Share to: share facebook share twitter share wa share telegram print page

 

The Highest Tide

The Highest Tide merupakan novel perdana Jim Lynch, seorang jurnalis peraih penghargaan dan juga penulis cerpen yang telah tujuh tahun ini tinggal di tepi teluk Puget Sound. Dalam novel ini, penulis juga memakai Puget Sound sebagai latar kisahnya.

Novel ini mengisahkan dua minggu musim panas dalam kehidupan Miles O’Malley, sang protagonis sekaligus narator yang berusia hampir empat belas tahun. Dua minggu ini menjadi begitu berarti dengan sejumlah kejadian yang saling bersilang-sengkarut dalam kehidupan Miles.

Yang pertama begitu menonjol terkait dengan kegemaran Miles kepada laut. Sebagai seorang bocah penggemar laut dan segala isinya, ditambah lagi dengan insomnia yang diidapnya, Miles suka menyelinap keluar rumah malam-malam dan berjalan-jalan di paya asin dekat rumahnya. Malam itu, dia menemukan cumi-cumi raksasa terdampar. Tahu bahwa tidak lazim mendapati cumi raksasa di perairan dangkal, kepada wartawan yang meliputsecara iseng Miles mengatakan, “Mungkin bumi ingin mengatakan sesuatu kepada kita”. Anehnya, kata-katanya itu malah menjadikannya didengar banyak orang. Ditambah lagi, beberapa hari sesudahnya datang seorang reporter yang mengupas habis tentang kehidupannya, mulai dari keluarga, kehidupan pertemanan, hingga sekolahnya. Maka, sejak itu Miles menjadi seorang selebritis dadakan, seorang mesias kecil yang menyampaikan pesan dari alam.

Kejadian penting kedua terkait dengan keluarganya. Miles tumbuh dengan keluarga yang tidak wajar. Ayahnya tidak dewasa dan sangat terobsesi dengan tinggi badan. Si ayah mengukur tinggi badan Miles setiap bulan untuk mengetahui perkembangannya. Sementara ibunya bekerja di kantor pemerintahan yang membosankan dan mengaku menyesal menikah dengan ayahnya. Bahkan “sekurangnya tujuh kali [Miles] mendengar Ibu menyebut[nya] hasil ‘kecelakaan’”. Miles adalah buah dari kegagalan aborsi. Bisa kita bayangkan betapa besar pengaruh ucapan seperti ini kepada seorang anak yang sedang dalam masa pertumbuhan dan pikirannya gampang menerima kesan. Pertengkaran demi pertengkaran ayah ibunya kian meruncing dan Miles sampai menebak-nebak mereka akan cerai. Dan hatinya sudah siap hancur.

Terakhir, terkait dengan dunia sosialnya, Miles dipaksa untuk bersiap-siap ditinggalkan orang-orang yang dekat dengannya. Angie Stegner, mantan perawatnya yang juga menjadi gadis yang memenuhi khayalan seks-nya, kian tenggelam dalam pergaulan bebas. Dan dia sudah bersiap-siap melanjutkan studinya ke kota lain. Sobat karib Miles, seorang perempuan tua bernama Florence, kian tak bisa diharapkan untuk selalu menjadi teman bicaranya. Kesehatannya kian buruk. Yang selalu dekat dengannya tinggal Phelp, seorang sebaya yang juga menjadi “karyawan”-nya untuk mencari tiram. Phelp—sosok yang sangat mengingatkan pembaca kepada tokoh Huck Finn dalam novel anak klasik The Adventure of Tom Sawyer dan The Adventure of Huckelberry Finn karya Mark Twain—menyuplai Miles dengan bacaan, gambar, dan cerita-cerita merangsang yang semakin membuat resah Miles pada awal masa pubernya itu.

Namun, Jim Lynch membawa konflik-konflik ini kepada klimaksnya masing-masing dengan tenang. Bagaimana dengan perceraian kedua orang tua Miles? Bagaimana dengan ramalan Florence tentang akan terjadinya pasang tertinggi tersebut? Bagaimana keadaan Miles? Bagaimana Angie Stegner? Semuanya akan terjawab pada bab-bab akhir novel tersebut. Namun, ketrampilan Lynch meracik kenakalan, kegetiran, dan keranjingan seks yang malah terkesan jenaka itu berpotensi membuat pembaca resah untuk cepat-cepat mengetahui ujung cerita.

Sejak beberapa tahun ke belakang, cerita tentang remaja selalu berasosiasi dengan teenlit yang berkisah tentang kehidupan sekolah, cinta, dan hobi—yang biasanya diwakili dengan bola basket atau musik—dan sering kali melupakan faktor-faktor lain seperti kehidupan keluarga. Para penulisnya berlomba-lomba membuat kisah-kisah persahabatan dan cinta semenarik dan seunik mungkin, bahkan kalau perlu setting dibawa ke luar negeri. Hal-hal demikian ternyata malah tidak bisa menggambarkan kehidupan remaja yang sesungguhnya. Dalam beberapa novel teenlit, keluarga hanya dijadikan sampiran yang nyaris tidak memengaruhi atau terpengaruh sepak terjang si anak di sekolah dan di dunia percintaan.

Lain halnya dengan kisah si Miles ini. Meskipun penulis sangat ingin menyampaikan kepeduliannya kepada lingkungan—setelah melihat penemuan sebuah ikan aneh di dekat tempat tinggalnya—dia tetap memberi porsi yang cukup untuk hal-hal lain yang memengaruhi kehidupan seorang remaja seperti keluarga, hobi, pertemanan, dan problem seputar pubertas. Dengan dua hal itu, pembaca pun mendapatkan pengetahuan tentang laut dengan kesegaran pikiran remaja yang mengasyikkan dan sering kali memaksa kita tertawa-tawa sendiri. Dalam kaitannya dengan kepedulian lingkungan si penulis, di sini Miles digambarkan sebagai anak yang sangat paham tentang isi laut karena kegemarannya membaca buku-buku biologi laut Rachel Carson. Saking bagusnya pemahaman dia tentang prilaku makhluk laut, Profesor Kramer mengatakan “kau membuat ilmuan dan orang-orang lain tampak bodoh.” Maka, tidaklah berlebihan jika dikatakan di sampul belakang bahwa buku ini memperluas wawasan kita tentang dunia kelautan.

Untungnya, cerita yang sesegar itu dihantarkan dengan gaya penerjemahan yang tak kalah segarnya oleh Arif Subiyanto. Pemilihan diksi yang bagus membuat emosi cerita bisa dirasakan pembaca dalam bahasa Indonesia. Pada bagian-bagian jenaka dalam dialog antara Miles dan Phelp, kelucuan-kelucuan karena keterbatasan pengetahuan mereka tentang seks juga tetap terasa lucu. Asosiasi bunyi dari sebutan “anak sotong” yang diberikan Phelp kepada Miles juga bisa membuat pembaca tertawa. Pada bagian-bagian syahdu setelah Phelp tenggelam, ketika Miles dan Angie terapung-apung di teluk, bahasa puitis juga bisa dirasakan pembaca.

Terlepas dari segala kejenakaan dan kenakalan narasi Miles O’Malley, halaman-halaman terakhir akan kembali membuat pembaca dihantui kata-kata Miles pada awal-awal cerita yang sebenarnya dia ucapkan secara iseng, “Mungkin bumi ingin mengatakan sesuatu kepada kita.” Lagipula, siapa berani menentang kalimat tersebut pada hari-hari ini, ketika banjir, tanah longsong, gempa bumi, atau bahkan kecelakaan pesawat karena angin dan asap menyapa lewat layar kaca hampir setiap kali kita menyetel berita tivi pada pagi...

Kembali kehalaman sebelumnya