Akihito (明仁) (lahir 23 Desember 1933) adalah Kaisar Jepang ke-125 dan berkuasa pada 1989 - 2019. Masa kekuasaannya dinamakan dengan zaman Heisei (平成) yang dapat dimaknai dengan "mencapai perdamaian" atau "perdamaian di mana pun."
Pada masa kekuasaannya, Akihito berusaha mencitrakan keluarga kaisar dekat dengan masyarakat, seperti pidatonya melalui siaran televisi dan mengunjungi korban bencana. Akihito sendiri menyampaikan pernyataan penyesalan pada negara-negara Asia atas pendudukan Jepang pada masa sebelumnya. Pernikahannya dengan Shoda Michiko mendobrak 2.600 tahun adat istana yang sebelumnya kaisar selalu memperistri wanita berlatar belakang bangsawan.
Pada 30 April 2019, Akihito secara resmi turun takhta, menjadikannya sebagai kaisar pertama yang melakukan hal tersebut sejak 200 tahun terakhir dalam sejarah Jepang.
Awal kehidupan
Akihito lahir di Istana Kekaisaran Tokyo dan merupakan anak kelima sekaligus putra tertua Hirohito (Kaisar Showa) dan Nagako (Permaisuri Kojun). Saat muda, dia dianugerahi gelar Pangeran Tsugu (継宮, Tsugu-no-miya). Akihito muda dididik dalam bimbingan guru pribadi dan kemudian bersekolah dari 1940 sampai 1952 di Gakushūin, tempat belajar putra-putri bangsawan Jepang.[1] Berbeda dengan pendahulunya, dia tidak menerima pendidikan militer, sebagaimana yang diinginkan ayahnya.
Saat kota Tokyo dibom oleh pihak Amerika pada Maret 1945, ia dan adiknya, Pangeran Masahito (bergelar Pangeran Hitachi), dipindahkan dari Tokyo. Ketika masa pendudukan Amerika selepas Perang Dunia II, Akihito belajar Inggris dan tata krama Barat dengan Elizabeth Gray Vining, guru wanita asal Amerika Serikat yang tugas utamanya adalah memperkenalkan dan mengajarkan asas-asas demokrasi kepadanya.[2] Akihito kuliah sebentar di Jurusan Ilmu Politik di Universitas Gakushuin di Tokyo, meski tidak sampai menerima ijazah. Seperti ayahnya, ia menyukai biologi laut dan mempelajarinya sungguh-sungguh. Ia juga senang mendengarkan musik, klasik maupun jazz, dan sering bermain tenis dan bridge.
Peran
Sebagai putra tertua kaisar, Akihito merupakan orang pertama dalam daftar pewarisan takhta saat kelahirannya. Namun penobatan resminya (立太子礼 Rittaishi-no-rei) baru dilangsungkan pada 10 November 1952 di Istana Kekaisaran Tokyo, menjadikannya secara resmi menyandang gelar sebagai putra mahkota kekaisaran (皇太子, Kōtaishi). Setelah Hirohito mangkat pada tahun 1989, Akihito secara resmi menjadi kaisar (天皇, Tennō) ke-125.[3] Namun penobatan resminya baru dilangsungkan pada 12 November 1990.[1] Masa kekuasaannya dinamakan dengan zaman Heisei (平成) yang dapat diartikan "mencapai perdamaian" atau "perdamaian di mana pun."
Berbeda dengan negara monarki-konstitusional lain, langkah gerak kaisar yang dikatakan sebagai "lambang negara dan persatuan rakyat" sangat ketat dibatasi konstitusi dan kaisar murni hanya berperan sebagai representatif Jepang dengan hampir tanpa kekuatan politik sama sekali. Kaisar juga hanya berperan secara simbolis dalam berbagai seremonial penting, itu juga dengan arahan dari kabinet.
Beberapa peran Akihito sebagai keluarga kekaisaran adalah melakukan berbagai kunjungan kenegaraan sebagai perwakilan dari Jepang. Pada Juni 1953, Akihito turut hadir dalam upacara pemahkotaan Elizabeth II sebagai Ratu Britania Raya.[1] Akihito melawat ke 37 negara saat sebagai putra mahkota. Sebagai kaisar, dia mengadakan kunjungan resmi ke 18 negara dan ke 47 prefektur di Jepang.[1] Terlepas dari ketatnya peraturan, Akihito juga berusaha untuk lebih mendekatkan sosok kaisar dan keluarga istana kepada masyarakat umum,[4] seperti dengan pemunculannya di televisi dan mengunjungi korban bencana.
Dalam berbagai kesempatan, Akihito juga kerap menyampaikan penyesalan kepada berbagai negara di Asia atas pendudukan Jepang pada masa sebelumnya, dimulai dengan pernyataan penyesalan kepada Tiongkok pada April 1989, hanya tiga bulan setelah meninggalnya Hirohito. Pada Juni 2005, Akihito mengunjungi pulau Saipan, tempat terjadinya Pertempuran Saipan saat Perang Dunia II.,[5] Didampingi Permaisuri Michiko, Akihito memanjatkan doa dan memberikan bunga di beberapa tugu peringatan, tidak hanya kepada pihak Jepang yang tewas, tapi juga kepada para prajurit Amerika, pekerja Korea, dan penduduk setempat. Perjalanan ke Saipan ini mendapat pujian tinggi dari masyarakat Jepang, begitu juga kunjungannya di berbagai tempat peringatan perang di Tokyo, Hiroshima, Nagasaki, dan Okinawa pada 1995.
Di perayaan ulang tahun Akihito pada Desember 2001, saat wartawan menanyakan mengenai memanasnya hubungan dengan Korea, Akihito menjawab mengenai hubungan kekerabatan antara Jepang dan Korea. Dalam Shoku Nihongi, disebutkan bahwa ibu Kaisar Kanmu masih merupakan keturunan Muryeong, Raja Baekje, suatu topik yang dianggap tabu dibicarakan.[6][7]
Mengunjungi korban bencana menjadi salah satu upaya mendekatkan keluarga kekaisaran dengan masyarakat. Setelah gempa bumi besar Hanshin terjadi pada 1995 dan mengakibatkan kematian lebih dari 6.000 jiwa, Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko mengunjungi wilayah Kobe dan berlutut di hadapan korban yang selamat, mendobrak tradisi istana.[8]
Menanggapi gempa bumi dan tsunami Tōhoku 2011 dan bencana nuklir Fukushima Daiichi, Akihito tampil menyapa masyarakat di televisi[9] dan meminta khalayak untuk tidak kehilangan harapan dan saling membantu satu sama lain.[10] Ini adalah kali pertama kaisar tampil di televisi. Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko juga berkunjung ke tempat penampungan sementara pada Rabu, 30 Maret 2011, untuk membangkitkan harapan para korban.[11]
Turun takhta
Pada Juli 2016, NHK melaporkan keinginan Akihito untuk turun takhta lantaran usia, tetapi pejabat senior di Badan Rumah Tangga Kekaisaran menampik kebenaran pernyataan tersebut.[12][13] 8 Agustus 2016, Akihito membuat pernyataan di televisi, sesuatu peristiwa yang sangat jarang, menjelaskan usia tuanya dan menurunnya kesehatannya.[14] Pernyataan ini diartikan sebagai keinginan Akihito untuk turun takhta.[15] Pada 2017, pemerintah Jepang mulai membahas mengenai masalah turun takhta ini dan mulai menerbitkan peraturan yang memungkinkan Akihito turun takhta, berikut prosedur peralihan takhta.[16]
Pada 18 Februari2012, Kaisar Akihito menjalani operasi bypass jantung di Rumah Sakit Unversitas Tokyo atau University of Tokyo Hospital pada pukul 09.24 waktu setempat. Ia harus menjalani operasi bypass jantung setelah hasil pemeriksaan menunjukkan adanya penyempitan pembuluh darah koronernya. Selama operasi dan masa penyembuhan, putra sulung Akihito, Putra Mahkota Naruhito akan mengambil alih tugas-tugas resmi seperti menghadiri seremoni publik dan menemui tamu-tamu negara [17] Pada 30 April 2019, Kaisar Akihito secara resmi turun takhta dan merupakan kaisar pertama yang melakukannya sejak 200 tahun terakhir dalam sejarah Jepang. Takhta selanjutnya diwariskan kepada Naruhito. Setelah turun takhta, Akihito menerima gelar Purna-Kaisar/Kaisar Emeritus (太上天皇, Daijō Tennō).
Kehidupan pribadi
Akihito menikah dengan Shōda Michiko. Mereka pertama kali bertemu pada Agustus 1957 di lapangan tenis di Karuizawa, dekat Nagano.[1][18] Latar belakang Michiko yang bukan dari keluarga bangsawan dinilai tidak patut menjadi pendamping bagi Akihito yang seorang putra mahkota dalam standard masa itu. Pada bulan September 1958, Michiko dikirim ke Brussel untuk menghadiri konferensi internasional Alumnae du Sacré-Coeur. Akihito tetap ingin menjalin komunikasi dengan Michiko, tetapi juga tidak ingin menimbulkan insiden diplomatik. Oleh karenanya, dia menghubungi Baudouin, Raja Belgia, untuk mengirim pesannya secara langsung kepada Michiko. Raja Baudouin juga kemudian berunding secara langsung dengan Kaisar Jepang saat itu, Hirohito, terkait hubungan putranya dan menyatakan bila Putra Mahkota bahagia dengan Michiko, dia akan menjadi sosok kaisar yang baik.[19]
Badan Rumah Tangga Kekaisaran secara resmi menyetujui pertunangan mereka pada 27 November 1958. Saat itu, media menyebut kisah mereka sebagai "cerita dongeng" yang nyata[20] atau "kisah asmara di lapangan tenis." Upacara pertunangan diadakan pada 14 Januari 1959 dan pernikahan mereka dilangsungkan pada 10 April 1959. Pernikahan mereka mendobrak 2.600 tahun tradisi keluarga istana yang sebelumnya kaisar selalu menikah dengan keluarga bangsawan atau cabang dari klan kaisar.[21]
Pengumuman pertunangan dan pernikahan Akihito dan Michiko menuai penentangan dari kalangan tradisionalis, lantaran selain tidak memiliki latar belakang bangsawan, Michiko berasal dari keluarga Katolik.[22] Meski belum pernah dibaptis, Michiko dididik di sekolah Katolik dan tampaknya memiliki keyakinan yang sama dengan orangtuanya. Kabar juga menyebutkan bahwa ibu Akihito, Nagako (Permaisuri Kojun), merupakan salah satu penentang paling keras atas keputusan putranya. Setelah meninggalnya Nagako pada tahun 2000, Reuters melaporkan bahwa pada tahun 1960, Nagako membuat menantu perempuan dan cucunya depresi lantaran disalahkan terus-menerus sebagai sosok yang tidak pantas mendampingi putranya.[23]
Keluarga
Orangtua
Ayah — Hirohito (裕仁), nama anumerta Kaisar Showa (昭和天皇, Shōwa-tennō). Kaisar Jepang pada 1926 - 1989.
Kakek — Yoshihito (嘉仁), nama anumerta Kaisar Taisho (大正天皇, Taishō-tennō). Kaisar Jepang pada 1912 – 1926.
Ibu — Nagako (良子), nama anumerta Permaisuri Kōjun (香淳皇后, Kōjun-kōgō). Anggota dari salah satu cabang keluarga besar kekaisaran.
Kakek — Pangeran Kuniyoshi (邦彦王, Kuniyoshi-ō), bergelar Pangeran Kuni (久邇宮, Kuni-no-miya).
Nenek — Shimazu Chikako
Pasangan
Shōda Michiko (正田 美智子) (lahir 20 Oktober 1934). Akihito dan Michiko menikah pada 10 April 1959.
Keturunan
Naruhito (徳仁) (lahir 23 Februari 1960). Bergelar Pangeran Hiro (浩宮; Hiro-no-miya) saat muda. Kaisar Jepang yang berkuasa sejak 2019. Menikah dengan Owada Masako pada 9 Juni 1993. Memiliki anak:
Putri Aiko (愛子内親王, Aiko-naishinnō) (lahir 1 Desember 2001), bergelar Putri Toshi (敬宮, Toshi-no-miya)
Pangeran Fumihito (文仁親王, Fumihito-shinnō) (lahir 30 November 1965), bergelar Pangeran Aya (礼宮, Aya-no-miya) saat muda, kemudian menjadi Pangeran Akishino (秋篠宮, Akishino-no-miya) setelah menikah dengan Kawashima Kiko pada 29 Juni 1990. Memiliki anak:
KomuroMako (小室 眞子), dahulunya Puri Mako (眞子内親王, Mako-naishinnō) (lahir 23 Oktober 1991). Setelah menikah secara sipil dengan Komuro Kei, seorang pengacara pada 26 Oktober 2021, Mako kehilangan seluruh gelar kebangsawanannya berdasarkan Undang-undang Kerumahtanggaan Kaisar tahun 1947.
Putri Kako (佳子内親王, Kako-naishinnō) (lahir 29 Desember 1994)
Kuroda Sayako (黒田清子), dahulunya Putri Sayako (清子内親王, Sayako-naishinnō) (lahir 18 April 1969), bergelar Putri Nori (紀宮, Nori-no-miya). Setelah menikah dengan pria dari kalangan non-bangsawan bernama Kuroda Yoshiki pada tahun 2005, Sayako kehilangan statusnya sebagai putri dan semua gelar istananya.