untuk fakultas pertanian sudah ditutup sehingga ia mendaftar di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia untuk mengisi waktu sampai pembukaan pendaftaran di tahun depan. Setelah setahun berlalu, ternyata Artidjo merasa betah di Fakultas Hukum dan hilang minat untuk mendaftar di Fakultas Pertanian.[11]
Menurut Artidjo, kualitas manusia terletak pada pola pikir dan substasi perbuatan yang dilakukan seseorang untuk masyarakat, bangsa dan negara.[12] Ia juga pernah mengatakan bahwa seorang hakim harus lebih pintar dari pembuat Undang-Undang dan koruptor.[7]
Artidjo juga pernah mengeluarkan beberapa buku, diantaranya berjudul "Artidjo Alkostar Titian Keikhlasan, Berkhidmat untuk Keadilan," "Dimensi Filosofis Ilmu Hukum dan hukum Pidana (70 Tahun Artidjo Alkostar Mengabdi Kepada Bangsa dan Negara)," dan "Alkostar Sebuah Biografi yang ditulis oleh Puguh Windrawan."[7]
Kematian
Artidjo meninggal dunia pada Minggu, 28 Februari 2021 di Jakarta.[13] Komplikasi penyakit paru-paru, jantung, dan ginjal diyakini menjadi penyebab beliau wafat. Komplikasi ini dikatakan telah lama dideritanya. Penyakit COVID-19 bukan termasuk salah satu penyebab kematian beliau.[14]