Dalam Buddhisme Zen, zazen (harfiah "duduk meditasi"; Jepang: 坐禅; China sederhana: 坐禅) adalah disiplin meditasi yang praktisi lakukan untuk menenangkan tubuh dan pikiran, dan agar dapat cukup berkonsentrasi untuk mengalami wawasan terhadap sifat eksistensi dan dengan demikian mendapatkan pencerahan.
Zazen dianggap sebagai inti dari praktik Zen. Tujuan dari zazen hanya duduk, yaitu menangguhkan semua pemikiran yang menghakimi, dan membiarkan kata-kata, ide, gambar dan pikiran lewat tanpa terlibat di dalamnya.
Jepang pada masa samurai, para samurai mencapai kesempurnaan dalam seni bela diri seperti kenjutsu, kyujutsu, dan jiu-jitsu melalui praktik Zazen. Praktik ini ideal bagi cara hidup samurai karena menekankan pada ketenangan, kewaspadaan, dan kerelaan dalam menghadapi kematian.[2]
Praktik Zazen
Tradisi Zazen mencakup periode meditasi kelompok intensif di sebuah biara (zendo). Dalam rutinitas sehari-hari, para biarawan diharuskan untuk bermeditasi selama beberapa jam setiap hari. Namun, selama periode intensif ini, mereka mengabdikan diri semata-mata hanya untuk mempraktikkan zazen atau meditasi duduk. Periode meditasi selama 30-50 menit yang berkali-kali disisipi dengan istirahat pendek, makan, dan kadang-kadang, pekerjaan jangka pendek harus dilakukan dengan kesadaran yang sama; tidur malam dilakukan seminimal mungkin: 7 jam atau kurang dari itu. Salah satu aspek yang khas dari Zazen berkelompok adalah penggunaan serpihan kayu datar yang digunakan untuk menjaga pelaku meditasi tetap fokus dan terjaga.
Mengamati nafas
Selama duduk bermeditasi, praktisi mengambil posisi seperti posisi:
lotus
setengah lotus
Burma, atau
seiza,
dengan menggunakan dhyāna mudrā. Untuk mengatur pikiran, kesadaran diarahkan dengan menghitung atau mengamati napas, atau dimasukkan ke dalam pusat energi di bawah pusar.[3] Seringkali, bantal persegi atau bulat ditempatkan di atas tikar empuk dan digunakan untuk duduk.
Mengamati pikiran
Di aliran Zen Soto, meditasi tanpa objek, hasrat, atau isi, adalah bentuk utama dari praktik meditasi ini. Pelaku meditasi berusaha menyadari aliran pikiran yang memungkinkan pikiran tersebut untuk muncul dan hilang tanpa gangguan. Pembenaran secara tekstual, filosofis, dan fenomenologis yang cukup besar untuk praktik ini dapat ditemukan di seluruh Dogen Shōbōgenzō, seperti misalnya dalam buku "Principles of Zazen"[4] dan "Universally Recommended Instructions for Zazen”.[5] Dalam bahasa Jepang, praktik ini disebut shikantaza.