Wayang kulit Bali merujuk pada seni pertunjukan wayang kulit yang berkembang di Bali. Pertunjukan wayang kulit Bali memiliki dua jenis tema cerita yaitu tema spiritual, dan tema hiburan.[1] Wayang kulit dengan tema pertunjukan spiritual sangat disakralkan oleh umat Hindu di Bali. Pada upacara keagamaan tertentu, pertunjukan wayang dapat ditemukan sebagai bagian utama atau pelengkap daripada upacara tersebut.[1][2] Sementara pertunjukan wayang kulit dengan tema hiburan biasanya ditemukan dalam pesta rakyat dan mempunyai alur cerita yang kontemporer dan sering kali berkaitan dengan isu sosial yang berkembang di masyarakat. Secara umum, berdasarkan waktu pementasannya, wayang kulit bali dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu wayang lemah dan wayang peteng.[2] Pertunjukan wayang kulit umumnya melibatkan sekitar 3-15 orang yang meliputi: dalang, pengiring, dan jika diperlukan sepasang pembantu dalang (tututan). Sama seperti pertunjukan wayang kulit di Pulau Jawa, pemimpin utama sekaligus pengisi suara dari pertunjukan wayang dijuluki dalang. Untuk mementaskan wayang, para dalang Bali memerlukan sekitar 125 - 130 lembar wayang .[2]
Sejarah
Dalam lingkungan budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperkirakan telah ada sejak sekitar abad ke IX masehi. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun Çaka 818 ( 896 M), peninggalan masa pemerintahan raja Ugrasena di Bali, ditemukan istilah parbwayang yang diyakini berkaitan dengan wayang atau pertunjukan wayang,sebelumnya terdpat sumber lain yang menyebutkan bahwa wayang kulit masuk ke Bali setelah Majapahit runtuh yang dibawa oleh keturunan raja Brawaijaya yang telah masuk Islam.[2][3] Pertunjukan wayang kulit Bali biasanya membawakan cerita-cerita klasik seperti Mahabrata, Ramayana, Calonarang, dan lain lain. Namun, saat ini mulai bermunculan dalang-dalang yang berani membawakan alur cerita yang lebih dinamis dan berkaitan dengan kehidupan masyarakat saat ini.[2] Tidak hanya dari segi cerita atau topik yang dibawakan oleh dalang, media pementasan pun mulai berganti. Misalnya, pencahayaan yang dulunya menggunakan obor mulai digantikan oleh lampu, bahkan dapat ditemukan pertunjukan yang menggunakan lampu yang berwarna-warni sebagai penambah riuh suasana.[2][4]
Jenis pertunjukan
Merujuk waktu pementasannya, pertunjukan wayang kulit Bali dapat dibagi kedalam dua jenis pertunjukan yaitu wayang lemah dan wayang peteng. Lemah yang secara harfiah berarti siang menunjukan bahwa wayang lemah biasanya dipentaskan pada siang hari. Sebaliknya, peteng berarti malam menunjukan bahwa wayang peteng biasanya dipentaskan pada malam hari.[2]
Wayang Lemah
Selain karena pementasan yang umumnya dilakukan pada siang hari, karakteristik lainnya dari pertunjukan wayang lemah adalah motif pertunjukan yang biasanya berkaitan dengan hal-hal spiritual atau upacara keagamaan.[5] Wayang ini dipentaskan tanpa menggunakan layar dan lampu atau obor. Dalam memainkan wayang, dalang menyandarkan wayang pada seutas benang putih dengan panjang sekitar setengah sampai satu meter kemudian diikat pada batang pohon dadap yang terlebih dahulu ditancapkan pada batang pisang. Pembantu pertunjukan wayang lemah biasanya 3-5 orang dan tidak dipentaskan dalam panggung khusus melainkan hanya disekitar tempat upacara.[2] Tokoh dan alur cerita yang dibawa pada pertunjukan wayang lemah biasanya berasal dari kisah Mahabrata yang disesuaikan dengan jenis dan tingkatan dari upacara keagamaan terkait. Durasi pementasan wayang lemah relatif singkat, yakni sekitar satu hingga dua jam.[2][5]
Wayang Parwa: Pertunjukan Wayang Parwa membawakan tokoh-tokoh dan cerita tekait Mahabrata. Umumnya pertunjukan wayang parwa dilakukan pada malam hari dan hanya sebagai sarana hiburan. Namun, terdapat dua jenis pertunjukan Wayang Parwa lainnya yang dipentaskan pada siang hari dan memiliki tema spiritual atau berkaitan dengan upacara agama yaitu Wayang Sapuh Leger dan Wayang Sudamala. Durasi pementasan Wayang Parwa sekitar 3-4 jam.[8][9]
Wayang Ramayana: Sesuai namanya, Wayang Ramayana membawakan tokoh-tokoh sekaligus topik yang berkaitan dengan kisah Ramayana. Pementasan Wayang Ramayana umumnya memiliki motif hiburan dan dipentaskan pada malam hari dengan sarana lengkap seperti layar, panggung, pengiring, dan penerangan.Pementasan Wayang Ramayana biasanya berlangsung selama 3-4 jam.[10]
Wayang Gambuh: Pertunjukan Wayang Gambuh merupakan salah satu pertunjukan wayang paling langka di Bali. Penokohan dan tema cerita yang digunakan pada pertunjukan wayang ini terkait dengan cerita rakyat Panji Malat.[11]
Wayang Calonarang: Wayang Calonarang biasa disebut juga sebagai Wayang Leak, merupakan pertunjukan yang dianggap angker sekaligus sakral oleh masyarakat Bali. Hal ini dikarenakan dalam pertunjukan Wayang Calonarang biasanya diselipkan kalimat-kalimat atau kisah terkait ilmu hitam. Tokoh dan tema cerita dari pertunjukan ini diambil dari kisah Calonarang.[12]
Wayang Cupak: Pertunjukan Wayang Cupak merupakan pertunjukan wayang yang cukup langka di Bali. Tokoh dan tema cerita dari Wayang Cupak diambil dari cerita rakyat Cupak Grantang yang berkembang di Bali. Pertunjukan Wayang Cupak merupakan pertunjukan yang bersifat sebagai hiburan. Pertunjukan wayang ini cukup populer di Kabupaten Tabanan.[13]
Wayang Sasak: Pertunjukan Wayang Sasak merupakan pertunjukan wayang yang cukup unik di Bali. Pertunjukan ini berasal dari Suku Sasak di Lombok dan memiliki tema cerita yang bernafaskan Budaya Islam.[14]
Wayang Arja: Pertunjukan Wayang Arja merupakan pertunjukan yang relatif baru diciptakan. Pertunjukan Wayang Arja diciptakan pada tahun 1975 dan terinspirasi dari kehidupan para pelaku seni pertunjukan seni Arja yang mulai terdesak oleh kehadiran pertunjukan Drama Gong. Tema cerita dan penokohan yang dibawakan pada pertunjukan ini terkait dengan cerita yang sering dibawa pada pertunjukan Arja.[15]
Wayang Tantri: Pertunjukan Wayang Tantri diciptakan pada tahun 1981 oleh mahasiswa Akademi Seni Tari Indonesia, Denpasar. Pertunjukan Wayang Tantri memiliki struktur yang berbeda dari pertunjukan wayang lainnya. Walaupun memiliki struktur pertunjukan yang baru, penokohan yang terdapat pada pertunjukan ini tetap merujuk pada penokohan yang biasa dibawakan pada pertunjukan wayang klasik.[16]
Wayang Babad: Dari keseluruhan pertunjukan wayang peteng, pertunjukan Wayang Babad merupakan pertunjukan yang memiliki umur termuda. Bentuk dan dialog dari tokoh wayang pada pertunjukan Wayang Babad masih mengacu pada wayang tradisional bali. Perbedaan pada pertunjukan Wayang Babad terlihat dari tema cerita yang dipilih, yakni berkaitan dengan cerita sejarah atau babad Bali.[17]
Referensi
^ abI Made, Marajaya (2006) ESTETIKA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT BALI. Wayang (JURNAL ILMIAH SENI PEWAYANGAN), 5 (1). p. 1. ISSN 1412-9248. Web archive.
^ abDewa Ketut, Wicaksana (1996) WAYANG LEMAH REFLEKSI NILAI BUDAYA DAN AGAMA BAGI MASYARAKAT HINDU BALI. Mudra (JURNAL SENI BUDAYA), 4. p. 1. ISSN 0854-3461. Web archive.
^Yudabakti, I. (2016). Marginalisasi dan Revitalisasi Wayang Kulit Parwa di Kabupaten Gianyar pada Era Globalisasi. Journal Of Bali Studies, 6(1), Hlm. 223-252.