Teori yang mendasari misinformasiKeyakinan dan penyebaran misinformasi (informasi yang salah atau menyesatkan) terjadi karena berbagai alasan. Meskipun sering dikaitkan dengan ketidaktahuan, hal ini juga dapat dijelaskan oleh faktor-faktor lain seperti nilai-nilai moral dan penalaran yang termotivasi.[1][2] Hal ini karena pengambilan keputusan melibatkan arsitektur kognitif individu dan konteks sosial mereka.[3] Ada banyak cara untuk menjelaskan fenomena misinformasi, termasuk teori komunikasi sains tradisional, tetapi juga berbagai teori psikologis dan sosial. Teori-teori ini berupaya menjelaskan mengapa individu mempercayai dan menyebarkan misinformasi, dan juga menginformasikan alasan di balik berbagai intervensi misinformasi yang berupaya mencegah penyebaran informasi palsu. Teori komunikasi sainsModel defisit informasiModel defisit informasi mengaitkan keyakinan yang salah dengan kurangnya pemahaman atau kurangnya informasi. Model ini berasumsi bahwa misinformasi dapat diperbaiki dengan memberikan informasi kredibel lebih lanjut kepada individu. Kritikus berpendapat bahwa model tersebut gagal mengatasi alasan lain mengapa individu mempercayai informasi yang salah, seperti efek kebenaran ilusi (pernyataan yang diulang menerima peringkat kebenaran yang lebih tinggi daripada pernyataan baru).[4] Faktanya, dalam satu studi, partisipan gagal mengandalkan pengetahuan yang tersimpan dan malah mengandalkan pernyataan salah yang berulang.[4] Ini menjelaskan mengapa orang menyangkal fakta seperti perubahan iklim meskipun memiliki akses ke bukti yang menunjukkan sebaliknya.[5] Dengan demikian, teori tersebut sebagian besar telah dibantah sebagai penjelasan yang dapat diandalkan mengapa orang mempercayai informasi yang salah. Intervensi misinformasi seperti pemeriksaan fakta dan pembongkaran berasal dari teori dasar model defisit informasi, karena keduanya berupaya mengoreksi informasi palsu dengan informasi yang benar. Meskipun keduanya mungkin berguna dalam kasus yang melibatkan isu yang tidak kontroversial atau teknis/kuantitatif, keduanya cenderung kurang berguna jika terkait dengan isu yang sangat menonjol atau kontroversial atau ras, etnis, dan budaya.[2] Teori PsikologiTeori inokulasiTeori Inokulasi adalah teori psikologi yang menyatakan bahwa paparan preemptif terhadap teknik misinformasi memperkuat ketahanan individu terhadap misinformasi yang mereka temui di kemudian hari, karena akan lebih mudah untuk dikenali dan disangkal.[6] Perbedaan krusial antara teori ini dan model defisit informasi adalah bahwa teori pertama menyoroti pentingnya mengetahui bentuk, teknik, dan karakteristik misinformasi, daripada mengetahui kebenaran misinformasi itu sendiri. Bentuk intervensi misinformasi yang paling umum yang berakar pada teori inokulasi adalah pra-bunking dan intervensi gamifikasi yang berupaya memberi tahu peserta tentang berbagai cara misinformasi muncul secara daring. Contoh intervensi gamifikasi meliputi Bad News, Harmony Square, dan Go Viral!, dan lain-lain.[7] Kebutaan karena kurangnya perhatianKebutaan karena kurangnya perhatian (inattentional blindness)adalah teori yang menyatakan bahwa individu gagal memahami informasi karena kurangnya perhatian. Penelitian yang meneliti perhatian dan penyebaran informasi yang salah menemukan bahwa partisipan menyebarkan informasi yang salah karena perhatian mereka terfokus pada faktor lain selain akurasi.[8] Teori kebutaan karena kurangnya perhatian, kemudian, menyatakan bahwa mengalihkan perhatian kepada keakuratan dan kebenaran akan meningkatkan kualitas berita yang kemudian dibagikan orang, sehingga menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk melawan misinformasi.[8] Jenis intervensi misinformasi yang paling menonjol yang mengandalkan teori kebutaan karena kurangnya perhatian adalah (nudging), yang berupaya membentuk pengambilan keputusan dan perilaku pengguna daring sedemikian rupa sehingga dapat mencegah penyebaran misinformasi. Teori sosialMeskipun bermanfaat, teori psikologi tidak cukup menggambarkan sifat sosial dari memegang dan berbagi keyakinan, terutama secara daring. Teori sosial menawarkan alternatif bagi teori psikologi dengan membahas konteks ini. Teori pengendalian afek (ACT)Teori pengendalian afek (ACT) adalah teori sosial yang menyatakan bahwa individu "memahami peristiwa dan membangun garis tindakan sosial yang mempertahankan sentimen yang telah ada sebelumnya untuk diri mereka sendiri".[9] Menurut ACT, sosialisasi mengilhami konsep dengan makna konotatif bersama, yang dikenal sebagai sentimen, yang digunakan manusia untuk memahami pengalaman.[10] Penelitian menunjukkan bahwa "penafsiran, pengkodean, dan respons terhadap informasi palsu" adalah sebuah proses yang didorong oleh afek—termasuk afek kredibilitas.[10] Misalnya, satu studi menunjukkan bahwa ketika orang berinteraksi dengan misinformasi yang menantang keyakinan dan persepsi mereka, mereka akan menafsirkan ulang informasi tersebut (menolak) atau menyesuaikan keyakinan mereka berdasarkan kredibilitas sumber informasi. Bahkan, para peneliti menemukan bahwa menunjukkan bahwa suatu sumber menyebarkan kebohongan dengan sengaja (disinformasi) lebih efektif dalam mendiskreditkan lawan daripada mengklaim bahwa mereka menyebarkan kebohongan tanpa sengaja (misinformasi).[10] Ini merupakan salah satu contoh bagaimana ACT dapat bermanfaat dalam mengembangkan strategi untuk mendiskreditkan sumber kebohongan.[9] Teori jaringan sosialTeori jaringan sosial menjelaskan struktur hubungan dan interaksi antara pelaku sosial. Konsep mendasar dalam teori jaringan sosial adalah jaringan, yang terdiri dari simpul atau pelaku dengan serangkaian ikatan atau koneksi di antara mereka. Simpul dapat berupa orang, organisasi, atau jenis entitas sosial lainnya, dan ikatan dapat berupa komunikasi, aliansi, persahabatan, dan banyak lagi.[11] Representasi aktor sosial seperti itu sangat berlaku untuk lingkungan daring seperti media sosial, tempat pengguna (simpul) berinteraksi dengan pengguna lain dengan cara mengikuti, berbagi, menyukai, memposting ulang, dll. (ikatan). Penerapan teori jaringan sosial ke media sosial memberikan wawasan yang berguna tentang penyebaran misinformasi. Misalnya, jaringan yang terhubung erat dapat digunakan untuk merepresentasikan ruang gema. Teori ini berguna untuk merancang tindakan pencegahan terhadap misinformasi pada tingkat platform media sosial, seperti menurunkan peringkat atau menghapus postingan dan mengaktifkan kebijakan pembatasan penerusan pada pengguna yang mencurigakan. Teori ini juga berguna untuk mengevaluasi tindakan pencegahan tersebut menggunakan metrik jaringan sosial seperti sentralitas, dispersibilitas, dan kemampuan dipengaruhi[12]. Lihat jugaReferensi
|