Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

Tri Hita Karana

Tri Hita Karana berasal dari kata “tri” yang berarti tiga, “hita” yang berarti kebahagiaan dan “karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti "tiga penyebab terciptanya kebahagiaan".

Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran tri hita karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan ke Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari daripada segala tindakan buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai [1].

Hakikat mendasar Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara Manusia dengan Tuhan nya, Manusia dengan alam lingkungannya, dan Manusia dengan sesamanya. Dengan menerapkan falsafah tersebut diharapkan dapat menggantikan pandangan hidup modern yang lebih mengedepankan individualisme dan materialisme. Membudayakan Tri Hita Karana akan dapat memupus pandangan yang mendorong konsumerisme, pertikaian dan gejolak.

Tiga Penyebab Kebahagian

Yang diketahui 3 Penyebab Kebahagian diantaranya, Manusia dengan Tuhan, Manusia dengan Alam Lingkungannya, dan Manusia dengan Sesamanya, berikut penjelasannya:

Manusia dengan Tuhan

Manusia adalah ciptaan Tuhan, sedangkan Atman yang ada dalam diri manusia merupakan percikan sinar suci kebesaran Tuhan yang menyebabkan manusia dapat hidup. Dilihat dari segi ini sesungguhnya manusia itu berhutang nyawa terhadap Tuhan. Oleh karena itu setiap manusia wajib berterima kasih, berbhakti dan selalu sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa. Rasa terima kasih dan sujud bhakti itu dapat dinyatakan dalam bentuk puja dan puji terhadap kebesaran Nya, yaitu:

  • Dengan beribadah dan melaksanakan perintahnya.
  • Dengan melaksanakan Tirtha Yatra atau Dharma Yatra, yaitu kunjungan ketempat-tempat suci.
  • Dengan melaksanakan Yoga Samadhi.
  • Dengan mempelajari, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agama.

Manusia dengan Alam Lingkungan

Manusia hidup dalam suatu lingkungan tertentu. Manusia memperoleh bahan keperluan hidup dari lingkungannya. Manusia dengan demikian sangat tergantung kepada lingkungannya. Oleh karena itu manusia harus selalu memperhatikan situasi dan kondisi lingkungannya. Lingkungan harus selalu dijaga dan dipelihara serta tidak dirusak. Lingkungan harus selalu bersih dan rapi. Lingkungan tidak boleh dikotori atau dirusak. Hutan tidak boleh ditebang semuanya, binatang-binatang tidak boleh diburu seenaknya, karena dapat menganggu keseimbangan alam. Lingkungan justu harus dijaga kerapiannya, keserasiannya dan kelestariannya. Lingkungan yang ditata dengan rapi dan bersih akan menciptakan keindahan. Keindahan lingkungan dapat menimbulkan rasa tenang dan tenteram dalam diri manusia.

Manusia dengan Sesamanya

Sebagai mahluk sosial, manusia tidak dapat hidup menyendiri. Mereka memerlukan bantuan dan kerja sama dengan orang lain. Karena itu hubungan antara sesamanya harus selalu baik dan harmoni. Hubungan antar manusia harus diatur dengan dasar saling asah, saling asih dan saling asuh,yang artinya saling menghargai, saling mengasihi, dan saling membimbing. Hubungan antar keluarga dirumah harus harmoni. Hubungan dengan masyarakat lainya juga harus harmoni. Hubungan baik ini akan menciptakan keamanan dan kedamaian lahir batin di masyarakat. Masyarakat yang aman dan damai akan menciptakan Negara yang tenteram dan sejahtera.

Unsur-Unsur Tri Hita Karana

Unsur-Unsur ini meliputi:

  • Sanghyang Jagatkarana.
  • Bhuana
  • Manus

Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi:

Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk

yang artinya, Pada zaman dahulu Prajapati menciptakan manusiadengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada tampak unsur penting:

  • Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
  • Praja = Manusia

== Tri Hita Karana dalam Sistem Irigasi marsello Rifky adysa aneh adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani dan diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali.

Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini.

Subak telah dipelajari oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian umum tentang pentingnya sistem irigasi tradisional. Ia mempelajari pura-pura di Bali, terutama yang diperuntukkan bagi pertanian, yang biasa dilupakan oleh orang asing. Pada tahun 1987 Lansing bekerja sama dengan petani-petani Bali untuk mengembangkan model komputer sistem irigasi Subak. Dengan itu ia membuktikan keefektifan Subak serta pentingnya sistem ini.

Nilai Budaya

Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya.

Referensi

  1. ^ Qodim, Husnul (2023-03-20). "Nature Harmony and Local Wisdom: Exploring Tri Hita Karana and Traditional Ecological Knowledge of the Bali Aga Community in Environmental Protection". Religious: Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya. 7 (1). doi:10.15575/rjsalb.v7i1.24250. ISSN 2528-7249. 
Kembali kehalaman sebelumnya