Vihara Jina Dharma SradhaVihara Jina Dharma Sradha adalah sebuah bangunan ibadah (pujha bakti) umat agama Buddha yang berada di Dusun Siraman, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Wihara tersebut telah berdiri sejak tahun 1981 atas prakarsa dari Sagha Agung Indonesia (SAGIN),[1] Y.A Bhikkhu Jinaphallo bersama salah satu tokoh masyarakat desa setempat. Wihara tersebut tidak hanya dijadikan tempat ibadah saja, melainkan juga tempat untuk pembinaan umat Buddha yang dilakukan oleh Bhikhu Shangha, terutama dalam bidang rohani, sosial, keagamaan, dan kemasyarakatan. Wihara Jina Dharma Sradha juga dianggap sebagai wihara induk, karena membawahi delapan wihara lain yang ada di Kabupaten Gunungkidul, seperti Vihara Jina Dharma Tirta, Vihara Jina Vano Phalo, Vihara Dharma Surya, Vihara Giri Surya, Vihara Bakti Virya Dhamma, Vihara Dharma Ratna, dan Vihara Giri Ratana.[2] Sejarah Pembangunan WiharaAwal mula pembangunan Vihara Jina Dharma Sradha dilatarbelakangi oleh semakin bertambahnya jumlah umat Buddha di Desa Siraman, tetapi tidak diimbangi dengan ketersediaan bangunan wihara yang mumpuni. Umat Buddha di Siraman akhirnya banyak melakukan ibadah di Cetya Siraman, terutama selama rentang waktu tahun 1976 hingga 1979. Keluhan tersebut oleh beberapa tokoh agama Buddha setempat ditanggapi dengan pengajuan dana kepada pemerintah Desa Siraman untuk dibangun tempat ibadah yang lebih besar bagi umat Buddha di sana. Tokoh-tokoh tersebut adalah Bapak Romo Hadi Dharma Wijaya, Bapak Sadak Hartono, dan Bikhu Jinaphalo. Sejak tahun 1979, mereka sudah sering mengadakan pertemuan guna membahas rencana tersebut. Sejak tahun itu pula lah, pemerintah desa setempat tidak memberikan respon yang memuaskan terkait rencana tersebut. Hingga pada tahun 1981, proposal pembangunan wihara baru tersebut disetujui oleh pemerintah Desa Siraman berdasarkan Surat Keterangan dengan nomor 22/1/1/1981.[3] Pemerintah Desa Siraman memberikan sebidang tanah kas milik kelurahan seluas 3.712 m2. Hak pakai tanah tersebut kemudian dialihkan kepada Bapak Upasaka Hadi Wardoyo sebagai penanggung jawab umat Buddha di Desa Siraman. Pemerintah desa setempat memberikan tanah tersebut untuk dibangun sebuah wihara sekaligus sekolah keagamaan umat Buddha berikut fasilitas atau sarana lain yang dapat menunjang kegiatan keagamaan mereka.[4] Setelah memperoleh izin sekaligus sebidang tanah dari pemerintah desa setempat, para tokoh agama Buddha di sana kemudian membentuk sebuah yayasan yang kelak akan menjadi penaung dan penanggung jawab pembangunan wihara tersebut. Yayasan yang baru terbentuk itu kemudian diberi nama Yayasan Gunadharma yang diketuai oleh Bapak Sadak Hartono. Dana atau modal utama yang mereka pergunakan berasal dari beberapa donator di Jakarta serta iuran sukarela dari umat Buddha di Desa Siraman. Mula-mula, mereka hanya membangun bangunan yang amat sederhana dengan melibatkan penduduk desa sekitar. Dalam bahasa lain, penduduk Desa Siraman lain yang beragama selain Buddha juga ikut bahu membahu dalam membangun wihara tersebut. Mereka menunjukkan sikap gotong-royong dan saling menghormati antar-pemeluk agama. Untuk pengerjaan bangunan dasar wihara, mereka mengandalkan tenaga penduduk setempat. Sedangan bagian yang lain, diserahkan kepada tenaga ahli.[5] Awal mula pembangunan wihara tersebut terjadi atas restu dari Sangha Agung Indonesia Y.A. Ashin Jhinarakhita dan peletakan batu pertama dilakukan oleh Y.A. Jinaphalo. Bentuk bangunan wihara juga menggunakan konsep rumah joglo. Pemilihan konsep tersebut didasarkan pada lambang dari budaya asli warga Desa Siraman. Meskipun menganut agama Buddha, mereka ingin tetap menghidupkan budaya lokalnya dalam bentuk rumah joglo dalam bangunan wihara yang ada. Bangunan wihara yang ada kemudian dijadikan sebagai tempat melaksanakan praktik ibadah (Pujha Bakti) sekaligus mendengarkan khotbah dari Bikkhu. Nama "Jina Dharma Sradha" sendiri mereka pilih bukan tanpa maksud. Jina dalam ajaran Buddha diartikan sebagai orang yang telah mencapai kemenangan. Nama “Jina” juga diambil dari nama tokoh yang berpartisipasi dalam pembangunan pertama wihara ini, yaitu Bikhu Jhinaphalo. "Dharma" diartikan sebagai kewajiban atau aturan; sedangkan "Sradha" dimaksudkan sebagai keyakinan. Secara harfiah, Jina Dharma Sradha dianggap sebagai sebuah keyakinan penuh dalam menjalankan aturan yang ada untuk mencapai kemenangan.[4] Perlengkapan IbadahBangunan Vihara Jina Dharma Sradha di dalamnya berbentuk sebuah aula besar yang memiliki beberapa perlengkapan ibadah. Perlengkapan ibadah itu meliputi: Namo Sanghyang Adi BuddhayaNamo Sanghyang Adi Buddhaya adalah sebuah uangkapan yang digunakan oleh umat Buddha sebagai wadah atau media pemersatu beberapa aliran agama Buddha, seperti Teravada, Mahayana, dan Tantrayana.[6] Sarana itu juga digunakan dalam setiap pelantikan pegawai negeri sipil sebagai kalimat atau ucapan sumpah sepert “Demi Sanghyang Adi Budha” atau “Demi Tuhan Yang Maha Esa”. Kalimat itu senada dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan digunakan oleh Y.M. Ashin Jinarakkhita pada saat membangkitkan budhisme di Indonesia. Selain itu, Namo Sanghyang Adi Buddhaya dilambangkan dalam bentuk ornamen di dinding bertuliskan huruf Jawa. CakraCakra atau Cakka adalah sebuah lingkaran berbentuk roda dan memiliki delapan cabang atau jari-jari. Dalam Vihara Jina Dharma Sradha, Cakra diberi nama sebagai Dharma Cakra yang berarti roda Dharma atau roda kebenaran. Roda tersebut melambangkan segala sesuatu yang ada dalam kehidupan manusia mengandung hubungan sebab-akibat yang segala sesuatu yang terjadi merupakan akibat dari perbuatan manusia di masa lampau. Sedangkan kedelapan jari dalam Cakra Dharma dilambangkan sebagai delapan jalan kebenaran atau delapan jalan mulia yang disebut dengan Hasta Arya Marga atau juga dikenal dengan majjhimapattipada. Hal itu mengandung nilai tentang delapan norma kesusilaan atau pegangan hidup seorang Budhis dalam kehidupan sehari-hari. Delapan jalan mulia yang ada tersebut juga dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan.[4] Ajaran yang terkandung dalam Dharma Cakra menjadi sangat penting bagi umat Buddha di Desa Siraman mengingat agama Buddha amat mengajarkan dan menekankan arti penting etika. Etika-etika yang mengatur baik-buruk dan benar-salah dengan sesama manusia bahkan dinilai jauh lebih utama dibandingkan hubungan yang sifatnya metafisik. Etika tersebut menjadi sangat penting agar umat Buddha terbebas dari dukkha dan mencapai nirwana. Rupang BudhaRupang Buddha biasa disebut Patung Buddha merupakan patung sang Buddha Gautama yang digunakan sebagai objek untuk memusatkan pikiran dan konsentrasi. Patung Buddha tersebut hanya dianggap sebagai simbol, tidak untuk disembah. Mereka memberikan penghormatan kepada sang Buddha karena telah menunjukkan jalan kebenaran kepada seluruh umat Buddha. Bentuk penghormatan yang bersifat simbolik itu sebagaimana bentuk penghormatan masyarakat Indonesia terhadap bendera merah putih yang tujuannya bukan untuk menyembah, melainkan menghargai perjuangan kemerdekaan para pejuang untuk mempersembahkan kemerdekaan pada masyarakat indonesia. Meletakkan patung sang Buddha di dalam bangunan wihara adalah sebuah kehormatan bagi umat Buddha.[4] AltarAltar adalah tempat yang digunakan oleh umat Buddha untuk meletakkan beberapa perlengkapan kebaktian seperti rupang Buddha, lambing-lambang Buddha, relik suci, dan lain-lain. Di atas altar tersebut, diletakkan beberapa perlengkapan seperti lilin yang merupakan simbol penerangan jiwa, air yang merupakan lambing kerendahan hati, dupa yang menjadi lambing harumnya nama baik seseorang, bunga sebagai lambang ketidakkekalan, buah sebagai lambang rasa syukur, dan makanan sebagai lambing ucapan terima kasih atas segala rezeki yang telah mereka peroleh.[7] Berdirinya Wihara Periode AwalVihara Jina Dharma Sradha pertama kali dipergunakan sebagai tempat untuk melangsungkan kegiatan keagamaan pada tahun 1980-1990. Pada saat itu, antusiasme warga yang beragama Buddha sangat tinggi. Mereka menjadi semakin giat beribadah karena bangunan wihara baru mereka menyediakan fasilitas yang lebih baik dibandingan di Cetya. Mereka juga kemudian berbondong-bondong berpindah dari Cetya ke Vihara Jina Dharma Sradha yang menunjukkan bahwa antusiasme umat Buddha tidak hanya tinggi dari segi jumlahnya, melainkan juga dari pemikiran mereka yang cenderung maju.[8] Wihara tersebut dipergunakan oleh masyarakat Buddha di seluruh Kabupaten Gunungkidul sebagai sarana ibadah sekaligus aktivitas keagamaan lainnya. Mereka datang dari beberapa wailayah di Gunungkidul, seperti dari Wonosari, Panggang dan Samin. Biasanya, mereka datang dalam bentuk rombongan dengan menggunakan truck, mini bus, atau motor. Setiap minggu, mereka rutin menggelar kegiatan kebaktian dengan dipimpin oleh Bikkhu Jinaphalo.[8] Selain warga Gunungkidul, wihara tersebut juga menjadi tempat ibadah para pendatang dan masyarakat keturunan Tionghoa yang ada di Gunungkidul. Mereka kebanyakan tinggal di sekitar Kota Wonosari yang kebanyakan dari mereka adalah pedagang. Para keturunan Tionghoa tersebut secara spesifik mendiami wilayah di sepanjang Jalan Brigjen Katamso, Jalan Sumarwi, dan Jalan K.H. Agus Salim. Kondisi itu berbeda terlihat jelas berbeda sebelum berdirinya Vihara Jina Dharma Sradha. Sebelumnya, para pemeluk agama Buddha tersebut banyak memperingati hari besar agamanya di kecamatan masing-masing, karena tidak adanya lokasi yang mampu mengakomodir jumlah mereka. Setelah adanya Vihara Jina Dharma Sredha, umat Buddha dari seluruh Gunungkidul biasa berkumpul di sana. Hari-hari besar yang mereka peringati seperti Waisyak, Katina, dan Ulambana.[9] Tidak jarang pula ada umat Buddha menjadikan bangunan wihara sebagai tempat dilangsungkannya upacara kematian bagi kerabat mereka yang meninggal dunia. Namun demikian, di periode awal tersebut, masih terdapat beberapa sentimen negatif dari warga sekitar wihara. Sekalipun pemerintah Desa Siraman dan pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah memberikan izin pembangunan wihara, tumbuh kecemburuan sosial yang melibatkan warga non-Buddha. Benar saja, jumlah umat yang beragama Buddha di Desa Siraman lebih sedikit dibandingkan yang Islam.[10] Mereka kemudian memprotes pemerintah desa bahwa tanah kas desa yang diberikan kepada umat Buddha untuk dibangun wihara terlalu besar. Meskipun begitu, diskusi dan mediasi yang dilakukan oleh warga beragama Buddha dengan yang bukan Buddha serta dengan pihak pemerintah desa mampu menyelesaikan konflik tersebut.[5] DharmasalaDi akhir tahun 1980-an, umat Buddha di Desa Siraman membangun kembali bangunan yang lebih besar di sebelah bangunan wihara berbentuk joglo yang telah ada. Pembangunan gedung baru tersebut dilakukan karena umat Buddha yang datang ke Vihara Jina Dharma Sradha semakin tahun semakin banyak. Mereka tidak hanya berasal dari daerah Gunungkidul dan dari luar Gunungkidul saja, melainkan juga berasal dari kota-kota lain. Bangunan baru yang berada di samping bangunan berbentuk joglo tersebut kemudian dinamakan Dharmasala. Bangunan tersebut memiliki ukuran yang lebih besar dengan bentuk arsitektur yang lebih modern. Bangunan baru wihara tersebut memiliki ornamen berbentuk stupa seperti yang ada di Candi Borobudur. Stupa tersebut diletakkan di atas wihara menghadap ke depan dan diletakkan di tembok bagian depan serta terbuat dari batu alam. Di bagian depan wihara juga dibuatkan atap tambahan berupa terpal, untuk berjaga-jaga apabila jemaah yang hadir tidak mencukupi bagian dalam wihara.[11] Bangunan wihara baru bernama Dharmasala juga dilengkapi dengan empat ruangan di depan bangunan Joglo. Bangunan tersebut berbentuk seperti ruang kelas yang tujuan awalnya memang diperuntukkan sebagai bangunan sekolah tinggi atau P.G.A Buddha. Tetapi pembangunan tersebut terhambat karena permasalahan pendanaan dan pengelolaan yang kurang memadai. Bangunan tersebut terkadang juga dipergunakan sebagai aula atau ruang pertemuan apabila ada tamu yang berkunjung ke wihara. Beberapa tamu yang berasal dari luar Jawa Tengah dan Jakarta ketika hendak beristirahat juga dapat mempergunakan ruangan tersebut. Atau ketika mereka ingin bertemu dengan Bikkhu yang berasal dari pemerintahan.[4] Masa VakumDi luar progresivitas yang terjadi di Vihara Jina Dharma Sredha, pada tahun 1900-an, mereka mengalami masa vakum. Kondisi wihara terlihat sangat berbeda sebagaimana sepuluh tahun yang lalu. Jumlah umat yang datang untuk beribadah semakin berkurang dan tidak ada program-program kegiatan yang berarti di masa itu. Selain itu, jumlah penduduk beragama Buddha di Desa Siraman juga semakin berkurang. Berkurangnya jumlah pemeluk agama Buddha di sana disebabkan oleh urbanisasi yang terjadi di semua wilayah Gunungkidul pada tahun 1900-an. Saat itu, sebagian besar masyarakat pergi kota untuk merantau dalam rangka memperoleh kehidupan yang lebih baik daripada harus menjadi petani tradisional di desa. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya atas iming-iming kemakmuran. Tidak cukup sampai di situ, mereka pergi ke kota juga untuk meningkatkan standar hidupnya, sekalipun harus menjadi buruh pabrik atau pembantu rumah tangga di kota.[4] Warga yang merantau ke kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, bahkan ke luar Pulau Jawa kebanyakan juga pemuda beragama Buddha dari Desa Siraman. Di desa mereka, ketersediaan lapangan kerja sangat minim. Hal itu berdampak pada berkurangnya penganut agama Buddha yang berdiam diri di Desa Siraman. Selain urbanisasi, perkawinan dengan selain agama Buddha juga turut menjadi penyebab berkurangnya jumlah pemeluk agama Buddha di sana. Di dalam agama Buddha tidak diajarkan untuk menikah dan tetap menganut ajaran Buddha. Ketika menemukan pasangan hidup, warga Desa Siraman yang beragama Buddha lebih memilih untuk mengikuti agama pasangannya yang yang kebanyakan beragama Islam dan Kristen. Selain itu, kurangnya pengajaran agama Buddha di beberapa sekolah juga dinilai turut menjadi faktor penyebab berkurangnya penganut agama Buddha di Desa Siraman. Pendidikan agama Buddha hampir tidak pernah diajarkan di institusi pendidikan formal, mulai dari Sekolah dasar hingga Sekolah menengah atas. Akibatnya, anak-anak yang menganut agama Buddha tidak memiliki pengetahuan yang lebih sebagaimana teman-temannya yang bergama Islam dan Kristen. Mereka juga tidak memiliki nilai mata pelajaran agama, akibat ketidaksediaan guru agama Buddha di sekolahnya. Hal itu sedikit banyak menyebabkan anak-anak merasa minder. Akhirnya, mau tidak mau mereka harus duduk di kelas teman-temannya yang menganut agama Islam atau Kristen. Setamat dari SMA, anak-anak tersebut memiliki pikiran yang lebih terbuka dan mandiri. Beberapa dari mereka kemudian memutuskan untuk tidak lagi menganut agama Buddha karena dirasa institusi pendidikan yang ada tidak lagi mendukung mereka.[4] Tidak tinggal diam, beberapa tokoh agama Buddha di desa setempat telah melayangkan surat permohonan kepada pemerintah agar disediakan guru agama Buddha, minimal untuk tingkat SD hingga SMP. Namun demikian, keluhan yang mereka ajukan kurang mendapat respon positif dari pemerintah. Selain ketidaksediaan guru agama Buddha, faktor kematian juga turut memengaruhi jumlah penganut agama Buddha di Desa Siraman. Sejak tahun 1900-an, tidak ada regenerasi yang tersisa di desa setempat. Kebanyakan pemeluk agama yang ada di sana telah berusia lanjut dan beberapa lainnya telah meninggal dunia. Sejak awal berdirinya wihara, jumlah pemeluk agama Buddha yang tersisa adalah 125 jiwa. Pada tahun 2000, data menunjukkan bahwa jumlah pemeluk agama Buddha di Desa Siraman tinggal 17 jiwa.[10] Dalam perkembangannya, para tokoh agama Buddha yang tersisa terus berusaha untuk membangkitkan kembali masa-masa keemasan Vihara Jina Dharma Sradha. Sejak tahun 2001 hingga 2004, mereka banyak melakukan pembangunan, mulai dari mendirikan Pesantrian Buddha hingga renovasi bangunan wihara. Sebagai misal, pada tahun 2003, mereka membentuk sebuah Pesantrian Buddha bernama Pesantrian Budhish Kusalamitra yang juga dikelola oleh Yayasan Kusalamita. Tujuan didirikan pesantrian itu adalah untuk memfasilitasi anak-anak yang ingin mendalami ajaran Buddha yang kebanyakan tidak didapatkan di sekolah–sekolah formal. Anak-anak yang belajar di dalam pesantrian tersebut adalah anak asuh berusia Sekolah dasar hingga Sekolah menengah pertama yang melakukan aktivitas setiap hari, kecuali di pagi hari atau ketika jam pelajaran sekolah sedang berlangsung. Mula-mula, jumlah mereka ada sekitar 15 anak yang semuanya berasal dari luar Kabupaten Gunungkidul, seperti dari Boyolali, Temanggung, dan Semarang. Selain bersekolah di sekolah formal, anak-anak asuh tersebut setiap harinya melakukan Pujha Bakti mulai dari sore hari hingga menjelang malam. Kegiatan lain yang juga mereka lakukan adalah memperdalam ajaran Buddha yang dipimpin oleh Bikkhu.[11] Pada tahun 2002 hingga 2003, pihak pengelola wihara juga mulai gencar melakukan renovasi bangunan wihara. Mereka membongkar bangunan Joglo lama dan kemudian membangunnya dengan luas yang lebih lebar. Bangunan joglo yang ada menjadi terkesan mewah dengan ornamen-ornamen khas umat Buddha serta warna dominan mereah dan ukiran-ukiran tertentu. Bangunan wihara yang semula hanya ada satu ruangan kemudian berubah menjadi bangunan yang sangat megah dengan delapan pilar di bagian depan. Pada periode tersebut (20002 hingga 2003) dinilai sebagai periode awal kebangkitan Vihara Jina Dharma Sradha. Umat Buddha yang berkunjung dan beribadah menjadi semakin banyak dan ramai.[4] Berbagai terobosan yang dilakukan oleh para pemuka agama Buddha di Desa Siraman adalah upaya mereka untuk menghidupkan kembali Vihara Jina Dharma Sradha. Mereka juga menyadari bahwa jumlah penganut agama Buddha menjadi sangat penting untuk mempertegas eksistensi agama mereka. Mempersiapkan penerus agama Buddha sejak dini adalah bagian dari upaya untuk menuju ke arah itu. Pesantrian Buddha yang dibangun menjadi sarana paling baik. Referensi
|