Ukiran tulang adalah penciptaan seni, perkakas, dan barang lainnya dengan cara mengukir tulang binatang, ranggah, dan tanduk. Ukiran tulang dapat menghasilkan ornamen tulang jika dilanjutkan dengan gravir, lukisan, atau teknik lain, atau penciptaan objek dengan bentuk berbeda. Ukiran tulang telah dipraktikkan oleh berbagai budaya di dunia, terkadang sebagai pengganti ukiran gading karena lebih murah dan tidak ilegal. [2] Sebagai bahan, tulang lebih inferior daripada gading dalam hal kekerasan, sehingga mampu memiliki detail yang sangat halus, meski tidak memiliki permukaan yang "berkilau" ala gading. Bagian dalam tulang lebih lembut dan bahkan kurang mampu menghasilkan hasil akhir yang halus, sehingga sebagian besar kegunaannya adalah sebagai plakat tipis, bukan sebagai pahatan berbentuk bulat. [3] Namun tulang tentunya lebih mudah diperoleh di wilayah yang tidak terdapat populasi gajah, walrus, atau sumber gading lainnya.
Ukiran tulang memiliki peran penting dalam seni prasejarah, dengan ukiran terkenal seperti Swimming Reindeer yang terbuat dari tanduk, dan sejumlah patung Venus juga dibuat dari tulang. Peti mati Anglo-SaxonFranks adalah peti mati yang diukir dari tulang ikan paus yang meniru peti mati gading sebelumnya. [4] Peti mati tulang abad pertengahan dibuat oleh bengkel Embriachi di Italia utara (ca 1375 –1425) dan lain-lain, sebagian besar menggunakan deretan plakat tipis yang diukir pada relief. [5]
Tulang pipih juga digunakan oleh seniman dan pengrajin untuk menguji-coba desain mereka, terutama oleh pengrajin logam. Potongan seperti itu dikenal sebagai "potongan percobaan".
Pada Juli 2021, para ilmuwan melaporkan penemuan ukiran tulang, salah satu karya seni tertua di dunia, yang dibuat oleh Neanderthal sekitar 51.000 tahun lalu. [6][7]
Tulang paus (balin) dan tulang paus normal sering diukir, terutama untuk dijadikan scrimshaw pada Abad Pertengahan.
^Sims, Margaret E.; Baker, Barry W.; Hoesch, Robert M. (2011). "Tusk or Bone? An Example of Ivory Substitute in the Wildlife Trade". Ethnobiology Letters. 2: 40–45. doi:10.14237/ebl.2.2011.27. JSTOR26419931.