Arnold de Vlaming
Arnold de Vlaming van Oudtshoorn (lahir tahun 1618 di Beverwijk, Holandia Utara, Belanda) adalah seorang Gubernur Hindia Belanda di Kepulauan Maluku. Dia merupakan anak dari Volckert de Vlaming van Oudshoorn dan Maritge Braems, dia juga mempunyai tujuh saudara kandung, yaitu Cornelis de Vlaming van Oudtshoorn, Pieter de Vlaming van Oudtshoorn, Margaretha de Vlaming van Oudtshoorn, Maria de Vlaming van Oudtshoorn, Gijsbert de Vlaming van Oudtshoorn, dan Diederick de Vlaming van Oudtshoorn. KarierHingga sekitar tahun 1800an, cengkeh, lada, dan pala hanya dapat ditemukan di Kepulauan Maluku yang sekarang menjadi bagian dari Indonesia dan dahulu dijuluki sebagai Kepulauan Rempah-Rempah. Rempah-rempah memiliki banyak kegunaan, yakni sebagai obat, untuk bumbu makanan dan minuman, dan sebagai parfum. Cengkeh seharusnya menjadi obat untuk hilang ingatan dan sakit gigi, lada untuk mabuk laut dan ruam. Namun, volume perdagangan rempah-rempah tetap kecil karena hanya sedikit orang yang mampu membeli barang mewah seperti itu. Mengingat potensi pasar yang terbatas, satu-satunya kemungkinan bagi pedagang untuk mendapatkan banyak uang adalah dengan mengontrol transportasi ke Eropa. Sejak tahun 1500an, Portugis berhasil melakukannya. Kemudian sekitar tahun 1660an monopoli jatuh ke tangan VOC kemudian Inggris mengeluhkan bahwa tidak mungkin memindahkan satu cengkeh tanpa izin dari Belanda.[1] Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1587-1629) dan banyak lainnya juga menggunakan kekerasan untuk mengamankan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku dan menyingkirkan persaingan Inggris. Penduduk asli Banda diperbudak dengan kejam dan bahkan dibantai oleh VOC. VOC membuat pohon cengkeh milik musuh dicabut dan desa-desa dibakar. Ekspedisi Hongi adalah ekspedisi militer inspeksi oleh armada bersenjata Praus. Kata "hongi" berasal dari pulau Ternate di Maluku yang berarti "armada". Setidaknya dibutuhkan sepuluh tahun sebelum cengkeh dapat dipanen dari pohon muda. Jadi, penduduk kehilangan mata pencaharian dan tidak punya pilihan selain pindah atau mati kelaparan.[2] Pada tahun 1651, setelah masa yang kurang lebih tenang, pemberontakan baru melawan kekuasaan Belanda pecah di Maluku. Untuk melindungi monopoli perdagangan cengkeh, VOC sekali lagi memberlakukan pembatasan penanaman pohon cengkeh. Majira, seorang kepala suku Huamual di Pulau Seram, menolak untuk menghancurkan sebagian dari perkebunan muda dan juga ingin menjual cengkeh kepada pedagang Asia. Amasser, sebuah kota di pulau Sulawesi yang diperintah oleh Kesultanan Gowa, mendukung para pemberontak, seperti yang dilakukan Kesultanan Ternate. Pada periode antara 1651 dan 1656, gubernur Maluku, Arnold de Vlaming, berhasil menekan pemberontakan dengan bantuan kepala suku di Maluku, dengan menggunakan kora-kora sebagai armadanya. Belakangan ini peristiwa tersebut disebut dengan nama Perang Besar Ambon atau Perang Huamual. Penulis sejarah Levinus Bor, yang menemani Arnold de Vlamingh van Oudshoorn, melaporkan kampanye terakhir dalam buku yang berjudul Amboinseoorlogen door Arnold de Vlaming van Oudshoorn als superintendent, overd'oosterse gewesten oorlogaftig ten eind gebracht. Setelah Perang Ambon, penanaman cengkeh dibatasi hanya di Pulau Ambon dan Haruku, Saparua, dan Nusalaut dengan dibangunnya benteng Belanda yang kokoh, monopoli perdagangan cengkeh kini sudah di tangan VOC. Pada awal tahun 1770an, para pelaut dari Perancis menyelundupkan potongan rempah-rempah ke Mauritius yang terletak di Samudra Hindia, tetapi butuh tiga puluh tahun lagi sebelum perkebunan muda menghasilkan cukup cengkeh untuk mematahkan monopoli. Baru pada tahun 1795, ketika Inggris menduduki pemukiman Belanda di Maluku, budidaya cengkeh dan pala menyebar ke seluruh Indonesia dan kemudian ke bagian lain dunia juga.[3] Referensi
|