Umpatan, kata-kata kotor/kasar, ucapan jorok, sumpah serapah, caci-maki, atau ungkapan tidak senonoh adalah ungkapan bahasa yang secara sosial bersifat menyerang, menghina, menistakan, atau merendahkan orang lain.[1]
Dalam hal ini, umpatan adalah bahasa yang umumnya secara budaya bersifat sangat tidak sopan, kasar, atau menyinggung. Umumnya terkait dengan penghinaan terhadap orang lain, atau berkait dengan perasaan yang kuat terhadap sesuatu.
Dalam pengertiannya yang lebih tua dan lebih harfiah, "umpatan" terkadang juga merujuk pada istilah yang bersifat suci, yang menyiratkan sesuatu yang layak dihormati, namun digunakan untuk menghilangkan kesucian ucapan tersebut atau menyebabkan penistaan agama.[2]
Etimologi
Kata profane "umpatan" berasal dari bahasa Latin klasik profanus, secara harfiah berarti "(di luar) tempat ibadah". Hal ini kelak dimaknai sebagai "menodai kesucian" atau "bertujuan untuk sekularisme" sejak 1450-an.[3][4]Profanity menunjukkan ketidakpedulian kaum sekuler terhadap agama atau tokoh agama, sementara blasphemy "penistaan" adalah serangan yang lebih ofensif terhadap agama dan tokoh agama, dianggap berdosa, dan merupakan pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah Allah. Sementara itu, banyak ayat Alkitab menjelaskan larangan mengumpat.[5]
Bahasa Inggris
Kebanyakan umpatan dalam bahasa Inggris berasal dari kata-kata dalam bahasa berumpun Jermanik, bukan Latin.[6][riset asli?]Shit berasal dari bahasa Jermanik,[7] begitu pula fuck.[8] Alternatif lainnya justru lebih banyak berasal dari bahasa Latin, seperti defecate atau excrete "buang air", maupun fornicate atau copulate "berhubungan seks", banyak digunakan dalam konteks yang bersifat teknis. Oleh karena itu, umpatan seringkali disebut dalam ragam informal sebagai "Anglo-Saxon".[9] Hal ini tidak selalu mengikuti. Misalnya, kata wanker dianggap umpatan, namun hanya sampai pertengahan abad ke-20.[10][11]
Sejarah
Umpatan dalam bahasa Inggris mulai banyak digunakan sebagai bagian dari bahasa lisan pada abad pertengahan. Kata fuck digunakan dalam bahasa Inggris pada abad ke-15, meskipun penggunaan di awal abad ke-13 tidak digunakan untuk tujuan memaki orang. Kata shit adalah umpatan tertua yang digunakan, merujuk dari bahasa-bahasa Jerman dan Skandinavia.[12]
Penelitian
Analisis rekaman percakapan menunjukkan bahwa kurang lebih 80–90 kata yang diucapkan orang setiap hari—0,5–0,7% dari semua kata—adalah umpatan, dengan penggunaan dari 0–3,4%. Sebagai perbandingan, kata ganti orang pertama jamak (kami dan kita) membentuk 1% dari kalimat yang diucapkan.[13]
Jajak pendapat terhadap tiga negara yang dilakukan oleh Angus Reid Public Opinion pada Juli 2010 menemukan bahwa orang Kanada lebih sering mengumpat daripada orang Amerika dan Inggris ketika berbicara dengan teman-temannya, tetapi orang Inggris lebih banyak mendengar orang asing mengumpat saat bercakap daripada orang Kanada maupun Amerika.[14]
Metode penelitian didasarkan pada pengaruh psikologi, serta menggunakan mekanisme linguistik dan neurologis. "Perilaku fungsional serupa dapat diamati pada simpanse, dan dapat berkontribusi pada pemahaman kita," catat penulis New York Times, Natalie Angier.[15] Angier juga mencatat bahwa mengumpat adalah teknik mengelola amarah yang tersebar luas tetapi mungkin kurang dihargai; bahwa "Laki-laki pada umumnya lebih suka mengumpat daripada perempuan, sementara petinggi perguruan tinggi lebih banyak mengumpat daripada pustakawan atau stafnya."[15] Mengumpat umumnya berakar dari kebiasaan mengucap cabul yang tidak disengaja atau lebih suka memberi komentar yang secara sosial dianggap tidak pantas dan merendahkan orang lain.
Peneliti dari Universitas Keele, Stephens, Atkins, dan Kingston membuktikan bahwa mengumpat dapat mengurangi pengaruh gangguan fisik dan psikis.[16] Stephens berkata, "Saya akan menyarankan orang untuk mengumpat, jika mereka melukai diri mereka sendiri".[17] Namun, terlalu sering menggunakan kata-kata umpatan justru mengurangi pengaruh ini.[17] Tim peneliti Keele memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian Ig pada tahun 2010 untuk penelitian mereka .
Sejumlah orang yang tergabung dalam tim ahli saraf dan psikolog di Easton Centre for Alzheimer's Disease Research, University of California, Los Angeles, menyebut bahwa mengumpat dapat membantu membedakan penyakit Alzheimer dari demensia frontotemporal.[18]
Ahli saraf Antonio Damasio mencatat bahwa meskipun orang dapat kehilangan kata-kata karena kerusakan pada wilayah otak yang mengontrol bahasa, pasien masih dapat mengumpat.[19]
Sekelompok peneliti dari Wright State University mempelajari alasan orang bersumpah di dunia maya dengan mengumpulkan cuitan yang dikirim melalui media sosial twitter. Mereka menemukan bahwa umpatan dikaitkan dengan emosi negatif seperti kesedihan (21,83%) dan kemarahan (16,79%) sehingga menunjukkan orang-orang di dunia maya banyak menggunakan umpatan untuk mengekspresikan kesedihan dan kemarahan mereka kepada orang lain.[20][21]
Tim peneliti interdisipliner dari Universitas Warsawa menyelidiki umpatan dwibahasa: "Mengapa lebih mudah mengumpat dalam bahasa asing?" Mereka mengungkapkan bahwa bilingual (orang-orang yang dapat berbicara dua bahasa) dapat berkata lebih kasar ketika mereka beralih ke bahasa kedua mereka, tetapi dapat menghaluskan ucapan ketika beralih ke bahasa ibu mereka, tetapi hanya signifikan dalam kasus etnofaulisme (cercaan etnis) membuat ilmuwan menyimpulkan bahwa beralih ke bahasa kedua membebaskan bilingual dari norma-norma dan tekanan sosial (baik dari dirinya sendiri maupun yang dipaksakan) seperti norma-norma politik, sehingga membuat mereka rentan mengumpat dan menyinggung perasaan orang lain.[22]
Penghinaan, bertujuan untuk menyinggung, mengintimidasi, atau menyebabkan gangguan atau kerusakan secara emosional atau psikologis
Katarsis, digunakan sebagai ungkapan rasa sakit atau penderitaan
Disfemistik, digunakan untuk menyampaikan bahwa pembicara berpikiran negatif terhadap materi pembelajaran, dan membuat pendengar melakukan hal yang sama
Empatik, bertujuan untuk menarik perhatian terhadap orang lain apa yang dianggap layak untuk diperhatikan
Idiomatik, digunakan tanpa tujuan khusus lainnya, tetapi umumnya dilakukan dalam percakapan informal
Eufemisme dibuat dengan mengubah atau menghilangkan kata-kata dan ekspresi yang bersifat mengumpat agar tidak diketahui masyarakat sebagai "tidak sopan". Meskipun eufemisme sering diterima dalam situasi yang tidak boleh ada kata-kata tersebut (termasuk radio), beberapa orang masih menganggapnya sebagai umpatan. Pada tahun 1941, seorang hakim mengancam seorang pengacara dengan penghinaan terhadap pengadilan karena menggunakan kata darn.[24][25]
Pengaruh terhadap masyarakat
Penelitian oleh Jeffrey Bowers pada tahun 2011 menjelaskan bahwa penggunaan ungkapan-ungkapan kasar berdampak terhadap sekaligus mengubah perilaku seseorang.[26] Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari relativitas linguistik berkait dengan umpatan dan eufemisme. Dalam penelitian ini, 24 sukarelawan antara usia 18 hingga 26 tahun dengan usia rata-rata 21 tahun menjadi sasaran percobaan selama 20 menit yang melibatkan respons mereka pada kata-kata makian yang diucapkan dengan keras dan tanggapan mereka dicatat. Selain itu, aktivitas elektrodermal diukur menggunakan peranti yang mengukur perubahan tahanan kulit sebagai respons terhadap kata-kata umpatan.[27]
Studi lain[28] di Stanford pada tahun 2016 menjelaskan adanya hubungan langsung antara kata-kata kotor dan tingkat integritas (kejujuran). Berdasarkan penelitian terhadap 307 peserta ini, dua negara bagian AS (Connecticut dan New Jersey) yang teratas dalam penggunaan umpatan ternyata juga tertinggi dalam hal integritas. Pengertian terdahulu tentang "banyak anak yang mengumpat belajar dari perilaku orang dewasa" ternyata salah ketika telah dibuktikan bahwa mereka belajar mengumpat sebagai bagian dari perilaku menyesuaikan diri.[29]
^A Dictionary of Slang and Unconventional English: Colloquialisms and Catch Phrases, Fossilised Jokes and Puns, General Nicknames, Vulgarisms and Such Americanisms As Have Been Naturalised. Eric Partridge, Paul Beale. Routledge, 15 Nov 2002