Zainal Ilmi al-Banjari
K.H. Zainal Ilmi atau yang lebih dikenal dengan nama Tuan Guru Zainal Ilmi Al-Banjari dilahirkan pada Jum’at malam sekitar pukul 04.30 Wita, 7 Rabiul Awwal 1304 H di Desa Dalam Pagar, Martapura Timur, Banjar. Beliau merupakan zuriat dari Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari dimana Ayahnya yang bernama H. Abdus Shamad bin Muhammad Said Wali, merupakan keturunan keempat Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari atau lebih dikenal dengan nama Datu Kalampayan sedangkan ibunya bernama Hj. Qamariyyah.[1] PendidikanZainal Ilmi sejak kecil mendapat bimbingan ilmu islam dari keluarga, sehingga sejak kecil pula beliau memiliki iman tauhid yang terbina dan akhlak yang terpuji. Beliau juga menyibukkan diri dengan menuntut ilmu, beribadah, dan menghindari hal-hal syubhat. Adapun guru Zainal Ilmi al-Banjari dalam menuntut ilmu, di antaranya adalah orang tuanya sendiri, yakni KH. Abdus Shamad. Padanya beliau belajar ilmu arabiyyah, fiqih, dan hadist selama kurang lebih 6 tahun. Kemudian KH. Muhammad Amin bin Qadhi H. Mahmud, Syekh Abdurrahman Muda, KH. Abbas bin Mufti H. Abdul Jalil, KH. Abdullah bin KH. Muhammad Shaleh, KH. Muhammad Ali bin Abdullah Al Banjari, KH. Khalid, KH. Ahmad Nawawi, serta KH. Ismail Dalam Pagar Martapura, KH. Ahmad Wali Kuin Banjarmasin.[2] Sifat-sifatTundukMenurut suatu riwayat, Zainal Ilmi adalah khalifah dari Mufti Indragiri Riau, Syekh Abdurrahman Shiddiq al-Banjari atau yang lebih dikenal dengan Datu Sapat. Ketika Abdurrahman Shiddiq hendak pergi ke Tembilahan Riau, beliau ditanya seseorang di kampung Dalam Pagar, "Siapa pengganti guru di kampung ini kalau guru berangkat nanti?" Beliau menjawab "Anang Ilmi penggantiku," sambil menepuk bahu Zainal Ilmi. Zainal Ilmi terperanjat atas keputusan dan amanah dari Abdurrahman Shiddiq tersebut. Sehingga mulai saat itulah, beliau senantiasa menunduk. DermawanZainal Ilmi memiliki perawakan gemuk dan tidak terlalu tinggi. Meski demikian, beliau sangat dihormati karena jiwa sosial beliau yang tinggi. Beliau suka menyantuni fakir miskin dan janda-janda tua. Diceritakan bahwa beliau membagikan santunan ketika malam tiba secara sembunyi-sembunyi. Karomah[3]Memadamkan api dari jarak jauhDisebutkan ketika Zainal Ilmi mengajar murid-murid di kediamannya, di tengah-tengah pengajian beliau berkata "Kita berhenti sebentar". Kemudian beliau masuk ke dalam kamar, melepas pakaian luar kemudian bergegas mengambil dua buah timba dan pergi ke sungai di depan kediamannya. Timba itu diisi air dan disiram ke jalan raya, satu ke sebelah kanan dan satu ke sebelah kiri. Setelah melakukan hal itu, beliau kembali ke rumah dan bertemu dengan ibunya. Ibunya yang keheranan dengan tingkah laku sang anakpun bertanya "Mengapa kamu siramkan air itu ke jalanan, sedangkan kamu susah payah mengambilnya dari sungai, lebih bermanfaat air itu mengisi tempat air yang kosong?" Beliau menjawab "Kita menolong orang yang kesusahan, bu. Ada orang yang sedang kebakaran." "Apakah kebakaran terjadi di tengah jalan?" tanya ibunya beberapa kali. Berselang tiga hari, datanglah orang berkunjung kepada Zainal Ilmi dengan ungkapan yang mengagetkan orang yang mendengarnya. "Guru, kami sangat berterima kasih dengan kepada guru. Bahwasanya di kampung kami terjadi kebakaran dan membawa korban beberapa rumah penduduk, kemudian saya bertawasul dengan meminta pertolongan kepada Allah. Setelah itu, saya lihat guru datang memberikan pertolongan dengan membawakan dua buah timba dan menyiramkan air kepada api sehingga padam seketika. Inilah keperluan saya ziarah kesini, sekadar menyampaikan ucapan terima kasih atas pertolongan guru kepada kami di kampung Sungai Salai Margasari Rantau Tapin. Memenuhi hajat petani durianDiceritakan bahwa ada seorang petani yang memiliki kebun durian, namun tidak kunjung memberi hasil. Hingga ia berhajat apabila kebunnya berbuah, maka akan dihadiahkan kepada Zainal Ilmi. Tak lama berselang, kebun itu berbuah namun hanya tiga buah durian. Walaupun demikian, sang petani tetap menunaikan hajat untuk menghadiahkan buah itu kepada Zainal Ilmi. Kendati demikian, maksud hati untuk bertemu Zainal Ilmi tidak kesampaian karena banyaknya kesibukan sang petani waktu itu. Diapun menitipkan tiga buah durian itu kepada tetangganya yang kebetulan ingin bersilaturrahmi dengan Zainal Ilmi. Di tengah perjalanan, orang yang diamanahi buah tersebut rupanya tidak tahan menahan keinginannya untuk mencicipi buah yang memiliki aroma yang menggiurkan tersebut. Akhirnya, orang itu pun memakan satu buah durian yang diamanahkan. Agar aksinya tak ketahuan, ketika sampai di Martapura ia pun membeli satu buah durian untuk mengganti buah yang telah dimakannya. Dan kemudian, dengan tenangnya ia menuju rumah Zainal Ilmi. Sesampainya di rumah sang guru, orang tersebut menyerahkan titipan si petani. Yakni tiga biji buah durian yang satu di antaranya telah digantinya. Zainal Ilmi pun menyambut baik tamu tersebut dan mengambil hadiah titipan berupa buah durian tersebut. Uniknya, Zainal Ilmi hanya mengambil dua buah durian, dan satu bijinya dibelah dan disuguhkan kepada tamunya tadi. Ketika menyuguhkan itu, Zainal Ilmi berkelakar, ”Bagaimana rasanya dengan durian yang kamu belah dan kamu makan dalam perjalanan tadi? Manis mana dengan yang ada ini?”. Saat itulah, sang tamu ini menyadari bahwa orang yang ditemuinya bukanlah orang sembarangan, bahwasanya beliau adalah orang yang kasyaf dan diberi keistimewaan oleh Allah Swt. Walaupun dirinya memakan buah durian titipan tersebut sangat jauh dengan rumahnya namun Zainal Ilmi dapat mengetahuinya. WafatZainal Ilmi di masa hidupnya juga pernah diangkat sebagai penasehat badan pemulihan keamanan daerah Kabupaten Banjar sekitar Tahun 1956, ketika terjadi pemberontakan Ibnu Hajar. Setiap Jum’at, Beliau memberikan ceramah kepada masyarakat yang terpengaruh dengan adanya pemberontakan tersebut. Menjelang wafatnya Zainal Ilmi masih menyempatkan waktu untuk berdakwah. Sebagaimana diceriterakan, pada waktu itu beliau ada jadwal mengisi ceramah di Karang Intan. Padahal disinyalir kuat Zainal Ilmi sudah tahu kewafatannya kian dekat. Sebab beliau menyuruh seseorang untuk ketempat mertuanya, mengabarkan pada istrinya yang lagi menginap disana agar secepatnya pulang ke rumah. Dengan pesan singkat dari Guru Zainal Ilmi, ”Cepat pulang nanti tidak sempat.”. Selain itu, pula sebelum berangkat ke Karang Intan untuk berdakwah, beliau berkata kepada orang yang ada disekitarnya waktu itu, ”Nanti banyak orang, nanti banyak orang.” Tak lama setelah itu, Beliaupun berangkat ke Karang Intan. Setelah acara tersebut selesai, Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari mendadak sakit dan berujung wafatnya di tempat dakwahnya, Karang Intan, Jum’at pada tanggal 13 Dzulqaidah 1375 H bertepatan dengan 21 Juni 1956 M pada pukul 12 siang. Ketika wafatnya Zainal Ilmi tersebut musim pada waktu itu sedang kemarau. Tanah dan sungai menjadi kering, sehingga untuk dimakamkan di Desa Kelampaian disamping makam orang tuanya mendapat kendala yang berarti. Sebab, untuk ke Kelampaian saat itu harus melalui jalur sungai, sedangkan sungai sebagai sarana transportasi tersebut tak dapat digunakan karena kekeringan. Dengan demikian, muncullah inisiatif untuk memakamkan Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari ditempat lain. Seperti, di Desa Dalam Pagar, pun demikian ada juga inisiatif dari kalangan ABRI (sekarang TNI) yakni Hasan Basri yang mengusulkan agar ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bumi Kencana. Sebab, ia dianggap sebagai sesepuh angkatan bersenjata. Semua usulan tersebut disambut baik oleh ahli waris. Namun ahli waris tetap menginginkan jasad almarhum dimakamkan di Kalampaian berdekatan dengan Datuknya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, kendati hal itu mendekati tidak mungkin pada saat itu. Allah Swt. Maha Berkehendak, tak disangka dan tak diduga Jum’at malam hujan turun dengan derasnya, sehingga sungai yang tadinya kering menjadi berair hingga bisa dilewati perahu yang membawa jenazah dan rombongan sanak keluarga yang mengiringi jenazah Zainal Ilmi. Dan pada hari Sabtu, 14 Dzulqaidah Tahun 1375 Hijriyah dengan suasana yang penuh khidmat jasadnya dimakamkan di samping makam orang tuanya KH. Abdus Shamad di Kalampaian berdekatan dengan Datuknya Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.[2] Referensi
|